05 September, 2014

Stop Mafia Perikanan

Jokowi-JK Perlu Menutup Celah Regulasi
 
JAKARTA, KOMPAS – Mafia perikanan menjadi salah satu praktik mafia yang harus dibereskan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Praktik mafia yang menggerogoti kekayaan maritim Indonesia itu selama ini tumbuh subur karena celah regulasi.
 
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim berpendapat, Selasa (2/9), sejumlah celah regulasi membuka peluang praktik mafia perikanan. Regulasi tersebut, antara lain, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Permen-KP) Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
 
Meskipun regulasi usaha perikanan tangkap telah direvisi, hal itu tidak mampu menyelesaikan pencurian ikan di Indonesia, bahkan terkesan memberikan kelonggaran terhadap potensi penangkapan ikan ilegal.
 
Dalam Pasal 19, misalnya, persyaratan permohonan surat izin penangkapan ikan bagi kapal di atas 30 gross tone (GT) tak lagi wajib memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter vessel monitoring system. Permen-KP No.26/2013 melonggarkan kewajiban pembuatan surat keterangan itu menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum menangkap ikan.
 
“Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing, pencurian ikan di perairan Indonsia meningkat,” katanya.
 
Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik mengemukakan, tekad pemerintahan baru untuk memberantas mafia harus dibuktikan dengan menuntaskan mafia perikanan.
 
Modus mafia perikanan, di antaranya, menggunakan kapal-kapal besar berbendera ganda untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, serta memanfaatkan BBM bersubsidi nelayan tetapi melarikan ikan hasil tangkapan tersebut ke luar negeri.
 
Studi tahun 2014 Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menakar kerugian akibat penangkapan  ikan ilegal di dunia yang mencapai 11 juta-26 juta ton per tahun dengan total kerugian ditaksir 10 miliar-23 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, 30 persen kejahatan perikanan dunia berlangsung di perairan Indonesia. Dengan ukuran FAO itu, potensi penerimaan ikan yang hilang akibat penangkapan ilegal di Indonesia mencapai Rp 100 triliun.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menilai, mafia perikanan kemungkinan terkait dengan pencurian ikan. Meski demikian, fenomena pencurian ikan terjadi hampir di seluruh dunia. “Pencurian ikan bukan hanya di Indonesia, dunia juga,” katanya.
 
Pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, para mafia itu dalam istilah ekonomi dikenal sebagaifree riders (penunggang gratis) atau rent seeker (pemburu rente). Faisal menilai, para pemburu rented an penunggang gratis ini leluasa menggasak rente ekonomi dan bahkan merampok hak orang lain. Ada yang lewat jalur formal, seperti penetapan harga bawah dan harga atas untuk jasa asuransi dengan terlebih dahulu menaikkan sampai tiga kali lipat premi asuransi.
 
Peneliti Institute for Strategic Initiatives, Luky Djani, mengingatkan, untuk membentengi dari praktik mafia, pemerintah baru perlu segera mengajukan Rancangan UU Anti Konflik Kepentingan. Ini juga janji yang belum ditepati pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.***
 
Sumber: Kompas, 3 September 2014

Tidak ada komentar: