Jakarta, 10/6
(ANTARA) - Bangsa Indonesia dituntut untuk segera memiliki Undang-Undang
Kelautan sebagai payung hukum bagi pengaturan laut secara terpadu.
Keberadaan UU Kelautan ini nantinya tanpa mengabaikan peraturan
perundang-undangan/ordonansi yang telah ada saat ini. RUU Kelautan
mendesak diundangkan karena bisa menjadi harapan bagi bangsa Indonesia
untuk membuktikan diri sebagai bangsa maritim. Demikian ditegaskan Ketua
Harian Dewan Kelautan Indonesia Sharif C. Soetardjo yang juga merupakan
Menteri Kelautan dan Perikanan pada pembukaan workshop “Undang
Undang Kelautan Suatu Keharusan Untuk Membangun Negara Maritim” yang
diselenggarakan Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) di Hotel Mercure Ancol
Jakarta (10/6).
Sharif menegaskan, Indonesia memang harus segera memiliki UU Kelautan. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut. Namun substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor. Konsekwensinya, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam implementasinya. “Kenyataan ini terkesan pemerintah kurang tegas, sehingga dalam pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang menangani bidang kelautan,” ujarnya.
Sharif menjelaskan, UU Kelautan nantinya harus berisi tentang mainstreaming dan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan. Kedua, breakthrough terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada. Ketiga, outward looking terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia ke depan. Keempat, menetapkan yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan dan Kelima, UU kelautan nantinya harus mengacu pada UNCLOS 1982 dan kondisi geografis Indonesia. Saat ini Rancangan Undang Undang Kelautan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013 dan menjadi inisiatif DPR, sedangkan penyiapan bahan naskah akademik, batang tubuh dan penjelasannya oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) didukung DEKIN. “Naskah akademik dan RUU akan disusun oleh tim kecil dari DPD, Komisi IV DPR dan DEKIN.” ungkapnya.
Selain menyiapkan RUU Kelautan, tambah Sharif, DEKIN juga menyiapkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) Kebijakan Kelautan Indonesia. RPP Kebijakan Kelautan Indonesia tersebut meliputi kebijakan di bidang budaya bahari, tata kelola kelautan, pertahanan, keamanan dan keselamatan laut, ekonomi kelautan, serta lingkungan laut. RPP Kebijakan Kelautan sudah selesai dibahas dengan stakeholders dan akan diajukan ke Presiden RI untuk disahkan. Di dalam RUU Kelautan dimasukkan beberapa muatan, seperti mainstreaming dan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan, terobosan terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada, dan pandangan ke depan terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia.”RUU Kelautan ini juga menetapkan hal-hal yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan seperti Kebijakan Blue Economy.” jelasnya.
Ditambahkan, workshop ini diselenggarakan untuk menindaklanjuti Rancangan Undang Undang Kelautan dalam rangka memperingati World Oceans Day 8 Juni yang tahun ini bertema ”Together We Have The Power To Protect The Ocean”. Momentum kelautan ini sekaligus juga digunakan sebagai launching Hari Nusantara 2013 yang puncak acaranya akan diselenggarakan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu yang merupakan Ketua Umum Panitia Penyelenggara Peringatan Hari Nusantara Tingkat Nasional tahun 2013 menyampaikan tema Hari Nusantara kali ini adalah “Setinggi Langit Sedalam Samudera : Potensi Pariwisata dan Kreatifitas Nusantara yang Tak Terhingga.” Hal tersebut mengandung makna bahwa potensi pariwisata dan kreatifitas nusantara yang sangat besar harus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Ismayanti, DFM, DEA, mewakili Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sharif menegaskan, Indonesia memang harus segera memiliki UU Kelautan. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut. Namun substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor. Konsekwensinya, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam implementasinya. “Kenyataan ini terkesan pemerintah kurang tegas, sehingga dalam pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang menangani bidang kelautan,” ujarnya.
Sharif menjelaskan, UU Kelautan nantinya harus berisi tentang mainstreaming dan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan. Kedua, breakthrough terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada. Ketiga, outward looking terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia ke depan. Keempat, menetapkan yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan dan Kelima, UU kelautan nantinya harus mengacu pada UNCLOS 1982 dan kondisi geografis Indonesia. Saat ini Rancangan Undang Undang Kelautan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013 dan menjadi inisiatif DPR, sedangkan penyiapan bahan naskah akademik, batang tubuh dan penjelasannya oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) didukung DEKIN. “Naskah akademik dan RUU akan disusun oleh tim kecil dari DPD, Komisi IV DPR dan DEKIN.” ungkapnya.
Selain menyiapkan RUU Kelautan, tambah Sharif, DEKIN juga menyiapkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) Kebijakan Kelautan Indonesia. RPP Kebijakan Kelautan Indonesia tersebut meliputi kebijakan di bidang budaya bahari, tata kelola kelautan, pertahanan, keamanan dan keselamatan laut, ekonomi kelautan, serta lingkungan laut. RPP Kebijakan Kelautan sudah selesai dibahas dengan stakeholders dan akan diajukan ke Presiden RI untuk disahkan. Di dalam RUU Kelautan dimasukkan beberapa muatan, seperti mainstreaming dan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan, terobosan terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada, dan pandangan ke depan terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia.”RUU Kelautan ini juga menetapkan hal-hal yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan seperti Kebijakan Blue Economy.” jelasnya.
Ditambahkan, workshop ini diselenggarakan untuk menindaklanjuti Rancangan Undang Undang Kelautan dalam rangka memperingati World Oceans Day 8 Juni yang tahun ini bertema ”Together We Have The Power To Protect The Ocean”. Momentum kelautan ini sekaligus juga digunakan sebagai launching Hari Nusantara 2013 yang puncak acaranya akan diselenggarakan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu yang merupakan Ketua Umum Panitia Penyelenggara Peringatan Hari Nusantara Tingkat Nasional tahun 2013 menyampaikan tema Hari Nusantara kali ini adalah “Setinggi Langit Sedalam Samudera : Potensi Pariwisata dan Kreatifitas Nusantara yang Tak Terhingga.” Hal tersebut mengandung makna bahwa potensi pariwisata dan kreatifitas nusantara yang sangat besar harus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Ismayanti, DFM, DEA, mewakili Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan
COPYRIGHT © 2013 http://www.antaranews.com/berita/379243/terjadi-tumpang-tindih-kewenangan-indonesia-harus-miliki-uu-kelautan
UU Kelautan mendesak atasi tumpang tindih kewenangan
Jakarta (ANTARA
News) - Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menegaskan
Indonesia harus segera memiliki Undang-Undang Kelautan untuk
menyelesaikan tumpang tindih kewenangan yang kerap terjadi di sektor
tersebut.
"Bangsa Indonesia dituntut untuk segera memiliki Undang-Undang Kelautan sebagai payung hukum bagi pengaturan laut secara terpadu," kata Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Senin.
Menurut Sharif, keberadaan UU Kelautan itu nantinya juga tidak akan mengabaikan peraturan perundang-undangan atau beragam aturan yang telah ada saat ini.
Ia berpendapat, RUU Kelautan mendesak diundangkan karena bisa menjadi harapan bagi bangsa Indonesia untuk membuktikan diri sebagai bangsa maritim.
"Indonesia memang harus segera memiliki UU Kelautan. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut. Namun substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor," katanya.
Akibatnya, ujar dia, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam implementasinya sehingga terkesan pemerintah kurang tegas karena dalam pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang menangani bidang kelautan.
Saat ini, RUU Kelautan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013 dan menjadi inisiatif DPR, sedangkan penyiapan bahan naskah akademik, batang tubuh dan penjelasannya oleh Dewan Perwakilan Daerah didukung Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN).
Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga telah meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna menyejahterakan nelayan.
"Dari konsultasi publik yang dilakukan FAO (Badan Pertanian Pangan PBB) di Indonesia telah menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional," kata Sekjen Kiara, Abdul Halim.
Menurut dia, dua rumusan tersebut antara lain adalah pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan hak untuk berbudaya.
Rumusan kedua adalah pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan melalui instrumen perlindungan nelayan.
Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia, ujar dia, mendapatkan momentum penting pada 16 Juni 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang menjadi instrumen kebijakan privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir yang terkandung dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan adanya Peraturan Presiden (Perpres) terkait pemberdayaan nelayan yang lebih kuat dan tegas dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pesisir di Tanah Air.
"Berdasarkan UU No 31/2004 tentang Perikanan, pemerintah seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memberdayakan nelayan-nelayan kecil," kata Pembina KNTI Riza Damanik.
"Bangsa Indonesia dituntut untuk segera memiliki Undang-Undang Kelautan sebagai payung hukum bagi pengaturan laut secara terpadu," kata Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Senin.
Menurut Sharif, keberadaan UU Kelautan itu nantinya juga tidak akan mengabaikan peraturan perundang-undangan atau beragam aturan yang telah ada saat ini.
Ia berpendapat, RUU Kelautan mendesak diundangkan karena bisa menjadi harapan bagi bangsa Indonesia untuk membuktikan diri sebagai bangsa maritim.
"Indonesia memang harus segera memiliki UU Kelautan. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut. Namun substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor," katanya.
Akibatnya, ujar dia, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam implementasinya sehingga terkesan pemerintah kurang tegas karena dalam pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang menangani bidang kelautan.
Saat ini, RUU Kelautan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013 dan menjadi inisiatif DPR, sedangkan penyiapan bahan naskah akademik, batang tubuh dan penjelasannya oleh Dewan Perwakilan Daerah didukung Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN).
Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga telah meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna menyejahterakan nelayan.
"Dari konsultasi publik yang dilakukan FAO (Badan Pertanian Pangan PBB) di Indonesia telah menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional," kata Sekjen Kiara, Abdul Halim.
Menurut dia, dua rumusan tersebut antara lain adalah pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan hak untuk berbudaya.
Rumusan kedua adalah pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan melalui instrumen perlindungan nelayan.
Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia, ujar dia, mendapatkan momentum penting pada 16 Juni 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang menjadi instrumen kebijakan privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir yang terkandung dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan adanya Peraturan Presiden (Perpres) terkait pemberdayaan nelayan yang lebih kuat dan tegas dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pesisir di Tanah Air.
"Berdasarkan UU No 31/2004 tentang Perikanan, pemerintah seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memberdayakan nelayan-nelayan kecil," kata Pembina KNTI Riza Damanik.
Editor: Suryanto
Nusa Dua,
(Antara
Sumbar) - UU Kelautan sangat dibutuhkan bagi Indonesia sebagai negara
maritim yang besar terutama agar kewenangan dalam melakukan pengawasan tidak
lagi tumpang tindih dan mementingkan egosektoral masing-masing institusi.
"UU
Kelautan penting bagi republik bahari sebesar Indonesia sepanjang diletakkan
dalam format UU payung, bukan sektoral," kata Sekretaris Jenderal Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim ketika dihubungi Antara di
Nusa Dua, Bali, Selasa.
Menurut
Abdul Halim, sepanjang tidak tumpang tindih, maka UU Kelautan yang akan membuat
institusi seperti Penjaga Laut dan Pantai, baik dari sisi kewenangan kebijakan
dan penindakan hukum kepada pelanggar di kawasan perairan.
Ia
berpendapat, pengawasan perikanan Indonesia tidak optimal disebabkan adanya
tumpang tindih antar kementerian sektoral sehingga pencurian ikan tidak akan
pernah bisa berkurang.
"Data
Kiara menunjukkan sepanjang 2001 - 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan.
Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga Nopember
2012," katanya.
Abdul
Halim menjelaskan, tumpang tindih pemberantasan pencurian ikan ditandai dengan
dibentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan
Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut.
Dasar
yuridis pembentukannya, menurut dia, adalah UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia yang dinilai tidak dengan tegas menyebutkan tentang adanya
pemberantasan pencurian ikan. Ditambah lagi, Bakorkamla bersifat koordinasi 13
kementerian dan lembaga. .
"Menjawab
tumpang tindih upaya pemberantasan perikanan dapat dilakukan dengan menjalankan
mandat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran untuk membentuk Lembaga Penjaga
Laut dan Pantai," katanya.
Sebelumnya,
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menegaskan Indonesia harus
segera memiliki Undang-Undang Kelautan untuk menyelesaikan tumpang tindih
kewenangan yang kerap terjadi.
"Bangsa
Indonesia dituntut untuk segera memiliki Undang-Undang Kelautan sebagai payung
hukum bagi pengaturan laut secara terpadu," kata Sharif Cicip Sutardjo di
Jakarta, Senin (10/6).
Ia
berpendapat, RUU Kelautan mendesak diundangkan karena bisa menjadi harapan bagi
bangsa Indonesia untuk membuktikan diri sebagai bangsa maritim karena saat ini
telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut, namun
substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai kebutuhan
setiap sektor.
Akibatnya,
ujar dia, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam
implementasinya sehingga terkesan pemerintah kurang tegas karena dalam
pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang
menangani bidang kelautan.
Saat ini,
RUU Kelautan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013 dan
menjadi inisiatif DPR, sedangkan penyiapan bahan naskah akademik, batang tubuh
dan penjelasannya oleh Dewan Perwakilan Daerah didukung Dewan Kelautan
Indonesia (DEKIN). (*/jno)
Sumber: http://www.antarasumbar.com/berita/hukum/j/4/295221/uu-kelautan-agar-kewenangan-tidak-tumpang-tindih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar