03 Juli, 2012

Karbon Biru, Kunci Perubahan Iklim **


Sesungguhnya tidak tepat menamakan planet ini bumi sedangkan jelas terlihat bahwa ia adalah lautan (Arthur C. Clarke)

Perubahan iklim jelas bukan isu global yang terjadi baru-baru ini. Cuaca tak tentu dan bergesernya siklus iklim hanyalah segelintir kecil ciri fisik yang terlihat. Melalui maraknya pemberitaan, saya yakin banyak pula di antara kita yang sudah tak lagi awam dengan penyebab perubahan iklim.

Perubahan Iklim antropogenik disebabkan oleh peningkatan kadar gas-gas rumah kaca dan partikel-partikel di atmosfir. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan gas-gas karbondioksida (karbon coklat) dan partikel-partikel abu (sebagian karbon hitam).

Penyebab kedua adalah emisi (pelepasan) akibat pembukaan lahan atau pembabatan vegetasi alami, kebakaran hutan, serta emisi dari aktivitas pertanian termasuk peternakan. Penyebab ketiga adalah penurunan kemampuan ekosistem alami untuk menyerap, mengikat dan menyimpan karbon melalui proses fotosintesis yang disebut sebagai karbon hijau.

Terkait dengan penyebab terakhir, nampaknya ada satu hal yang selalu luput dari pengamatan kita padahal perannya sangat nyata. Ia adalah karbon biru (blue carbon). Karbon Biru adalah karbon yang diserap ekositem pantai dan laut dan mencakup lebih dari 55% karbon hijau sedunia!

Sang penyerap karbon biru adalah ekosistem mangrove, rawa payau dan padang lamun. Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut ini tersimpan dalam bentuk sedimen. Karbon tersebut dapat tertimbun tidak hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun (seperti halnya karbon di ekosistem hutan) tetapi selama ribuan tahun.
Habitat pesisir yang ditumbuhi vegetasi hutan mangrove, rawa payau dan padang lamun ini memiliki banyak kemiripan dengan hutan hujan tropis yakni sebagai biodiversity hot spots atau pusat-pusat keragaman hayati sekaligus penyedia fungsi ekosistem yang sangat penting termasuk penyerap karbon berkapasitas tinggi.

Hanya sebagian karbon yang tersimpan secara permanen di lingkungan laut karena sebagian besar karbon mengikuti siklus daur dan hanya terlepas setelah puluhan tahun. Saat ini, ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara dengan sekitar 25% peningkatan tahunan karbon atmosfer yakni sebesar sekitar 2.000 Tera (10¹²) Gram Karbon per tahun.

Habitat pesisir terbukti dapat mengembalikan areal ekosistem karbon biru yang telah hilang, terutama dari aspek ekologi. Pemulihan tersebut dapat mengembalikan jasa-jasa penting seperti kemampuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam perairan pesisir, membantu memulihkan stok ikan global serta melindungi pesisir dari badai bencana cuaca ekstrim.

Saat bersamaan, habitat pesisir pun dapat menghentikan penyusutan dan degradasi penyerap karbon alami penting sehingga berkontribusi terhadap emisi karbondioksida dan mitigasi perubahan iklim dalam jangka panjang.

Ekosistem penyerap karbon biru ini sesungguhnya terletak di sepanjang pesisir semua benua kecuali Antartika. Artinya, negara di seluruh penjuru dunia terutama yang memiliki perairan dangkal relatif luas, berpeluang mengeksplorasi mitigasi emisi karbondioksida melalui upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem penyerap karbon biru yang dimilikinya

Ekosistem Padang Lamun dan Bakau di Teluk Banten yang berperan sebagai pengikat CO2 di kawasan pesisir dan laut.

Dengan demikian, perluasan ekosistem karbon biru merupakan strategi win-win setara dengan strategi untuk melindungi dan memulihkan kapasitas penyerapan karbon pada hutan hujan tropis yang dapat membantu negara memenuhi komitmen Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Sayangnya, dalam dua puluh tahun ke depan sebagian besar ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon sinks) diperkirakan akan musnah sehingga kemampuan tahunan untuk mengikat karbon akan menurun. Untuk mempertahankan situasi saat ini, butuh pengurangan emisi sebesar 4-8% sebelum tahun 2030 atau 10% sebelum tahun 2050.

Ya, bertentangan dengan manfaatnya yang maha penting, habitat pesisir tersebut ironisnya justru mengalami laju kehilangan tajam berskala global. Habitat ini mengalami degradasi dengan laju kerusakan sekitar 5-10 kali lipat dibanding laju kerusakan hutan tropis.

Degradasi mungkin disebabkan minimnya “kharisma” habitat tersebut karena letaknya yang lebih sering berada di bawah permukaan air atau di luar pandangan manusia. Di mata masyarakat, habitat ini belum memiliki daya tarik yang sebanding dengan ekosistem setara dengannya di daratan. Penyebab lain adalah kerusakan habitat bervegetasi di wilayah pesisir sejak 1940-an.

Pencegahan degradasi ekosistem penyerap karbon hijau dan biru dapat memberi dampak positif berupa pengurangan 1-2 kali volum emisi seluruh transportasi global serta memberi manfaat tambahan bagi keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, mata pencaharian, obyek wisata, penelitian ilmiah dan sumber daya mineral.

Dengan kata lain, pencegahan kehilangan penyerap karbon biru di lingkungan laut akan memberi kontribusi nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim dibandingkan dengan pencegahan penebangan hutan tropis.

Perlindungan tersebut antara lain mencakup penetapan pengaturan: reklamasi pantai, penebangan hutan bakau, penggunaan pupuk, pembuangan limbah organik, penebangan hutan di darat, perikanan serta penetapan garis pesisir.

Peningkatan ketahanan (resilience) masyarakat pesisir maupun komunitas biota ekosistem pesisir dan laut jelas menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan peran lingkungan laut sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.

Ada beberapa opsi agar upaya pemulihan penyerap karbon biru yang krusial ini dapat berjalan.

Pertama, memperjuangkan adanya dana karbon biru dalam negosiasi iklim PBB untuk perlindungan serta pengelolaan pesisir dan ekosistem laut.

Kedua, segera melindungi setidaknya 80% luas padang lamun, rawa payau dan hutan mangrove melalui pengelolaan yang efektif.

Ketiga, memulai latihan pengelolaan sehingga mengurangi ancaman dan mendukung potensi pemulihan penyerap karbon biru.

Keempat, menjaga ketahanan pangan dan mata pencaharian berbasis ekosistem terpadu untuk meningkatkan ketahanan manusia dan sistem alam terhadap perubahan. Terakhir adalah mengimplementasikan strategi saling menguntungkan pada sektor berbasis sumber daya laut.

Rumput Laut (Seaweed) yang berfungsi sebagai penyerap Karbon Dioksida di ekosistem laut dan juga sekaligus berperan penting dalam ketahanan pangan untuk sektor kelautan dan perikanan.

Beberapa langkah semacam ini jelas amat dibutuhkan mengingat dampak yang sudah mulai terjadi di lingkungan laut akibat proses perubahan iklim termasuk naiknya muka air laut, pengasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim dan penurunan sumber daya perikanan.

Ingatlah bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang didominasi lautan. Dengan luas ekosistem padang lamun sekitar 3,30 juta hektar dan luas ekosistem mangrove adalah 3,15 juta hektar, kemampuan ekosistem padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun dan potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.

Karbon biru dapat berperan mengurangi emisi karbon sebesar 139,77 juta ton karbon/tahun. Angka ini dapat terus bertambah jika lahan-lahan yag kurang atau tidak efektif pengunaanya seperti lahan tambak yang tidak digunakan lagi dialihkan atau ditanami mangrove.

Langkah lain adalah meningkatkan jumlah lahan budidaya rumput laut karena sejauh ini lahan budidaya yang termanfaatkan hanya sekitar 20% dari luas lahan yang ada di Indonesia. Mulailah peduli pada peran penting Sang Penyerap Karbon Biru demi masa depan bumi kita yang lebih baik.

                                                               * * * * * *

** Artikel ini di tulis oleh Dr. Agus Supangat
Penulis adalah peneliti di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan  menjabat sebagai Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Riset dan Pengembangan di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).


Pengelolaan kawasan pesisir yang terintegrasi di Nusa Lembongan, Bali.

Tidak ada komentar: