BANDUNG, KOMPAS — Warga di pesisir selatan Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat, kembali mengeluhkan rusaknya kawasan pantai akibat
eksploitasi pasir besi. Mereka meminta pemerintah mengkaji kembali
perizinan usaha pertambangan sebab eksploitasi pantai itu juga
menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Hal itu disampaikan sekitar 20 warga Kecamatan Cibitung, Sukabumi kepada Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) di Bandung, Jabar, pekan lalu. Mereka datang bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Angkatan Muda Pemberdayaan dan Pembangunan Wilayah Strategis (Amplas) seraya memperlihatkan gambar kerusakan pantai dan sumber air di sekitar pantai.
”Kami sudah mengadu ke mana-mana, termasuk kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Namun, penambangan itu terus berlangsung,” papar Sukma Dijaya, koordinator warga. Selain diangkut melalui laut, pasir besi juga diangkut dengan truk milik warga dengan daya angkut 12-14 ton per truk.
Oleh karena diduga melebihi tonase, pengangkutan pasir besi melalui darat itu menimbulkan konflik antarwarga karena merusakkan jalan. ”Saat kami mencoba mencegat truk, mereka beralasan mencari penghidupan,” ujar Ayim LB, Totong, dan Samsulo, warga Cibitung. Ketua Pembina DPKLTS, yang juga sesepuh Jabar, Solihin GP berjanji meneruskan persoalan ini kepada pemerintah pusat.
Bupati Sukabumi Sukmawijaya menjelaskan, ada lima perusahaan penambangan pasir besi yang berizin, antara lain PT Bumi Pertiwi Makmur Sejahtera, PT Karya Sakti Purnama, PT Sumber Suryadarma Prima, dan Perusahaan Daerah Aneka Tambang dan Energi (PD ATE). Izin dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sukabumi sejak 2006.
Menurut Sukma, pengangkutan hasil tambang belum berdampak pada kerusakan lingkungan dan jalan sebab belum beroperasi penuh. ”Kami mendorong pengangkutannya melalui laut,” ujarnya. Ia berharap, pasir besi dari Sukabumi diolah terlebih dahulu sebelum diperdagangkan sesuai peraturan pemerintah.
Menurut dia, PT Sumber Suryadarma Prima paling berpotensi mengolah sebab memiliki lahan yang luas dan sudah membangun sarananya. ”Harapan saya, perusahaan lain memasok hasil penambangan ke perusahaan itu,” kata Sukma.
Harus diawasi
Sementara masyarakat pesisir selatan Kabupaten Tasikmalaya meminta pemerintah mengawasi pembangunan pabrik pengolahan bijih pasir besi. Pembangunan pabrik pengolahan bijih pasir besi atau smelter seharusnya bisa menekan kerusakan lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat.
”Kami tak antitambang asalkan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Namun, apabila menyalahi aturan, banyak warga pasti menentang,” kata tokoh pemuda Tasikmalaya selatan, Yayan Siswandi, di Tasikmalaya, Sabtu (18/1).
Sesuai aturan, lanjutnya, pengusaha hanya memiliki waktu lima tahun membuat pabrik pengolahan bijih pasir besi. Apabila dalam waktu yang ditentukan pabrik pengolahan belum terbangun, pemerintah bisa mencabut izinnya. (HEI/CHE/DMU)
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004211194
Hal itu disampaikan sekitar 20 warga Kecamatan Cibitung, Sukabumi kepada Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) di Bandung, Jabar, pekan lalu. Mereka datang bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Angkatan Muda Pemberdayaan dan Pembangunan Wilayah Strategis (Amplas) seraya memperlihatkan gambar kerusakan pantai dan sumber air di sekitar pantai.
”Kami sudah mengadu ke mana-mana, termasuk kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Namun, penambangan itu terus berlangsung,” papar Sukma Dijaya, koordinator warga. Selain diangkut melalui laut, pasir besi juga diangkut dengan truk milik warga dengan daya angkut 12-14 ton per truk.
Oleh karena diduga melebihi tonase, pengangkutan pasir besi melalui darat itu menimbulkan konflik antarwarga karena merusakkan jalan. ”Saat kami mencoba mencegat truk, mereka beralasan mencari penghidupan,” ujar Ayim LB, Totong, dan Samsulo, warga Cibitung. Ketua Pembina DPKLTS, yang juga sesepuh Jabar, Solihin GP berjanji meneruskan persoalan ini kepada pemerintah pusat.
Bupati Sukabumi Sukmawijaya menjelaskan, ada lima perusahaan penambangan pasir besi yang berizin, antara lain PT Bumi Pertiwi Makmur Sejahtera, PT Karya Sakti Purnama, PT Sumber Suryadarma Prima, dan Perusahaan Daerah Aneka Tambang dan Energi (PD ATE). Izin dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sukabumi sejak 2006.
Menurut Sukma, pengangkutan hasil tambang belum berdampak pada kerusakan lingkungan dan jalan sebab belum beroperasi penuh. ”Kami mendorong pengangkutannya melalui laut,” ujarnya. Ia berharap, pasir besi dari Sukabumi diolah terlebih dahulu sebelum diperdagangkan sesuai peraturan pemerintah.
Menurut dia, PT Sumber Suryadarma Prima paling berpotensi mengolah sebab memiliki lahan yang luas dan sudah membangun sarananya. ”Harapan saya, perusahaan lain memasok hasil penambangan ke perusahaan itu,” kata Sukma.
Harus diawasi
Sementara masyarakat pesisir selatan Kabupaten Tasikmalaya meminta pemerintah mengawasi pembangunan pabrik pengolahan bijih pasir besi. Pembangunan pabrik pengolahan bijih pasir besi atau smelter seharusnya bisa menekan kerusakan lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat.
”Kami tak antitambang asalkan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Namun, apabila menyalahi aturan, banyak warga pasti menentang,” kata tokoh pemuda Tasikmalaya selatan, Yayan Siswandi, di Tasikmalaya, Sabtu (18/1).
Sesuai aturan, lanjutnya, pengusaha hanya memiliki waktu lima tahun membuat pabrik pengolahan bijih pasir besi. Apabila dalam waktu yang ditentukan pabrik pengolahan belum terbangun, pemerintah bisa mencabut izinnya. (HEI/CHE/DMU)
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004211194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar