Jakarta - Selama ini dikampanyekan bahwa salah satu kelebihan pangan
organik adalah lebih sehat karena terbebas dari pestisida. Tapi Henry I.
Miller, ahli biologi molekuler di Universitas Stanford dan pendiri
Office of Biotechnology di US Food and Drug Administration, menyampaikan
meta-analisis (penelitian atas penelitian lain) yang dilakukan pada
2012 terhadap 240 studi, menyimpulkan bahwa buah dan sayur organik
rata-rata tidak lebih bergizi daripada buah dan sayur biasa. Produk
organik juga tidak bebas dari bakteri patogenik, seperti E.coli atau
salmonella.
Dr Johanes Casay Chandrawinata, spesialis gizi klinis dari Rumah Sakit Melinda, Bandung, sependapat dengan kesimpulan itu. Dia mengatakan bahwa kandungan gizi dalam pangan organik dan non-organik itu sama saja. “Tidak ada bedanya gizi pada keduanya. Kandungan mineral dan vitaminnya tetap sama. Pestisida tidak mempengaruhi kandungan gizi,” ujarnya, Selasa lalu.
Tapi, menurut dia, jika mengkonsumsi bahan pangan yang benar-benar organik, efeknya memang akan lebih aman bagi tubuh. Ini terutama penting bagi beberapa golongan umur yang rawan terpapar pestisida, seperti bayi, anak kecil, dan wanita hamil. “Mereka bisa terpapar lebih besar dibanding orang dewasa lainnya. Akan lebih aman bagi tubuh jika mereka menghindari paparan pestisida berlebihan,” kata Johanes.
Jika dikonsumsi terlalu banyak, pestisida akan terakumulasi dan tersimpan di dalam tubuh. Semakin lama semakin banyak dan bisa menimbulkan keracunan. Menurut penelitian di Amerika, ada beberapa jenis makanan yang cukup tinggi paparan pestisidanya yang kerap dikonsumsi oleh wanita hamil dan anak kecil, yaitu seledri, apel, strawberry, buah persik, bayam, dan daun selada.
Namun, untuk menentukan apakah bahan pangan itu organik atau tidak, menurut Johanes, belum ada penelitian lebih lanjut di Indonesia. Semuanya bergantung pada lokasi penanaman, proses produksi, hingga penggunaan bahan yang jauh dari unsur kimia.
Pangan organik itu, kata Johanes, adalah bila seluruh prosesnya betul-betul berasal dari alam dan tanpa unsur kimia buatan sama sekali. “Setahu saya, di Indonesia belum ada sertifikasi resmi untuk bahan pangan yang seratus persen organik. Belum tentu organik murni, walaupun berlabel organik,” kata dia.
Pemerintah, kata dia, perlu bekerja sama dengan semua pihak untuk meneliti kandungan pestisida, merkuri, dan zat beracun lain dalam sayuran dan makanan di pasaran. Selain itu, diperlukan pula sertifikasi pertanian organik dan pengawasan ketat atas produknya.
Namun ada cara lain untuk mengakali makanan supaya tidak terkena pestisida berlebihan, dengan biaya murah. Johanes mencontohkan, sebelum mengkonsumsi sayuran dari pasar, orang harus mencuci bersih kulitnya dengan air mengalir dan menggosoknya dengan sabun buah.
Cara lain adalah dengan tanaman hidroponik, yang menggunakan media air yang mengandung unsur hara, dan aeroponik, yang menggantung tanaman dan kemudian diberi semprotan air yang diberi pupuk alami. “Hasilnya lebih bagus, segar, dan tanpa pestisida,” katanya.
Dr Johanes Casay Chandrawinata, spesialis gizi klinis dari Rumah Sakit Melinda, Bandung, sependapat dengan kesimpulan itu. Dia mengatakan bahwa kandungan gizi dalam pangan organik dan non-organik itu sama saja. “Tidak ada bedanya gizi pada keduanya. Kandungan mineral dan vitaminnya tetap sama. Pestisida tidak mempengaruhi kandungan gizi,” ujarnya, Selasa lalu.
Tapi, menurut dia, jika mengkonsumsi bahan pangan yang benar-benar organik, efeknya memang akan lebih aman bagi tubuh. Ini terutama penting bagi beberapa golongan umur yang rawan terpapar pestisida, seperti bayi, anak kecil, dan wanita hamil. “Mereka bisa terpapar lebih besar dibanding orang dewasa lainnya. Akan lebih aman bagi tubuh jika mereka menghindari paparan pestisida berlebihan,” kata Johanes.
Jika dikonsumsi terlalu banyak, pestisida akan terakumulasi dan tersimpan di dalam tubuh. Semakin lama semakin banyak dan bisa menimbulkan keracunan. Menurut penelitian di Amerika, ada beberapa jenis makanan yang cukup tinggi paparan pestisidanya yang kerap dikonsumsi oleh wanita hamil dan anak kecil, yaitu seledri, apel, strawberry, buah persik, bayam, dan daun selada.
Namun, untuk menentukan apakah bahan pangan itu organik atau tidak, menurut Johanes, belum ada penelitian lebih lanjut di Indonesia. Semuanya bergantung pada lokasi penanaman, proses produksi, hingga penggunaan bahan yang jauh dari unsur kimia.
Pangan organik itu, kata Johanes, adalah bila seluruh prosesnya betul-betul berasal dari alam dan tanpa unsur kimia buatan sama sekali. “Setahu saya, di Indonesia belum ada sertifikasi resmi untuk bahan pangan yang seratus persen organik. Belum tentu organik murni, walaupun berlabel organik,” kata dia.
Pemerintah, kata dia, perlu bekerja sama dengan semua pihak untuk meneliti kandungan pestisida, merkuri, dan zat beracun lain dalam sayuran dan makanan di pasaran. Selain itu, diperlukan pula sertifikasi pertanian organik dan pengawasan ketat atas produknya.
Namun ada cara lain untuk mengakali makanan supaya tidak terkena pestisida berlebihan, dengan biaya murah. Johanes mencontohkan, sebelum mengkonsumsi sayuran dari pasar, orang harus mencuci bersih kulitnya dengan air mengalir dan menggosoknya dengan sabun buah.
Cara lain adalah dengan tanaman hidroponik, yang menggunakan media air yang mengandung unsur hara, dan aeroponik, yang menggantung tanaman dan kemudian diberi semprotan air yang diberi pupuk alami. “Hasilnya lebih bagus, segar, dan tanpa pestisida,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar