Jokowi-JK Perlu Menutup Celah Regulasi
JAKARTA,
KOMPAS – Mafia perikanan menjadi salah satu praktik mafia yang harus
dibereskan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. Praktik mafia yang menggerogoti kekayaan maritim Indonesia itu
selama ini tumbuh subur karena celah regulasi.
Sekretaris
Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim
berpendapat, Selasa (2/9), sejumlah celah regulasi membuka peluang
praktik mafia perikanan. Regulasi tersebut, antara lain, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Permen-KP) Nomor 26/PERMEN-KP/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI.
Meskipun
regulasi usaha perikanan tangkap telah direvisi, hal itu tidak mampu
menyelesaikan pencurian ikan di Indonesia, bahkan terkesan memberikan
kelonggaran terhadap potensi penangkapan ikan ilegal.
Dalam Pasal 19, misalnya, persyaratan permohonan surat izin penangkapan ikan bagi kapal di atas 30 gross tone (GT) tak lagi wajib memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter vessel monitoring system. Permen-KP
No.26/2013 melonggarkan kewajiban pembuatan surat keterangan itu
menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan
transmiter sebelum menangkap ikan.
“Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing, pencurian ikan di perairan Indonsia meningkat,” katanya.
Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global
Justice Riza Damanik mengemukakan, tekad pemerintahan baru untuk
memberantas mafia harus dibuktikan dengan menuntaskan mafia perikanan.
Modus
mafia perikanan, di antaranya, menggunakan kapal-kapal besar berbendera
ganda untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, serta memanfaatkan
BBM bersubsidi nelayan tetapi melarikan ikan hasil tangkapan tersebut ke
luar negeri.
Studi
tahun 2014 Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) menakar kerugian akibat penangkapan ikan ilegal di dunia yang
mencapai 11 juta-26 juta ton per tahun dengan total kerugian ditaksir 10
miliar-23 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, 30 persen kejahatan
perikanan dunia berlangsung di perairan Indonesia. Dengan ukuran FAO
itu, potensi penerimaan ikan yang hilang akibat penangkapan ilegal di
Indonesia mencapai Rp 100 triliun.
Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menilai, mafia perikanan
kemungkinan terkait dengan pencurian ikan. Meski demikian, fenomena
pencurian ikan terjadi hampir di seluruh dunia. “Pencurian ikan bukan
hanya di Indonesia, dunia juga,” katanya.
Pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, para mafia itu dalam istilah ekonomi dikenal sebagaifree riders (penunggang gratis) atau rent seeker (pemburu
rente). Faisal menilai, para pemburu rented an penunggang gratis ini
leluasa menggasak rente ekonomi dan bahkan merampok hak orang lain. Ada
yang lewat jalur formal, seperti penetapan harga bawah
dan harga atas untuk jasa asuransi dengan terlebih dahulu menaikkan
sampai tiga kali lipat premi asuransi.
Peneliti
Institute for Strategic Initiatives, Luky Djani, mengingatkan, untuk
membentengi dari praktik mafia, pemerintah baru perlu segera mengajukan
Rancangan UU Anti Konflik Kepentingan. Ini juga janji yang belum
ditepati pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.***
Sumber: Kompas, 3 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar