03 Agustus, 2011

Orang Bajo dan Pelestarian Mangrove

UMAR PASANDRE
Oleh Aris Prasetyo

Umar Pasandre merasa malu menyaksikan kerusakan hutan mangrove di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Ia mencemaskan nasib anak cucu kelak ketika lingkungan rusak, yang bukan mustahil diwariskan orang tua. Lelaki tamatan SD ini pun akhirnya bergerak memotori penyelamatan hutan mangrove di desanya. Tugas utamanya adalah menyadarkan saudara – saudaranya sesame suku Bajo.

Kecemasan Umar bermula sekitar 10 tahun lalu. Dia melihat sendiri bagaimana hutan mangrove di wilayah pesisir panta Torosiaje, yang dihuni warga suku Bajon dan pulau – pulau disekitarnya, lambat laun semakin musnah.

Areal itu gundul dan menimbulkan gerusan tanah akibat terjangan ombak. Ikan pun semakin jarang dijupai warga. Padahal, semasa kecil Umar di Desa Torosiaje, banyak dijumpai tegakkan mangrove di sepanjang gari pantai.

Merasa masih minim pengeteahuan soal hutan mangrove, Umar tertarik mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Balai Pengelolaan DaerahAliran Sungai Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo tahun 2001. Dari pelatihan itu dia belajar cara melestarikan hutan mangrove. Hasil pelatihan yang di ikuti Umar tersebut disebarkan kepada tetangga, keluarga dan nelayan di Desa Torosiaje.

“Saya lalu mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi hutan mangrove kepada pemerintah daerah. Saat ada Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2004, saya bisa aktif mengikutinya”, cerita Umar yang sehari – hari berprofesi sebagai nelayan dan tukang kayu.

Semangat Umar untuk melestarikan hutan mangrove di desanya semakin menggebu – gebu. Pada akhir tahun 2009 dia mendirikan Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) di desanya.

Kelompok ini beranggotakan warga Desa Torosiaje. Fokus kegiatan utama kelompok ini adalah menyelamatkan dan melestarikan hutan mangrove yang semakin terancam keberadaannya.

Keinginan Umar itu tidak langsung bersambut. Dia harus mendatangi satu persatu kerabat serta tetangga utnuk diajak berdialog tentang pentingnya menjaga dan melestarikan hutan mangrove.

Mereka kemudian di ajaknya membuat pembibitan dan penanaman mangrove di areal masing – masing. Kegiatan lain yang juga di galakkan Umar adalah membersihkan pesisir pantai Torosiaje dari sampah yang dibuang warga.

“Tidak selamanya kegiatan yang kami lakukan itu dapat berjalan mulus. Ada saja sebagian dari warga yang memandang sebelah mata kegiatan kami. Menurut mereka, pembibitan atau penanaman mangrove percuma karena tidak bisa mendatangkan uang”, ujarnya.
Meski demikian, Umar tak putus asa. Dia tetap melakukan pembibitan dan penanaman mangrove sambil berupaya memberikan pemahaman kepada warga. Hasilnya, hutan mangrove terbentuk seluas tak kurang dari 109 Ha.

Perusakan Terumbu Karang

Umar memahami, tidak semua nelayan di Desa Torosiaje menyadari betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove dikawasan tersebut. Hal itu terlihat dari masih adanya penebangan pohon mangrove oleh sebagian orang Suku Bajo.

Mereka menggunakan pohon mangrove itu untuk kayu bakar atau kebutuhan mendirikan rumah. Imbauan dan pemahaman yang coba diberikan Umar kepada warga, agar hutan mangrove tidak di tebang, tak selamanya di gubris.

“Bahkan pernah terjadi, suatu malam ada sekitar 100 bibit pohon mangrove berusia tiga tahun, yang kami tanam,musnah dibabt orang tak di kenal. Kami hanya bisa melaporkan peristiwa ini kepada pihak Kepolisian agar diusut siapa pelakunya”, cerita Umar.

Selain terjadi perusakan hutan mangrove, kondisi lain yang juga membuat Umar gelisah adalah perusakan terumbu karang. Terumbu karang diperairan Teluk Tomini, disekitar Desa Torosiaje kerap di jarah warga. Mereka mengambil terumbu karang itu sebagai bahan baku pembuatan dinding rumah.

Selain itu, perusakan terumbu karang di perairan Teluk Tomini juga disebabkan penggunaan bom ikan oleh sebagian warga di Desa Torosiaje. “Dua hal tersebut menjadi pemicu utama percepatan kemusnahan ikan – ikan di perairan Teluk Tomini karena hilangnya terumbu karang”, kata Umar.

Citra Orang Bajo

Umar menyadari, apa yang dilakukan sebagian orang bajo itu merusak lingkungan. Namun, sebagai orang bajo, dia juga tidak ingin menutupi kenyataan tersebut.
“Tidak boleh saya tutupi jika citra orang bajo itu negative. Orang Bajo dikenal sebagai perusak terumbu karang dan mangrove. Kenyataan itu memang ada, tetapi saya ingin menghapus citra buruk orang bajo tersebut. Saya tidak mau orang bajo yang (terus – menerus) dianggap sebagai perusak lingkungan”, kata Umar.

Untuk memperkuat upayanya melestarikan mangrove, Umar kemudian mendorong Pemerintah Desa Torosiaje mengeluarkan peraturan desa tentang kelestarian mangrove.
Beberapa usulan yang dia ajukan dalam dalam peraturan desa itu, antara lain, melarang warga Desa Torosiaje mengambil atau menebang hutan mangrove, melarang pengambilan terumbu karang, dan melarang menangkap ikan menggunakan bom.

Tak hanya itu Umar juga mengusulkan dijatuhkannya sanksi adapt kepada orang bajo yang melanggar aturan peraturan desa tersebut. Tak tanggung – tanggung, sanksi yang dia usulkan adalah mengusir mereka ang melanggar aturan peraturan desa keluar dari Desa Torosiaje.

“Sanksi ini (harus keras) untuk memberikan efek jera (agar warga tidak merusak lingkungan)”, katanya.

Data yang dirilis Sustainable Coastal and Livelihoods Management (SUSCLAM), organisasi nirlaba bidang pelestarian di Teluk Tomini, dari tahun ke tahun luas hutan mangrove di pesisir teluk di Gorontalo itu terus menurun. Pada tahun 1988, misalnya, luas hutan mangrove mencapai 14.777 Ha. Tahun 2001 menurun menjadi 13.188 Ha dan kini tinggal tersisa 8.872 Ha.

Menurut Koordinator Program Susclam, Rahman Dako, penyebab utama penurunan luas hutan mangrove adalah alih fungsi hutan menjadi pertambakkan. Perubahan alih fungsi ini sangat massif akibat lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran masyarakat. Faktor ekonomi melatarbelakangi maraknya alih fungsi hutan mangrove di Gorontalo.

Dalam kesedarhanaannya, Umar menyimpan mimpi mengembalikan rindangnya hutan mangrove di pesisir pantai Torosiaje. Ia mrindukan banyaknya ikan berkumpul di sela-sela akar pohon mangrove seperti masa kecilnya dulu. Umar ingin agar para nelayan didesanya mudah mendaptkan ikan tanpa harus merusak terumbu karang yang menjadi tempat bertelurnya ikan.

UMAR PASANDRE:
Lahir: Gorontalo, 14 April 1985
Pendidikan: Sekolah Dasar, Tamat 1985
Istri: Meti Kaba (38)
Anak:
- Desy Pasandre (15)
- Nurhasanah Pasandre (7)
Pencapaian:
- Peraih Suharso Monoarfa Award sebagai tokoh desa lingkungan 2010
- Aktif mengikuti seminar dan pelatihan tentang pelestarian mangrove
- Narasumber berbagai diskusi tentang suku Bajo di Desa Torsiaje, Gorontalo

Sumber : Kompas Selasa 2 Agustus 2011

Tidak ada komentar: