Prins David Saut - detikNews
Tulungagung, - Prajurit TNI khususnya
Angkatan Darat dan Angkatan Udara mengandalkan parasut 'made in
Tulungagung' dalam latihan dan operasi. Parasut asli Jawa Timur itu
dikenal negara tetangga dengan kualitasnya setara dengan yang digunakan
NATO.
Parasut tersebut dibuat oleh CV Maju Mapan, perusahaan tekstil swasta yang khusus membuat perlengkapan pendukung militer seperti tas, ikat pinggang, tenda, hingga dragchute untuk sistem pengereman jet tempur Sukhoi. Pendiri perusahaan yang jadi langganan TNI ini adalah Yafet Paiman.
Pria asli Tulungagung itu akrab disapa Paiman dan sejak 1974 mendirikan perusahaannya di Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur. Paiman mengaku dulu hidupnya jauh dari kata cukup, karena ia terlahir sebagai anak buruh tani.
"Saya anaknya petani yang tidak punya lahan alias buruh. Jadi sengsara sekali saya, dari jaman Jepang sampai krisis-krisis di negara kita. Anaknya ada empat, jadi semua lari sendiri-sendiri, cari makan sendiri-sendiri," kata Paiman di pabriknya, Rabu (19/11/2014).
Paiman mengisahkan perjalanannya sebelum memiliki rumah senilai Rp 44 miliar tersebut. Ia mengaku tak mengenyam bangku sekolah hingga berumur 10 tahun. Namun rasa ingin sekolahnya membuat ia memutar otak agar bisa sekolah. Ia pun memilih bekerja kepada seseorang dan berharap disekolahkan sebagai upahnya.
"Nah, saya ikut orang mencari rumput untuk lembu, saya waktu itu cuma minta disekolahkan, ternyata setahun kerja di situ nggak disekolahkan juga. Lalu saya ke tempat lain, jadi gembala domba, ada 60 ekor," ujar Paiman.
"Suatu hari saya ketiduran mungkin karena lapar ngangon kambing di pinggir kali. Saya tidur di bawah pohon kelapa, ternyata dombanya makan kacang sampai 1 tegalan habis. Saya dipecuti dan disuruh ganti," tambahnya
Parasut tersebut dibuat oleh CV Maju Mapan, perusahaan tekstil swasta yang khusus membuat perlengkapan pendukung militer seperti tas, ikat pinggang, tenda, hingga dragchute untuk sistem pengereman jet tempur Sukhoi. Pendiri perusahaan yang jadi langganan TNI ini adalah Yafet Paiman.
Pria asli Tulungagung itu akrab disapa Paiman dan sejak 1974 mendirikan perusahaannya di Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur. Paiman mengaku dulu hidupnya jauh dari kata cukup, karena ia terlahir sebagai anak buruh tani.
"Saya anaknya petani yang tidak punya lahan alias buruh. Jadi sengsara sekali saya, dari jaman Jepang sampai krisis-krisis di negara kita. Anaknya ada empat, jadi semua lari sendiri-sendiri, cari makan sendiri-sendiri," kata Paiman di pabriknya, Rabu (19/11/2014).
Paiman mengisahkan perjalanannya sebelum memiliki rumah senilai Rp 44 miliar tersebut. Ia mengaku tak mengenyam bangku sekolah hingga berumur 10 tahun. Namun rasa ingin sekolahnya membuat ia memutar otak agar bisa sekolah. Ia pun memilih bekerja kepada seseorang dan berharap disekolahkan sebagai upahnya.
"Nah, saya ikut orang mencari rumput untuk lembu, saya waktu itu cuma minta disekolahkan, ternyata setahun kerja di situ nggak disekolahkan juga. Lalu saya ke tempat lain, jadi gembala domba, ada 60 ekor," ujar Paiman.
"Suatu hari saya ketiduran mungkin karena lapar ngangon kambing di pinggir kali. Saya tidur di bawah pohon kelapa, ternyata dombanya makan kacang sampai 1 tegalan habis. Saya dipecuti dan disuruh ganti," tambahnya
Walau pengalaman pahit itu sempat mewarnai dirinya sebagai gembala,
Paiman sempat duduk di bangku sekolah selama 1 kwartal saja. Ia lalu
pindah tempat bekerja sebagai pencuci piring, tukang masak hingga tukang
pel. Semua dijalaninya dengan air mata dan rasa lapar hanya demi
mengenyam bangku sekolah.
"Lah saya masih kecil sudah melakukan hal kayak itu. Saya sampai nangis di kamar mandi. Itu sekelumit sejarah saya," kata Paiman.
Harapan datang saat Paiman ikut seorang camat untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih kantor Kecamatan. Oleh Camat itu, Paiman akhirnya bisa sekolah hingga bangku SMP. Lulus, Camat menawarkan Paiman untuk bekerja sebagai staf kecamatan, namun ia menolaknya.
"Pulang di Sini saya kepengen bisnis. Saya mulai bisnis kelontong sampai ke Malang, Surabaya, Semarang, Solo, Bandung lalu Jakarta. Ada pesenan apapun dari kelontong itu saya ambil, dan itu dimulai dari sumbu lampu gantung," ujar Paiman.
Dia memulai bisnis tekstil yang tersegmentasi pada peralatan dan perlengkapan pendukung militer. Awalnya sumbu lampu gantung, lalu ia mencoba ikat pinggang dan akhirnya ia memiliki industri tenun skala kecil pada tahun 1974 di lahan seluas 2 hektar di Tulungagung.
"Tahun 1977, saya rintis tenun ABRI seperti ikat pinggang. Itu mulai berjalan bagus. Sampai sekarang saya masih diterima, produk saya yang lama itu kopol rim, sarung pistol, ransel tempur, rompi. Rompi itu saya kasih alumunium alloy jadi tahan senjata tajam," ujar Paiman menceritakan awal mula kesuksesannya.
Kini Paiman memiliki pabrik besar dengan mesin-mesin modern dari Jepang, Taiwan, Korea dan Tiongkok. Ia juga telah memiliki 42 mesin tenun terpal, 52 mesin tenun webbing, 2 unit mesin coating kain, 379 mesin jahit dan puluhan mesin tenun lainnya.
Selain sukses dalam bisnis, Paiman yang lulusan SMP itu kini menyandang gelar Doktor Honoris Causa. Ia juga menempati rumah mewah bergaya Eropa yang dibangunnya selama 7 tahun dan baru ditempati 1 tahun, nilainya mencapai Rp 44 miliar.
"Rumah saya ini baru ditempati 1 tahun, yang lama bangunnya, 7 tahun. Saya sebenarnya tidak ingin bangun seperti ini, akhirnya habisnya Rp 44 miliar lebih sedikit," ujarnya.
Di usianya beranjak 70 tahun lebih, Paiman tidak berniat untuk istirahat. Ia terus ingin mengembankan usahanya. Namun ketika menceritakan masa-masa sulitnya, matanya selalu berkaca-kaca, dan sekali lagi ia mengatakan, "Saya tetap anak petani yang tidak punya lahan," tutupnya.
"Lah saya masih kecil sudah melakukan hal kayak itu. Saya sampai nangis di kamar mandi. Itu sekelumit sejarah saya," kata Paiman.
Harapan datang saat Paiman ikut seorang camat untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih kantor Kecamatan. Oleh Camat itu, Paiman akhirnya bisa sekolah hingga bangku SMP. Lulus, Camat menawarkan Paiman untuk bekerja sebagai staf kecamatan, namun ia menolaknya.
"Pulang di Sini saya kepengen bisnis. Saya mulai bisnis kelontong sampai ke Malang, Surabaya, Semarang, Solo, Bandung lalu Jakarta. Ada pesenan apapun dari kelontong itu saya ambil, dan itu dimulai dari sumbu lampu gantung," ujar Paiman.
Dia memulai bisnis tekstil yang tersegmentasi pada peralatan dan perlengkapan pendukung militer. Awalnya sumbu lampu gantung, lalu ia mencoba ikat pinggang dan akhirnya ia memiliki industri tenun skala kecil pada tahun 1974 di lahan seluas 2 hektar di Tulungagung.
"Tahun 1977, saya rintis tenun ABRI seperti ikat pinggang. Itu mulai berjalan bagus. Sampai sekarang saya masih diterima, produk saya yang lama itu kopol rim, sarung pistol, ransel tempur, rompi. Rompi itu saya kasih alumunium alloy jadi tahan senjata tajam," ujar Paiman menceritakan awal mula kesuksesannya.
Kini Paiman memiliki pabrik besar dengan mesin-mesin modern dari Jepang, Taiwan, Korea dan Tiongkok. Ia juga telah memiliki 42 mesin tenun terpal, 52 mesin tenun webbing, 2 unit mesin coating kain, 379 mesin jahit dan puluhan mesin tenun lainnya.
Selain sukses dalam bisnis, Paiman yang lulusan SMP itu kini menyandang gelar Doktor Honoris Causa. Ia juga menempati rumah mewah bergaya Eropa yang dibangunnya selama 7 tahun dan baru ditempati 1 tahun, nilainya mencapai Rp 44 miliar.
"Rumah saya ini baru ditempati 1 tahun, yang lama bangunnya, 7 tahun. Saya sebenarnya tidak ingin bangun seperti ini, akhirnya habisnya Rp 44 miliar lebih sedikit," ujarnya.
Di usianya beranjak 70 tahun lebih, Paiman tidak berniat untuk istirahat. Ia terus ingin mengembankan usahanya. Namun ketika menceritakan masa-masa sulitnya, matanya selalu berkaca-kaca, dan sekali lagi ia mengatakan, "Saya tetap anak petani yang tidak punya lahan," tutupnya.
http://news.detik.com/read/2014/11/20/040838/2753559/10/kisah-bos-parasut-made-in-tulungagung-yang-lahir-sebagai-anak-petani?nd772204btr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar