Pemerintah akan terus menindak tegas para pelaku illegal fishing
yang telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun setiap tahunnya.
Keseriusan pemerintah itu ditunjukkan melalui pembentukan satuan tugas
(satgas) pemberantasan Illegal, Unreported And Unregulated (IUU) Fishing.
Satgas dibentuk dengan tujuan penyelidikan atas pelanggaran aturan
penangkapan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Demikian
disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam
konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Jakarta, Senin (8/12).
Satgas
beranggotakan 12 orang dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan. Selain dari KKP, juga berasal dari Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal
Bea Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Bank Indonesia
serta Kepolisian. “Tim akan dipimpin Mas Achmad Santosa dari Deputi VI
UKP4, sedangkan Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzi Miraza sebagai Wakil
Ketua I”, ungkap Susi.
Satgas
tersebut memiliki tugas dan fungsi diantaranya, melakukan analisis
penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan Tangkap (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Selanjutnya, melakukan penataan perizinan usaha perikanan tangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). "Satgas ini nantinya akan memonitor
penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap
yang sudah dikeluarkan, memverifikasi kapal perikanan yang
pembangunannya dilakukan di luar negeri, serta menghitung kerugian
negara/perekonomian negara yang diakibatkan penyimpangan terhadap SIPI
dan SIKPI," jelas Susi.
AIS Deteksi 22 Kapal Tiongkok
Selain itu Susi menuturkan, Minggu (7/12) yang lalu sebanyak 22 kapal ikan asing asal Tiongkok diduga telah melakukan aktivitas illegal
di sekitar perairan Arafura yakni Laut Papua Timur Bagian Selatan.
Kapal itu masing-masing berukuran diatas 300 Gross Ton. Kapal-kapal
tersebut diduga telah melanggar batas wilayah negara dan terdeteksi oleh
Automatic Identification System (AIS) melakukan praktek illegal fishing. AIS merupakan sistem standar dari International Maritime Organization.
Sistem tersebut dioperasikan untuk mendeteksi kapal-kapal besar
berukuran di atas 200 GT. Kapal yang ditangkap itu memiliki modus double
flagging, atau berbendera ganda yang tidak diperbolehkan.
Susi
menjelaskan, pemerintah mengambil langkah persuasif terkait penangkapan
kapal asal Tiongkok ini, yakni melayangkan nota resmi kepada pemerintah
Tiongkok. Nota resmi tersebut telah diserahkan kepada Menteri Luar
Negeri Retno Marsudi untuk dikirim kepada Kedutaan Besar Tiongkok di
Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menjaga persoalan pencurian ikan ini
agar tidak menguap begitu saja. Hingga saat ini pemerintah belum
menentukan apakah kapal-kapal yang terdeteksi akan ditenggelamkan atau
tidak. "Kalau instruksi Presiden ditenggelamkan, ya, kami tenggelamkan.
Tapi kalau tidak, ya, lebih baik kita sita untuk nelayan," ujar Susi.
Susi
menambahkan, di wilayah perairan tersebut KKP juga telah menangkap 3
kapal yang beridentitas Manokwari I, II, dan III. Tiga kapal itu telah
menyalahi aturan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI). Pemerintah akan menindak tegas kapal ikan
Indonesia (KII) yang telah menyalahi aturan. “Saya minta pak Dirjen
(Perikanan Tangkap) mencabut SIPI dan SKIPI karena tidak melaksanakan
prosedur penangkapan ikan," tegas Susi.
Lebih
lanjut Susi menjelaskan, kapal asing yang menangkap ikan di laut
Indonesia kini terus berkurang jika dibandingkan sebelum ada kebijakan
moratorium. Data satelit Vessel Monitoring System (VMS) dan AIS yang
terbaca menyebutkan, hingga kemarin jumlah kapal asing yang beroperasi
berkurang secara signifikan. Jumlah itu terutama berasal dari hasil
pantauan di Laut Natuna dan Arafura. Dari jumlah kapal eks asing di atas
30 GT yang beroperasi sebanyak 1.130 kapal berkurang menjadi 900 kapal
pada pekan lalu, kemudian turun kembali menjadi 90 kapal, dan terakhir
hanya 74 kapal.
Perlu
diketahui, Laut Arafura termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
718. Kawasan ini merupakan salah satu daerah penangkapan udang, ikan
demersal dan ikan plagis kecil yang paling produktif di Indonesia.
Kontribusi kegiatan penangkapan di laut Arafuru terhadap produksi
perikanan laut nasional rata-rata dapat mencapai 13 persen per-tahun.
Semua jenis ikan tersebut sangat potensial memberikan kontribusi
terhadap produksi perikanan laut nasional masing-masing sekitar 45
persen, 20 persen dan 13 persen. Selain itu, secara langsung berdampak
pada peningkatan perekonomian masyarakat nelayan. Sumber daya ikan di
WPP-NRI 718 sangat penting dalam perikanan Indonesia. Namun wilayah
perairan Arafura telah lama menjadi sasaran utama kegiatan Illegal,
Unreported and Unregulated (IUU) Fishing dengan intensitas cukup tinggi,
yang dilakukan oleh kapal yang mempunyai izin maupun tanpa izin.
Sebagai
informasi, konferensi pers yang dilaksanakan di Ruang Rapat Lantai GF
Gedung Mina Bahari I kantor KKP ini, selain Menteri Kelautan dan
Perikanan serta jajarannya juga dihadiri oleh perwakilan dari
Menkopolhukam, AsOp KSAL, KSAD, KSAU serta POLRI. Selain itu hadir pula
perwakilan Kemenlu, PPATK, UKP4, Panglima Armabar, Bakorkamla, Ditjen
Bea Cukai Kementerian Keuangan, dan Ditjen Hubungan Laut, Kementerian
Perhubungan.
Jakarta, 8 Desember 2014
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Lilly Aprilya Pregiwati
Narasumber :
1. Gellwynn Jusuf
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (Telp. 021-3519070 ext 1204);
2. Asep Burhanudin
Direktur Jenderal PSDKP (Telp. 021-3519070 ext 6050);
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/11084/Pemerintah-Bentuk-Satgas-Pemberantasan-Illegal-Fishing/
3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar