Sumberdaya
pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Banten
saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat
seperti minyak dan gas bumi serta mineral-mineral tertentu, semakin
berkurang akibat eksploitasi yang berlangsung sejak lama.
Melihat
keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan
memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber
pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut
lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk
menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan
non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut
semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan
masyarakat.
Propinsi
Banten yang terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, mempunyai 78
pulau-pulau (termasuk Kep.Seribu di Kab. Tangerang), diperkirakan 1/3
bagian wilayahnya terdiri dari lautan dengan luas perairan Propinsi
Banten sekitar 11.134,224 km2 dengan panjang pantai sekitar 501 km.
Posisi
garis pantai Banten dapat digambarkan sebagai berikut : bagian barat
yang menghadap Selat Sunda adalah Kabupaten Pandeglang dengan panjang
pantai sekitar 182,8 km, dan yang menghadap Samudera Indonesia sekitar
47,2 km, Kabupaten Serang dengan panjang pantai sekitar 75 km menghadap
Laut Jawa dan sekitar 45 km menghadap Selat Sunda, Kabupaten Lebak yang
memiliki panjang pantai sekitar 75 km menghadap Samudera Indonesia,
Kabupaten Tangerang mempunyai panjang pantai 51 km yang menghadap Laut
Jawa dan Kota Cilegon mempunyai panjang pantai sekitar 25 km menghadap
Selat Sunda sedangkan satu kota yaitu Kota Tangerang yang tidak
mempunyai panjang pantai.
Kekayaan
alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Banten tersebut
antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti
mangrove (hutan bakau), terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya
mineral seperti minyak bumi dan gas alam (yang masih dalam penelitian)
termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Disamping
itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Propinsi Banten
memiliki harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal
pelayaran niaga yang karam pada masa lalu, selain itu juga wilayah
pesisir memiliki potensi keindahan dan kenyamanan sebagai tempat
rekreasi dan pariwisata.
Dengan
karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan
sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat
terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendekatan
pembangunnan secara hati-hati.
Pada
sisi lain, luasnya sumberdaya lautan dan pesisir menimbulkan
permasalahan, berupa ketidak terpaduan pemanfaatan ruang di wilayah
pesisir. Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan / memicu konflik
antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak
terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan
merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif
dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.
Permasalahan
lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber
dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan
masyarakat pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan
lemahnya penegakan hukum.
Untuk
mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir
diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang
pesisir dan lautan.
Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Dalam
kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara
luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan
substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu
sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang
berlaku secara umum.
4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
-
Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi
banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan
pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove,
rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
-
Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan
yang kecil.
-
Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat
kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona
preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.
5. Penentuan Sektor Unggulan
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6. Penentuan Struktur Tata Ruang
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St = Vt x t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan
ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak
adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam
sistem tatanan sosial setempat.
Penataan
ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan
kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang.
Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan
pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi
pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan
ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu
memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana,
yaitu :
- Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
- Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
-
Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh
semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
- Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
-
Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang
ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap
biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah,
dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan
hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut
peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga
perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku
pembangunan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar