05 April, 2015

Kisah Perbudakan di Benjina

Akhir Kisah Perbudakan di Benjina

Kepulauan Aru, - Dunia digegerkan dengan kabar dari sebuah pulau terpencil di Maluku bernama Benjina. Sejumlah media asing yang mengutip Associated Press mengabarkan adanya praktik perbudakan yang diduga dilakukan perusahaan Thailand yang berafiilasi dengan perusahaan Indonesia, PT Pusaka Benjina Resources (PBR).

Lewat investigasi selama setahun dan wawancara lebih dari 80 orang, tim AP menemukan sejumlah fakta mencengangkan terkait perlakuan yang diduga dilakukan oleh para 'raja' di kapal terhadap ABK asal Myanmar, Laos dan Kamboja.

Mereka ada yang dipaksa bekerja sampai 22 jam, ada yang disiksa secara fisik, gaji tidak dibayar, dilarang pulang ke negaranya dan berbagai cerita mengerikan lainnya.

Kabar ini berawal dari kasus temuan sejumlah WN Myanmar di Thailand yang mengalami penyiksaan. Mereka ternyata pelarian dari sebuah perusahaan yang terafiliasi dengan PBR. Penelusuran pun dilakukan hingga Benjina.

Pada akhirnya, cerita ini dirilis pada akhir Maret 2015 lalu. Dunia pun heboh. Amerika Serikat bahkan bereaksi keras pada pemerintah Thailand. Impor dari perusahaan yang diduga menggunakan 'jasa' para ABK tersebut dihentikan sementara.

Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti pun sedih dibuatnya. Dalam rapat dengan Komisi IV DPR, dia menunjukkan video praktik perbudakan di Benjina. Semua kecewa, termasuk pemerintah Indonesia. 

Hingga akhirnya, pada hari Jumat (3/4/2015), jajaran tim gabungan Satgas Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing dan pejabat Maluku datang ke Benjina. Sebenarnya, tujuan awal tim adalah untuk melakukan analisis evaluasi terhadap kapal-kapal milik PT PBR. Namun ternyata, temuan perbudakan membuat pemeriksaan menjadi berkembang"Ternyata kebetulan ada masalah perbudakan ini. Karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusia. Saya cari info data dari mereka," kata Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksda TNI (purn) Asep Burhanuddin di Benjina selaku koordinator Satgas di sana.


Asep datang bersama wakil ketua Satgas, Yunus Husein, jajaran Kejati Maluku, tim Balai Karantina KKP, Imigrasi, hingga anggota Satgas dari Polri Kombes Didi Wijanardi. Tak ketinggalan, perwakilan dari TNI AL pun hadir. Menggunakan KRI Pulau Renggat mereka langsung membereskan masalah perbudakan di Benjina.

Langkah awal yang dilakukan tim dengan mendata para ABK yang ada saat ini di kapal. Kombes Didik bersama kepala PSDKP Tual Mukhtar berkeliling kapal dan mendata, siapa saja mereka dan dari mana asalnya. 

Sementara tim lain, sibuk kasak-kusuk soal perusahaan. Dari hasil investigasi, diketahui ternyata PT PBR tidak memiliki kapal-kapal yang selama ini beroperasi di laut Indonesia. Kepemilikan kapal berada di tangan perusahaan Thailand.

Hal itu menjawab pertanyaan terkait para ABK yang mendapat gaji berbeda. Menurut Asep, para WN Myanmar rata-rata digaji Rp 1 juta sebulan, ABK WNI digaji Rp 1,5 juta per bulan, sementara WN Thailand Rp 3 juta sebulan. Gaji untuk WN Thailand diserahkan oleh perusahaan asal Thailand melalui para tekong atau nakhoda kapal. ABK WNI diserahkan oleh PT PBR, termasuk Myanmar.

Tim juga menemukan adanya fakta biaya operasional bulanan dari PT PBR kepada sejumlah oknum di sekitar Benjina. Hal ini diakui pihak perusahaan, namun belum terkonfirmasi oleh para penerima.

PT PBR juga tidak memberikan kontribusi nyata pada masyarakat sekitar. Menurut tim Satgas, mereka hanya memberikan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp 1 juta setiap bulan kepada tiga desa. Selain itu, mereka juga membangun klinik, namun sebagian besar malah digunakan untuk karyawan saja Akhirnya, tim berkesimpulan ada masalah besar di Benjina. Upaya perbaikan cepat harus dilakukan. Setelah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk masalah legal formal, dan tercapai kesepakatan dengan PT PBR, akhirnya para ABK non Thailand yang ingin pulang karena tersiksa dibawa ke Tual, untuk selanjutnya dipulangkan ke negara masing-masing.

"Mereka kalau sakit disetrum. Ketiduran diperlakukan tidak manusiawi. Dari sisi kemanusiaan mungkin iya (ada perbudakan)," kata Asep.

"Daripada di sini kekurangan personel keamanan, saya akan bawa ke Tual mereka," sambungnya.

Perintah Asep langsung dilaksanakan malam itu juga. Menggunakan kapal milik PT PBR Antasena, sekitar 327 orang ABK yang terdiri dari WN Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja dibawa ke Tual. Mereka dikawal oleh KRI Pulau Renggat dan kapal PSDKP.

Wajah-wajah bahagia terpancar dari para ABK. Mereka ada yang akhirnya bisa pulang setelah 9 tahun bekerja dalam tekanan, bahkan ada yang masih berusia sangat muda.

"Akhirnya saya bisa ketemu mama dan papa," ujar salah seorang WN Myanmar yang terbata-bata dalam bahasa Indonesia.

Langkah awal dari jajaran pemerintah ini kemungkinan besar bakal mengakhiri praktik perbudakan di Benjina. Semoga..

Data terbaru, jumlah ABK yang dibawa ke Tual adalah 323 orang. Dalam informasi sebelumnya, ada 13 WN Thailand, namun rupanya mereka tak jadi dibawa karena masalah keamanan. 

Setibanya di Tual mereka didata ulang nama-namanya lalu difoto satu persatu oleh Tim Satgas Illegal Fishing.

http://news.detik.com/read/2015/04/05/100132/2878220/10/akhir-kisah-perbudakan-di-benjina?n992204fksberita

Tidak ada komentar: