19 Maret, 2009

Inisiasi Koordinasi Penegakan Hukum Mencegah Perdagangan Penyu

Oleh: Pariama Hutasoit

Denpasar - Perdagangan penyu di Indonesia ditengarai tengah ‘mewabah’ kembali meskipun upaya pencegahannya telah dilakukan terus-menerus oleh aparat penegak hukum. Meresponi gejala ini, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Ditjen Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam (PHKA)-Departemen Kehutanan, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K)-Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Universitas Udayana menyelanggarakan Semiloka Perumusan Strategi Pencegahan Kembalinya ‘Wabah’ Perdagangan Penyu di Denpasar, 12-13 Maret 2009.

Semiloka yang dihadiri peserta dari berbagai pihak kepentingan daerah yang menjadi habitat maupun tujuan perdagangan penyu itu diharapkan dapat menghasilkan solusi yang tepat demi mencegah perdagangan penyu di Indonesia, khususnya Bali. Sebuah template pembahasan penegakan hukum diharapkan terbentuk usai semiloka ini yang nantinya dapat bermanfaat sebagai bahan acuan ke depannya.

“Upaya menghentikan perdagangan penyu adalah perjuangan panjang yang menuntut komitmen tinggi dari pihak-pihak terkait. Sejauh ini sudah terlihat inisiatif yang baik sekali dari aparat penegak hukum, namun kelanjutan prosesnya tidak maksimal, sehingga tidak berhasil memberi efek jera dan pembelajaran bagi orang lain,” ujar Wawan Ridwan, Direktur Program Kelautan WWF-Indonesia saat pembukaan Semiloka.

Seperti diketahui, awal tahun 2009 ini aparat penegak hukum Indonesia telah menggagalkan tiga upaya penyeludupan penyu, masing-masing di Bali, Dompu, dan Sinjai. Peristiwa ini cukup membuat terhenyak berbagai pihak yang menaruh peduli pada perlindungan penyu di Indonesia, lantaran trend perdagangan penyu telah menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini, namun tiba-tiba merebak kembali.

“Bisa jadi ini adalah sebuah fenomena gunung es. Kita kuatir apabila dibiarkan dan meledak, maka biaya menghentikannya akan mahal sekali,” kata Dr.IB Windia Adnyana, penyelenggara semiloka menengarai gejala yang terjadi. Windia menjelaskan dari pengalaman lima tahun lalu, saat upaya penegakan hukum secara besar-besaran dilakukan di Bali, biaya ekonomi, sosial, termasuk pencitraan (Bali sebagai basis perdagangan penyu sekaligus daerah tujuan pariwisata dunia, Red.), sangat mahal.

Agus Darmawan, Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP, menyatakan bahwa penyu adalah satwa dilindungi, dan hukumnya sudah jelas, yaitu UU.No.5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan UU.No.31/2004 tentang Perikanan. “DKP sangat concern terhadap masalah ini. Meskipun upaya perlindungan penyu sudah ada sejak 30 tahun lalu, namun fakta di lapangan masih banyak terjadi praktek-praktek ilegal,” katanya.

Sementara Ir.Puspa Dewi Liman, Msc. Kasubdit Program dan Evaluasi, Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Dephut mengungkapkan bahwa kasus-kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia masih cukup banyak. Nilainya mencapai Rp. 9 triliun per tahun (data ProFauna 2006), sebuah nilai perdagangan ilegal yang cukup tinggi setelah bisnis narkoba dan senjata.

Puspa menambahkan bahwa perdagangan ilegal satwa liar, termasuk, penyu tidak lagi sebatas dalam negeri, tapi juga melibatkan negara lain. Dia mencontohkan upaya penyeludupan lebih dari 300 penyu di perairan Berau yang melibatkan kapal pengangkut dari Hainan-Cina. syukurlah saat ini, lanjutnya, Indonesia telah mengadopsi UNCTOC menjadi undang-undang yang baru saja disahkan yaitu UU.No.5/2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (UNCTOC) yang memungkinkan Indonesia melakukan kerja sama dengan internasional dalam menangani kejahatan perdagangan ilegal satwa liar, termasuk penyu.

Seperti diketahui upaya pemberantasan peredaran penyu yang dilindungi mengalami dilema. Rantai perdagangan penyu begitu kompleks, melibatkan banyak pihak dan tidak lepas dari permintaan pasar, baik untuk konsumsi daging maupun telurnya. Kemiskinan di pihak nelayan kecil dan keserakahan (cukong) menjadi hubungan timbal-balik yang tidak seimbang. Belum lagi, sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum masih sangat kurang, dan rendahnya masa hukuman dan denda terhadap pelaku yang tertangkap sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku makin memperumit upaya penegakan hukum dan perlindungan penyu.

Berdasarkan data kompilasi dari berbagai sumber yang dilakukan UNUD dan WWF Indonesia, sejak tahun 2000-2009 ini setidaknya 42 kasus perdagangan/penyeludupan penyu yang berhasil digagalkan aparat penegak hokum di berbagai tempat di Indonesia. Dari ke-42 kasus tersebut, 3 diantaranya berhubungan dengan nelayan Hainan (China) dan 39 kasus lainnya berhubungan dengan perdagangan penyu illegal di Bali. Tak kurang 2705 penyu Hijau (Chelonia mydas) berukuran panjang lengkung karapas antara 50-120 cm berhasil diamankan sebagai barang bukti, dan 2451 ekor (90,6%) diantaranya berhasil dilepaskan ke laut; suatu jumlah yang sangat signifikan bagi upaya pemulihan populasi penyu, khususnya penyu Hijau di Indonesia. Sisanya, 254 ekor (9,4%) telah ditemukan dalam keadaan mati saat terjadi penangkapan.



Tidak ada komentar: