17 Desember, 2014

PEMERINTAH BENTUK SATGAS PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING

Pemerintah akan terus menindak tegas para pelaku illegal fishing yang telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun setiap tahunnya. Keseriusan pemerintah itu ditunjukkan melalui pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan Illegal, Unreported And Unregulated (IUU) Fishing. Satgas dibentuk dengan tujuan penyelidikan atas pelanggaran aturan penangkapan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Demikian disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta, Senin (8/12). 

Satgas beranggotakan 12 orang dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain dari KKP, juga berasal dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Bank Indonesia serta Kepolisian. “Tim akan dipimpin Mas Achmad Santosa dari Deputi VI UKP4, sedangkan Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzi Miraza sebagai Wakil Ketua I”, ungkap Susi.

Satgas tersebut memiliki tugas dan fungsi diantaranya, melakukan analisis penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan Tangkap (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Selanjutnya, melakukan penataan perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). "Satgas ini nantinya akan memonitor penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap yang sudah dikeluarkan, memverifikasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri, serta menghitung kerugian negara/perekonomian negara yang diakibatkan penyimpangan terhadap SIPI dan SIKPI," jelas Susi.
 
AIS Deteksi 22 Kapal Tiongkok
Selain itu Susi menuturkan, Minggu (7/12) yang lalu sebanyak 22 kapal ikan asing asal Tiongkok diduga telah melakukan aktivitas illegal di sekitar perairan Arafura yakni Laut Papua Timur Bagian Selatan. Kapal itu masing-masing berukuran diatas 300 Gross Ton. Kapal-kapal tersebut diduga telah melanggar batas wilayah negara dan terdeteksi oleh Automatic Identification System (AIS) melakukan praktek illegal fishing. AIS merupakan sistem standar dari International Maritime Organization. Sistem tersebut dioperasikan untuk mendeteksi kapal-kapal besar berukuran di atas 200 GT. Kapal yang ditangkap itu memiliki modus double flagging, atau berbendera ganda yang tidak diperbolehkan.

Susi menjelaskan, pemerintah mengambil langkah persuasif terkait penangkapan kapal asal Tiongkok ini, yakni melayangkan nota resmi kepada pemerintah Tiongkok. Nota resmi tersebut telah diserahkan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk dikirim kepada Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menjaga persoalan pencurian ikan ini agar tidak menguap begitu saja. Hingga saat ini pemerintah belum menentukan apakah kapal-kapal yang terdeteksi akan ditenggelamkan atau tidak. "Kalau instruksi Presiden ditenggelamkan, ya, kami tenggelamkan. Tapi kalau tidak, ya, lebih baik kita sita untuk nelayan," ujar Susi.

Susi menambahkan, di wilayah perairan tersebut KKP juga telah menangkap 3 kapal yang beridentitas Manokwari I, II, dan III. Tiga kapal itu telah menyalahi aturan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Pemerintah akan menindak tegas kapal ikan Indonesia (KII) yang telah menyalahi aturan. “Saya minta pak Dirjen (Perikanan Tangkap) mencabut SIPI dan SKIPI karena tidak melaksanakan prosedur penangkapan ikan," tegas Susi.

Lebih lanjut Susi menjelaskan, kapal asing yang menangkap ikan di laut Indonesia kini terus berkurang jika dibandingkan sebelum ada kebijakan moratorium. Data satelit Vessel Monitoring System (VMS) dan AIS yang terbaca menyebutkan, hingga kemarin jumlah kapal asing yang beroperasi berkurang secara signifikan.  Jumlah itu terutama berasal dari hasil pantauan di Laut Natuna dan Arafura. Dari jumlah kapal eks asing di atas 30 GT yang beroperasi sebanyak 1.130 kapal berkurang menjadi 900 kapal pada pekan lalu, kemudian turun kembali menjadi 90 kapal, dan terakhir hanya 74 kapal.

Perlu diketahui, Laut Arafura termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718. Kawasan ini merupakan salah satu daerah penangkapan udang, ikan demersal dan ikan plagis kecil yang paling produktif di Indonesia. Kontribusi kegiatan penangkapan di laut Arafuru terhadap produksi perikanan laut nasional rata-rata dapat mencapai 13 persen per-tahun. Semua jenis ikan tersebut sangat potensial memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan laut nasional masing-masing sekitar 45 persen, 20 persen dan 13 persen. Selain itu, secara langsung berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat nelayan. Sumber daya ikan di WPP-NRI 718 sangat penting dalam perikanan Indonesia. Namun wilayah perairan Arafura telah lama menjadi sasaran utama kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing dengan intensitas cukup tinggi, yang dilakukan oleh kapal yang mempunyai izin maupun tanpa izin.

Sebagai informasi, konferensi pers yang dilaksanakan di Ruang Rapat Lantai GF Gedung Mina Bahari I kantor KKP ini, selain Menteri Kelautan dan Perikanan serta jajarannya juga dihadiri oleh perwakilan dari Menkopolhukam, AsOp KSAL, KSAD, KSAU serta POLRI. Selain itu hadir pula perwakilan Kemenlu, PPATK, UKP4, Panglima Armabar, Bakorkamla, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, dan Ditjen Hubungan Laut, Kementerian Perhubungan.

Jakarta, 8 Desember 2014
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Lilly Aprilya Pregiwati

Narasumber :
1. Gellwynn Jusuf
    Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (Telp. 021-3519070 ext 1204);
2. Asep Burhanudin
    Direktur Jenderal PSDKP (Telp. 021-3519070 ext 6050);

3.

Tidak ada komentar: