Ada
indikasi masuknya mutiara air tawar dari China ke Indonesia dan wilayah
produksi mutiara seperti ke Nusa Tenggara Barat dan Bali
Banjirnya impor mutiara dengan harga yang murah dari China mengakibatkan puluhan perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang mutiara terpaksa menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dalam soal harga.
"Ada indikasi masuknya mutiara air tawar dari China ke Indonesia dan wilayah produksi mutiara seperti ke Nusa Tenggara Barat dan Bali. Hal ini tentu saja mempengaruhi industri mutiara di dalam negeri," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut Hutagalung di Jakarta, hari ini.
Menurut dia, dampak dari hal tersebut cukup besar yaitu berkurangnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang mutiara dalam negeri yaitu dari 86 perusahaan menjadi 37 perusahaan.
Jumlah itu, lanjutnya, menandakan bahwa terdapat sekitar 64 persen perusahaan yang anjlok karena masuknya mutiara air tawar dari China yang harganya murah.
Padahal, ia mengingatkan bahwa mutiara yang kualitasnya di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI) akan menjatuhkan harga mutiara lokal.
Untuk melindungi para produsen mutiara Indonesia, KKP sedang menyusun Peraturan Menteri tentang Pengendalian Mutu Mutiara yang masuk ke dalam wilayah RI.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Produk Nonkonsumsi KKP Maman Hermawan mengatakan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut akan memastikan bahwa mutiara yang masuk ke dalam Indonesia sesuai dengan SNI. "Mudah-mudahan akhir tahun 2012 ini Peraturan Menteri tersebut telah dapat keluar," kata Maman.
Ia juga menuturkan, salah satu perbandingan antara mutiara dari Indonesia adalah waktu dari pemijahan sampai panen dapat memerlukan waktu hingga sebesar empat tahun, sedangkan mutiara dari China rata-rata hanya memerlukan sekitar enam bulan.
Ia memaparkan, produksi mutiara "South Sea Pearls" (SSP) Indonesia mencapai 6,3 ton atau sebesar 53 persen dari produksi mutiara SSP dunia yang sebanyak 12 ribu kilogram per tahun.
"Sebagian besar SSP Indonesia adalah diekspor. Namun demikian, tingginya produksi mutiara belum diikuti dengan peningkatan kualitas mutiara," katanya.
Akibatnya, harga mutiara Indonesia di pasar dunia dinilai juga masih jauh lebih rendah dibandingkan mutiara asal Australia.
Banjirnya impor mutiara dengan harga yang murah dari China mengakibatkan puluhan perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang mutiara terpaksa menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dalam soal harga.
"Ada indikasi masuknya mutiara air tawar dari China ke Indonesia dan wilayah produksi mutiara seperti ke Nusa Tenggara Barat dan Bali. Hal ini tentu saja mempengaruhi industri mutiara di dalam negeri," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut Hutagalung di Jakarta, hari ini.
Menurut dia, dampak dari hal tersebut cukup besar yaitu berkurangnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang mutiara dalam negeri yaitu dari 86 perusahaan menjadi 37 perusahaan.
Jumlah itu, lanjutnya, menandakan bahwa terdapat sekitar 64 persen perusahaan yang anjlok karena masuknya mutiara air tawar dari China yang harganya murah.
Padahal, ia mengingatkan bahwa mutiara yang kualitasnya di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI) akan menjatuhkan harga mutiara lokal.
Untuk melindungi para produsen mutiara Indonesia, KKP sedang menyusun Peraturan Menteri tentang Pengendalian Mutu Mutiara yang masuk ke dalam wilayah RI.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Produk Nonkonsumsi KKP Maman Hermawan mengatakan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut akan memastikan bahwa mutiara yang masuk ke dalam Indonesia sesuai dengan SNI. "Mudah-mudahan akhir tahun 2012 ini Peraturan Menteri tersebut telah dapat keluar," kata Maman.
Ia juga menuturkan, salah satu perbandingan antara mutiara dari Indonesia adalah waktu dari pemijahan sampai panen dapat memerlukan waktu hingga sebesar empat tahun, sedangkan mutiara dari China rata-rata hanya memerlukan sekitar enam bulan.
Ia memaparkan, produksi mutiara "South Sea Pearls" (SSP) Indonesia mencapai 6,3 ton atau sebesar 53 persen dari produksi mutiara SSP dunia yang sebanyak 12 ribu kilogram per tahun.
"Sebagian besar SSP Indonesia adalah diekspor. Namun demikian, tingginya produksi mutiara belum diikuti dengan peningkatan kualitas mutiara," katanya.
Akibatnya, harga mutiara Indonesia di pasar dunia dinilai juga masih jauh lebih rendah dibandingkan mutiara asal Australia.
Penulis: /FEB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar