Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), salah satu organisasi RFMOs tuna, telah merilis beberapa dokumen Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Conservation and Management Measure
– CMM) atas tiga jenis ikan (tuna mata besar, madidihan, dan cakalang)
di area konvensinya yaitu Pasifik bagian barat dan tengah. Salah satunya
adalah CMM 2012-01 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk
Tuna Mata Besar, Madidihang, dan Cakalang di Bagian Barat dan Tengah
Samudera Pasifik. Secara umum, tindakan pengelolaan dalam dokumen
tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan stok ikan melalui
pengaturan penangkapan.
Satu butir penting pengaturan tersebut adalah tindakan sementara (Interim Measure)
untuk tahun 2013 yang mengatur penangkapan tuna dan cakalng di ZEE dan
laut lepas. pelarangan penangkapan tuna dan cakalang menggunakan alat
bantu pengumpul ikan (disebut Fish Agregating Device – FAD) pada
bulan Juli – September. Alat-alat yang tergolong FAD yang biasa
digunakan nelayan Indonesia antara lain adalah rumpon dan lampu.
Mengacu pada CMM 2009-02 tentang FAD Closure and Catch Retention
(Penutupan Penggunaan Alat Bantu Penangkapan dan Penyimpanan Hasil
Tangkapan), CMM 2012-01 mengatakan bahwa pelarangan penggunaan FAD oleh
kapal pukat cincin berlaku pada Juli, Agustus, dan September 2013 di ZEE
dan laut lepas. Sebagai peraturan tambahan untuk mengurangi penggunaan
FAD, CMM 2012-01 memberi pilihan kepada negara untuk memilih salah satu
tindakan (paragraf 11) yaitu (a) melanjutkan pelarangan penggunaan FAD
hingga Oktober atau (b) pembatasan penggunaan FAD sebanyak 8/12 rerata
jumlah FAD antara tahun 2001-2011. Indonesia pun memilih opsi pertama
untuk meneruskan pelarangan penggunaan FAD di Bulan Oktober. Opsi ini
ditempuh tampaknya karena data tentang jumlah rumpon dan kapal lampu di
Indonesia simpang siur dan tidak terdata dengan baik sehingga Indonesia
tidak pernah melaporkan dugaan jumlah rumponnya kepada WCPFC (CMM
2012-01, Lampiran A). Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri
mengeluarkan ijin pemasangan rumpon secara sangat terbatas. Namun
rupanya hal ini menyebabkan rumpon yang terpasang di perairan laut
Indonesia jauh melebihi jumlah yang diijinkan.
Dengan pilihan tersebut, maka
Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan harus menempatkan
pemantau di atas kapal perikanan yang biasa menggunakan rumpon dan lampu
yang beroperasi di WPP 716 dan 717 (kedua WPP tersebut berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dan masuk ke dalam area konvensi WCPFC) dan laut lepas Samudera Pasifik dalam periode Juli – Oktober 2013. Kapal penangkap tuna mata besar, madidihang, dan cakalang yang umum menggunakan rumpon dan lampu di WPP 716 dan 717 adalah pukat cincin, huhate dan pancing ulur.
Satu hal yang perlu dicatat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap
selaku penanggung jawab kegiatan pemantauan di atas kapal di Indonesia
adalah pemantauan tersebut harus dilakukan terhadap operasi penangkapan
mulai 1 Juli 2013 pukul 00.00 waktu setempat. Untuk itu, penempatan
Pemantau di atas kapal sebaiknya sejak akhir Juni agar ketika kapal
beroperasi di awal Juli, kegiatan penangkapan oleh kapal tersebut sudah
terpantau.
Hal yang Harus Dipantau dan Dilaporkan
CMM 2012-01 dan CMM 2009-02 memberi sederet catatan tentang berbagai
hal yang harus dipantau dan dilaporkan, baik oleh nelayan maupun oleh
Pemantau. Sebelum sedikit membeberkan catatan-catatn itu, saya bermaksud
menyampaikan bahwa Direktur Jenderal Perikanan Tangkap selaku
perwakilan negara bertanggung jawab atas hal-hal yang harus dilaporkan
tersebut. Letak tanggung jawabnya adalah memastikan bahwa butir-butir
yang harus dilaporan tersebut benar-benar dilaporkan dengan cara
menyediakan perangkat hukum dan menyediakan media pelaporan di lapangan.
Nelayan dan Pemantau melaporkannya ke Direktur Jenderal Perikanan
Tangkap, lalu Direktur Jenderal Perikanan Tangkap menyusunnya dalam
Laporan Tahunan Indonesia ke WCPFC atas nama Menteri Kelautan dan
Perikanan.
Pertama, seluruh kapal pukat cincin yang beroperasi di periode
penutupan penggunaan FAD harus membawa Pemantau di atas kapal (CMM
2012-01, Paragraf 21). Negara melalui Pemantau tersebut mengumpulkan
data dan informasi di atas kapal sebagai bahan kebijakan perikanan,
termasuk perkiraan stok ikan. Sebetulnya, data tersebut adalah
kepentingan nasional di mana tanpa permintaan WCPFC pun sesungguhnya
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap butuh sehingga melakukannya dengan
kebijakan sendiri pun bisa. Namun demikian, amanat ini cukup membantu
agar pemantauan di atas kapal sebagai metode pengumpulan data yang
akurat dapat terlaksana sesegera mungkin.
Kedua, Pemantau harus memastikan bahwa seluruh ikan yang tertangkap
disimpan di atas kapal (CMM 2012-01, Paragraf 17). Pemindahan hanya
boleh dilakukan di pelabuhan. Pengecualian diberlakukan bila palkah
tidak dapat memuat seluruh ikan tertangkap pada setting terakhir.
Bila terjadi demikian, maka ikan dapat dipindahkan ke kapal lain di
tengah laut (dengan catatan pemindahan hasil tangkapan di tengah laut
tersebut tidak melanggar hukum negara). Pengecualian lain adalah bila
ikan rusak dan tidak sehat untuk dimakan manusia, dan saat terjadi
kerusakan peralatan di atas kapal. Dalam kondisi tersebut, ikan rusak
boleh dibuang. CMM 2009-02 mengatur bahwa pembuangannya harus dilakukan
setelah Pemantau mengestimasi komposisi hasil tangkap ikan-ikan yang
akan dibuang tersebut (Paragraf 11). Lalu nelayan harus melaporkan
peristiwa pembuangan ikan tersebut dalam jangka waktu 48 jam setelah
pembuangan (CMM 2009-02, Paragraf 12). Hal yang dilaporkan antara lain
(a) identitas kapal, (b) nama Pemantau yang bertugas, (c) tanggal,
waktu, dan lokasi (lintang, bujur) pembuangan, (d) alasan pembuangan,
dan (e) estimasi berat dan komposisi jenis ikan terbuang.
Ketiga, kapal penangkap ikan harus mengirim sinyal VMSnya setiap 30
menit pada periode 1 Juli – 1 Nopember (paragraf 23). Peningkatan biaya
atas peningkatan frekuensi VMS tersebut akan ditanggung Komisi. Hal ini
menjadi tanggung jawab nakhoda dan Pemantau harus memastikan Nakhoda
melakukannya. Peran Direktur Jenderal Perikanan Tangkap di sini adalah
menyediakan mekanisme klaim peningkatan biaya VMS setiap kapal kepada
Komisi. Selain itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dapat meminta
data penelusuran (tracking) VMS tersebut ke Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Data tracking tersebut dapat digunakan untuk dicocokkan dengan data Pemantau dan data logbook penangkapan ikan.
Jumlah Pemantau yang Dibutuhkan dan Kompetensi Dasarnya
Hal yang menjadi pertimbangan penting dalam penempatan pemantau di
atas kapal adalah jumlah pemantau yang harus ditempatkan. Mengingat
bahwa yang menjadi fokus adalah pencegahan penggunaan alat bantu
pengumpul ikan di WPP-NRI yang berbatasan dengan Samudera Pasifik, maka
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus fokus pada kapal-kapal huhate,
pancing ulur, dan pukat cincin penangkap tuna dan cakalang di WPP-NRI
716 (Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPP 717 (Teluk
Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan laut lepas Samudera Pasifik. Kedua
jenis alat penangkapan tersebut umumnya menggunakan alat bantu berupa
rumpon dan lampu untuk menangkap ikan.
Menurut Laporan Kegiatan Bulan Mei 2013 Direktorat Pelayanan Usaha
Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, terdapat 29
kapal huhate, 18 kapal pukat cinci pelagis besar, dan 38 kapal pukat
cincin armada penangkap di kedua WPP-NRI tersebut (Tabel 1).
Sebagai informasi, terdapat sedikit perbedaan pada kapal pukat cincin
pelagis besar dan kapal pukat cincin armada penangkap. Kapal pukat
cincin pelagis besar adalah kapal pukat cincin yang menyimpan hasil
tangkapannya di palkah pada kapal itu sendiri. Sedangkan kapal pukat
cincin armada penangkap adalah kapal pukat cincin yang tidak memiliki
palkah sendiri dan menyimpan hasil tangkapannya di kapal pengumpul atau
pengangkut. Metode penangkapan pukat cincin pelagis besar yang
beroperasi sendiri (memiliki palkah pada kapal penangkap) memiliki
sedikit perbedaan pukat cincin armada yang beroperasi berkelompok (kapal
penangkap tidak memiliki palkah). Oleh sebab itu, Direktorat Pelayanan
Usaha Penangkapan Ikan pada tabel 1 tersebut membedakan keduanya dan
menyebutkan masing-masing jumlah armada penangkap dan armada pengangkut
pada pukat cincin armada.
Kembali ke jumlah kapal penangkap ikan di mana terdapat 29 kapal
huhate, 18 kapal pukat cincin pelagis besar, dan 38 kapal pukat cincin
armada penangkap di kedua WPP-NRI tersebut (Tabel 1), maka Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap berpatokan pada data tersebut untuk
menentukan jumlah pemantau yang harus ditugaskan. Secara total, terdapat
85 kapal penangkap ikan. Bila seorang pemantau ditugaskan pada satu
kapal selama periode penutupan rumpon sebagaimana diatur dalam CMM
2012-01, maka Direktur Jenderal Perikanan membutuhkan setidaknya 85
orang Pemantau yang masing-masing bertugas selama 4 bulan. Hal ini
dengan asumsi bahwa setiap kapal tersebut beroperasi penuh pada periode
ini. Namun penugasan seorang Pemantau selama 4 bulan penuh di atas kapal
adalah hal yang mustahil. Kejenuhan bekerja di atas kapal akan membuat
Pemantau tidak dapat bekerja optimal, setidaknya ketika masa kerjanya
memasuki bulan ke tiga di atas kapal. Dengan demikian, setidaknya
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap membutuhkan 170 orang pemantau
dengan asumsi satu kapal akan dipantau oleh dua orang Pemantau selama
periode tersebut. Masing-masing Pemantau bertugas selama dua bulan.
Agar pemantauan berjalan lancar dan data yang diharapkan pun
terkumpul, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap perlu memastikan bahwa
170 Pemantau tersebut memenuhi syarat. Salah satu masalah adalah
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap harus menyediakan dana cukup besar
bila akan menempatkan pemantau ke seluruh 85 kapal selama 4 bulan yang
membutuhkan 170 orang Pemantau tersebut. Masalah lain adalah kompetensi
Pemantau. Peraturan Menteri Nomor 1/PERMEN-KP/2013 tentang Pemantau
Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan pasal 4 menyebutkan
beberapa syarat agar seseorang bisa menjadi Pemantau, yaitu antara lain
memiliki pendidikan perikanan, kelautan, atau biologi. Namun pekerjaan
sebagai Pemantau yang cukup berat ditambah minimnya Pemantau yang sudah
dilatih, sepertinya Direktur Jenderal Perikanan Tangkap harus memastikan
bahwa Pemantau sudah berpengalaman bekerja di kapal penangkap ikan yang
memiliki alat penangkap ikan yang sama yang akan dipantau. Hal ini
penting untuk menjawab kebutuhan Pemantau yang mendesak. Di masa
mendatang, saat proses pengadaan Pemantau tidak didesak kebutuhan, maka
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap bersama Kepala Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) dapat melatih calon
Pemantau yang masih minim pengalaman.
Borang Pemantau dan Kualitas Data
Untuk memenuhi data dan informasi yang disyaratkan WCPFC, Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap dapat mengacu pada Standar Data WCPF untuk
Program Pemantau Regional (WCPFC Data Standards for Regional Observer Programme)
yang merupakan hasil Pertemuan Reguler Ketiga Komisi Ilmiah pada
Agustus 2007. Selain itu, WCPFC juga memiliki Lembar Data Standar
Minimum Pemantau untuk FAD (FAD – Observer Minimum Standards Data Fields).
Lembar khusus FAD ini menyediakan ruang lebih banyak untuk mencatat
data tentang alat bantu pengumpul ikan (FAD) yang digunakan. Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap tidak perlu menyusun borang baru karena
borang Pemantau yang terdapat pada Peraturan Menteri tentang Pemantau
(Nomor 1/PERMEN-KP/2013) sudah cukup memadai. Hanya saja Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap nantinya perlu menyesuaikan laporan
pemantauan di atas kapal yang telah dilakukan dengan format data WCPFC
dan ini bukanlah hal sulit.
Selain menyediakan borang sesuai kebutuhan data, Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap juga perlu melakukan beberapa langkah untuk memastikan
Pemantau dapat bekerja dengan baik dan data yang diperoleh dapat
diolah. Langkah tersebut antara lain adalah menyediakan perlengkapan
Pemantau yang terdiri dari pakaian kerja (termasuk alat keselamatan) dan
perlengkapan kerja. Perlengkapan kerja yang cukup vital bagi Pemantu
adalah kamera digital dan GPS. Kamera digital sangat berguna untuk
merekam segala aktivitas termasuk hasil tangkapan sampingan, spesies
terancam punah yang tertangkap, kondisi cuaca, dll. Sedangkan GPS
berguna agar Pemantau dapat memperoleh data secara mandiri di atas dek
sambil melakukan pengambilan contoh (sampling), tidak tergantung GPS kapal yang berada di anjungan.
Langkah lain adalah melakukan pembekalan (briefing) sebelum Pemantau berangkat dan tanya jawab (debriefing) sesaat setelah Pemantau mendarat. Briefing
bermanfaat sebagai media komunikasi terakhir dan Pemantau dapat
bertanya hal yang masih mengganjal di hatinya tentang tugasnya. Debriefing
sangat bermanfaat bagi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk
mengklarifikasi data dan informasi berupa tulisan tangan Pemantau yang
kurang jelas di atas borang agar jelas maksudnya dan dapat dimasukkan ke
dalam sistem pengolahan. Briefing dan debriefing ini
wajib dilakukan di Jepang dan Amerika karena pengelola pemantauan
perikanan di atas kapal di kedua negara tersebut ingin memastikan bahwa
pemantauan yang sudah dilakukan dengan biaya mahal itu dapat berguna.
Selain itu, pengelola pemantauan perikanan di atas kapal di kedua negara
tersebut secara terpisah mengatakan kepada saya bahwa briefing dan debriefing juga dapat menjadi ajang negara mengevaluasi kinerja Pemantau.
Posted: 23 Agustus 2013 in Perikanan, Tulisan Ilmiah, Tuna
Kaitkata:ikan, observer perikanan, pemantau, pemantau perikanan, pemantau perikanan di atas kapal, pengelolaan perikanan, Perikanan, RFMOs, Samudera Pasifik, WCPFC
Kaitkata:ikan, observer perikanan, pemantau, pemantau perikanan, pemantau perikanan di atas kapal, pengelolaan perikanan, Perikanan, RFMOs, Samudera Pasifik, WCPFC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar