04 November, 2012

Ironi Sajian Bahari

Sampai kapankah laut nusantara mampu menghidangkan isi perutnya untuk kita?

Oleh SIHAM AFATTA

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/feature/2012/11/ironi-sajian-bahari

PAGI ITU, PERAIRAN TERUMBU PULAU TOMIA, SULAWESI TENGGARA, TAMPAK TENANG. LA UDI BARU SAJA MEMATIKAN mesin tempel di ekor perahunya. Cerahnya langit menyibak keelokan gugusan terumbu karang dari permukaan air. Saat itu arus permukaan seakan nihil. Perlahan, La Udi mendayung hingga perahu mencapai penghabisan terumbu tepi yang hilang di kedalaman. Ia tidak merasa perlu membuang sauh.

Dari ember kecil di lambung perahu, La Udi meng­ambil umpan cacahan ikan layang. Dua bong­kah daging dengan lihai segera dia kaitkan pada kail di ujung senar pancing. Umpan dilepasnya, bandul pemberat segera membawa umpan ke kedalaman. Ketika ia merasa pemberat mencapai kedalaman 20 depa (sekitar 30 meter), La Udi menahan senar.

Tangan kanannya membuat tarikan-tarikan pendek, berharap ikan karang ter­pikat umpan. Kurang dari tiga menit, senar pancing seketika menegang dan bergerak melingkar, menciptakan riak-riak kecil di permukaan air. “Ini kerapu,” ujarnya yakin.

Mendapati kerapu, La Udi tidak bergegas me­narik senar layaknya pemancing pada umumnya. Ada jeda setiap dua atau tiga tarikan tangan, “Agar ikan tidak kembung setiba di permukaan, karena ikan yang kembung akan kesakitan atau stress,” katanya kepada saya. Jika masih ada sisa udara di gelembung renang kerapu, La Udi segera menancapkan jarum berongga ke perut ikan itu. Kerapu bertotol yang terus menggeliat itu akhirnya tenang sesaat, dan masuk dalam palka kecil berair laut. Kali ini kerapu tidak boleh mati.

Selama kurang lebih dua jam La Udi mengulang-ulang teknik pancing-ulur ini. Sayang, laut kurang berpihak padanya hari itu. Jelang tengah hari, enam kerapu hidup terkumpul di palka, berukuran sekitar satu setengah hingga dua setengah jengkal tangan orang dewasa. Dirasa cukup, mesin tempel dihidupkan, dan ia pun meluncur ke perairan Desa Lamanggau di Tomia.

Setelah 45 menit perjalanan dari lokasi tangkap, sampailah La Udi di keramba jaring apung tempat tangkapan akan dibeli “koordinator”, sebutan lokal untuk pengumpul. Dua dari lima petak keramba dipadati kerapu hidup yang berseliweran. Sekitar 200 kilogram kerapu telah terkumpul sejak beberapa bulan lalu.

Imam Musyafa, kepala keramba, lekas turun ke perahu, dan sejenak mengamati ikan di palka La Udi. Dengan jaring, hanya empat kerapu dipindahkan Imam ke timbangan, lalu masuk ke satu keramba kosong. Dua kerapu di palka tidak terpilih, sebab bagi Imam, yang satu ukurannya terlalu kecil sementara satu lagi sudah sakit sejak dari perjalanan.

Hari itu, La Udi membawa uang Rp210 ribu dari total 3,5 kilogram tangkapan kerapu. Padahal, lima tahun lalu, ia bersama orang tuanya bisa dengan mudah mendapatkan 20 hingga 30 kilogram kerapu. “Sejak akhir 2008, kerapu yang ditangkap saat ini semakin jarang dan kecil ukurannya,” keluh La Udi.

“Semakin banyak yang mengincar ikan karang. Lebih parah lagi, di luar Tomia masih ada yang menggunakan bius dan bom,” La Udi menambahkan. Hari itu, sisa dua kerapu yang tidak terpilih oleh Imam akan dijualnya di pasar desa. Tangkapan lain berupa dua ikan kerapu akan ia bakar sendiri di rumah, “Ini untuk dihidangkan bersama kasoami,” katanya semringah. Kasoami adalah pengganti nasi khas lokal berbahan dasar ubi kayu yang dikukus dalam anyaman daun kelapa

LA UDI ADALAH SATU DARI sekitar 31.000 lebih nelayan penangkap ikan di Kepulauan Wakatobi—kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang dihuni sekitar 110 ribu jiwa. Alam laut di kepulauan dengan nama kuno Toekang Besi ini sudah berabad-abad menjadi pilar kehidupan keluarga nelayan—makan ikan, air laut untuk mandi, rumah panggung tancap di atas air, hingga, sedihnya, karang untuk fondasi dasar rumah.

Tingginya keanekaragaman hayati ekosistem terumbu karang dan ikan membuat Wakatobi ditetapkan sebagai situs cagar biosfer oleh UNESCO. Pada 2003, survei dari dua organisasi lingkungan, The Nature Conservancy (TNC) bersama WWF-Indonesia mencatat keberadaan hingga 396 spesies karang dan 590 jenis ikan di terumbu Taman Nasional Wakatobi (TNW).

“Kini perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi menjadi primadona industri perikanan dengan putaran uang 400 juta hingga satu miliar dolar AS,” tutur Abdullah Habibi, Koordinator Perikanan Tangkap di WWF-Indonesia. Permintaan restoran kelas atas di Asia Tenggara, khususnya di Hong Kong dan Cina, ditengarai menjadi pemicu utamanya.

Di piring pelanggan fine dining, satu kilogram ikan karang hidup bisa mencapai harga 100 dolar AS (sekitar Rp950.000). Ironisnya, hampir separuh suplai ikan konsumsi di dunia datang dari laut-laut di Indonesia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, pada 2010 Indonesia mengekspor se­kitar 123.000 ton kerapu.

“Permintaan terbesar datang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, dan Korea. Namun, tidak menutup kemungkinan perdagangan antarpulau serta pasar domestik hingga Ibu Kota negara,” ujar Habib, sapaan akrabnya.
Hal serupa dijelaskan Purwito Martosubroto, Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kom­nas Kajiskan).

Pria yang sudah 48 tahun ber­kecimpung dalam riset dan pengelolaan perikanan laut ini meyakini bahwa perikanan tangkap Indonesia sudah memasuki titik kritis. “Jumlah kapal tangkap di Indonesia sudah terlalu banyak. Krisis sebenarnya sudah terasa dari hasil tangkapan kapal yang tiap tahun cenderung menurun dengan ukuran ikan yang semakin kecil,” Purwito menegaskan.

Pada 2003, Balai TNW bekerja sama dengan TNC dan WWF-Indonesia menemukan 30 daerah pemijahan ikan di Wakatobi. Akan tetapi, pada 2007, pemantauan lanjutan oleh TNW hanya menemukan empat lokasi pemijahan ikan yang berfungsi baik.

Ikan karang melekat kuat dalam kehidupan nelayan Wakatobi. Kelimpahan ikan seperti kerapu dan sunu selalu menjadi harapan di balik senyum nelayan yang kerap bercengkerama di bantea, rumah beratap segi tiga di pesisir kampung adat. Di bantea-bantea kampung-lah nelayan melakukan dialog informal dan diskusi adat, menyimpan layar dan dayung, menyulam jaring, dan menganyam bubu. Namun, belakangan ini percakapan soal kelangkaan kerapu semakin kerap terucap di dalam pembicaraan warga.

“Di Wakatobi, masyarakat adat sudah ratusan tahun memiliki kearifan tradisi yang sarat akan misi pelestarian sumber daya alam,” kata La Ode Muhamad Saleh Hanan, budayawan Buton di Wakatobi. Masyarakat Wakatobi amat kuat mewarisi tradisi suku Buton, sebab kawasan tersebut sempat menjadi bagian Kesultanan Buton hingga sekitar periode 1960-an.

Pria kelahiran kampung adat Liya ini menjelaskan bahwa bagi suku Buton, laut adalah milik bersama yang diatur oleh sara—lembaga yang mewakili masya­rakat hukum adat. Sara merujuk pada undang-undang Murabat Tujuh Kesultanan Buton dari abad ke-16. Lembaga ini diterapkan di tiap kadie atau kampung adat. Di Wakatobi, saat ini di antaranya di desa Liya, Mandati, Wanci, dan Kapota.

Menurut Saleh, kearifan lokal warisan adat sudah lama memiliki fungsi yang sama dengan sistem pelestarian formal TNW. “Bedanya, sara sudah berlaku puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu, namun pada kawasan yang lebih kecil,” kata Saleh. “Sistem huma di terumbu Kaledupa dan Kapota, misalnya, menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, dan penggunaan alat bagi pengguna sumber daya laut. Demikian pula sistem ikan nu sara (ikan milik sara) bagi masyarakat adat Liya yang membatasi penangkapan spesies tertentu."

Dalam ikan nu sara tercantum ikan napoleon (Cheilinus undulatus), yang dilindungi pe­manfaatan­­nya oleh hukum internasional, serta alu, atau barakuda (Sphyraena barracuda). Lalu ada wehai di desa Liya yang memberlakukan larangan tangkap pada wilayah tertentu dengan tujuan membuat ikan lebih banyak berkumpul dan jinak. Hingga pem­batasan bagi nelayan luar yang hanya boleh me­nangkap dengan alat pancing.

“Ikan nu sara mengandung pengertian ikan milik sara. Dengan sendirinya ikan tersebut tidak menjadi target tangkapan nelayan,” tambah Saleh. Kategori ikan nu sara mencakup spesies yang populasinya tidak dominan dalam ekosistem. Masyarakat juga yakin bahwa ikan-ikan tersebut dijaga oleh sara secara fisik dan batin, sehingga mampu bertahan di alam. “Karenanya kalau tertangkap harus diserahkan ke sara. Inilah sisi rasional dari kearifan ikan nu sara, sebuah sinyal konservasi spesies yang terbukti mampu menjaga kelestarian ikan-ikan tersebut.”

Begitu pula dengan kelekatan fungsi te­rumbu karang—tempat tinggal kerapu—dalam nilai-nilai luhur adat Bajo. “Di antaranya adalah parika, yang sudah berlaku di Bajo jauh sebelum moder­nisasi masuk. Dalam parika, masyarakat adat memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak (memijah), serta membatasi ruang bagi orang yang menangkapnya,” papar Sadar, salah seorang budayawan keturunan Bajo yang bekerja untuk WWF-Indonesia di Wakatobi.

Sadar menjelaskan, dalam masyarakat Bajo juga dikenal ritual duata sangal. “Duata dilakukan dengan mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah, dan melepaskannya kembali ke laut, sebagai simbol bahwa jenis ikan tersebut sudah terancam dan perlu perlindungan.”

Kearifan Bajo lainnya berupa tubba dikatutuang (terumbu karang yang dipelihara) saat ini masih ber­laku di Desa Bajo Sama Bahari di Kaledupa. Skema ini menetapkan beberapa titik terumbu karang sehat yang telah disepakati oleh para pemangku adat dan sandro (juru ritual adat), serta tokoh masyarakat atau pemimpin nelayan (punggawa) sebagai kawasan pengelolaan oleh adat.

“Namun, setelah pembeli ikan hidup dari luar datang, nilai budaya serta adat-istiadat yang ada dalam komunitas Bajo itu mulai luntur,” tutur Sadar.

BELAKANGAN INI, PERMINTAAN IKAN KARANG seakan tiada henti. Nilai jualnya juga selalu menggiurkan. “Kerapu hidup seberat 600 gram hingga 1,2 kilogram bisa mencapai harga Rp350.000 lepas dari pengepul,” ujar Habib.

Pada 2004, penelitian LIPI mengungkap bah­wa dari desa Mola saja masyarakat Bajo bisa men­dapatkan ikan karang 90 hingga 180 ton setiap tahunnya. Ini belum termasuk ribuan nelayan ikan karang dari pulau lain di Wakatobi, dan nelayan dari luar Wakatobi. Seiring meningkatnya permintaan dan naiknya harga, alhasil warga mulai merasakan nikmatnya menjadi nelayan.

Akan tetapi, godaan status ekonomi perlahan-lahan mulai menggerus kearifan lokal yang sudah dianut masyarakat secara turun-temurun. “Warga mulai membangun rumah di atas fondasi permanen, lalu mengecat rumah dengan aneka corak. Tujuannya, untuk meraih kepercayaan dari para tengkulak,” kata Suratman Baharudin, peneliti dari Institut Pertanian Bogor.

Masyarakat rela menambang berton-ton karang untuk mereklamasi pantai untuk fondasi rumah, sekaligus meninggalkan rumah tradisional mereka berupa rumah panggung pancang.

Lebih parah lagi, ledakan permintaan ikan-ikan karang telah memicu kerusakan ekosistem terumbu. “Sebabnya, sebagian besar ikan laut dari perairan Indonesia masih diambil dengan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan. Spesies terancam juga masih ditangkap, merusak keseimbangan populasi spesies dan habitat laut,” tutur Imam Musthofa Zainuddin, dari Program Perikanan Nasional WWF.

Selain itu, sistem yang dianut dalam industri pun masih kurang menghargai keadilan sosial. Besarnya risiko melaut yang mempertaruhkan nyawa dan beban utang para nelayan belum terbayar dengan layak oleh harga beli dari pihak pengusaha. “Namun, bukan berarti dengan alasan kesejahteraan kita bisa terus mengambil tanpa ada kendali. Harus ada yang disisakan untuk anak-cucu nelayan,” kata Imam.

Laporan dari World Resource Institute (WRI) menyebutkan bahwa pada 2001 laut Indonesia sudah mencapai titik jenuh dalam memproduksi ikan. Sementara data Kementerian Kelautan dan Per­ikanan (KKP) pada 2010 menyebutkan, 71 persen sumber daya ikan di barat Indonesia sudah di­eksploitasi berlebih, sementara di timur “baru” mencapai 44 persen.

Sebuah perusahaan konsultan McKinsey & Company pada 2011 pernah melakukan kajian hipotesis simulasi ekosistem. Dengan asumsi luasan terumbu karang 1.000 kilometer persegi, kepadatan rata-rata 370 nelayan tradisional tiap kilometer persegi, dan pertumbuhan penduduk Indonesia konstan pada 1,1 persen per tahun, mereka memprediksi ikan kerapu akan musnah pada 2029. Bahkan, jika nelayan tradisional dan komersial skala besar beraksi bersamaan, penghabisan akan terjadi lebih dini, yakni tahun 2017.

“Kehati-hatian kita menjadi kunci pemulihan ikan laut Nusantara. Masyarakat harus lebih cermat memilih ikan laut yang hendak disantapnya. Nelayan dan pengusaha pun mesti terus menerapkan praktik perikanan yang lestari dan adil. Lalu pemerintah harus menjadi ‘wasit’ yang tegas dalam menerapkan peraturan dan perundangan perikanan,” Imam menegaskan hal itu kepada saya.

DI BARAT INDONESIA, keadaannya agak berbeda. Siang itu, Mustaqim tidak melaut. Padahal, perairan Februari sedang bersahabat di Kepulauan Karimunjawa. Di pantai sisi utara pulau Kemujan, Ketua RT berusia 38 tahun ini hanya merendam se­paruh badannya dalam air, sibuk membuat simpul-simpul kecil tali rafia pada sekitar 100 meter bentangan tali nilon. Pada tiap 5-10 meter di tali, pe­lampung dari botol air mineral bekas diikatkan.

Hari itu, dia bersama petani rumput laut lainnya sedang berbagi tugas menghabiskan kurang lebih 500 kilogram bibit untuk dibentangkan di permukaan air. Meskipun nelayan Karimunjawa tidak diberkahi lagi “emas laut” layaknya kelimpahan ikan karang di Wakatobi, membudidayakan rumput laut telah menjadi mata pencaharian pendukung.

Bagi Mustaqim, dengan usia menjelang separuh baya, risiko melaut kini dinilainya terlalu besar. Di perairan barat Indonesia yang sudah mengalami penangkapan ikan berlebihan, perjalanan mencari ikan butuh jarak lebih jauh, lebih lama, dan sulit untuk mencapai hasil tangkapan yang diinginkan. Belum lagi risiko dari cuaca buruk yang semakin sulit diprediksi, yang mengancam keselamatannya setiap saat.

Mustaqim kini memilih rutinitas membersihkan rumput laut, menjaga kekokohan bentangan rawai, dan menjaganya dari pencurian. Sebuah pencaharian baru yang lebih “aman”. Mustaqim dan rekannya memperkirakan perairan akan bersahabat dalam satu hingga dua bulan ke depan. Ia berharap 10-15 ribu kilogram rumput bisa dipanen.

Dalam laporan KKP, pada 2010 hampir separuh hasil laut Indonesia datang dari kegiatan budi daya. Tahun itu, 97 persen komoditas merupakan rumput laut dengan ekspor mencapai 3,4 juta ton. “Di sisi lain, ekspor kerapu, kakap, lobster, kerang, dan teripang hanya sekitar 47.200 ton,” papar Iman Barizi, Kepala Subbagian Kerja Sama Program untuk Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya KKP.

Bagi nelayan Indonesia pada umumnya, membudi­dayakan ikan laut seperti kerapu dan kakap membutuhkan biaya yang mahal dan sulit. Selain harus menjamin agar ikan tidak stres akibat buruknya cuaca, mereka juga mesti menjaga keteraturan asupan pakan berupa ikan rucah. “Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa nelayan akhirnya menangkap kerapu secara langsung, dan terkadang menggunakan obat bius yang mematikan karang dan ikan kecil,” ujar Candhika Yusuf dari WWF-Indonesia.

Laporan perikanan dunia dari badan pangan PBB, FAO, mengungkap bahwa saat ini sepertiga dari total sumber daya laut dunia datang dari budi daya. Baik Imam maupun Candhika meyakini—dengan mengingat bahwa hasil laut sudah ditangkap hingga titik jenuhnya—budi daya laut akan menjadi kunci suplai protein laut untuk ketahanan pangan Indonesia.

Namun, Iman berpendapat, “kini masih sulit bagi masyarakat awam untuk membedakan produk ikan laut hasil budi daya dengan produk hasil penangkapan. Apalagi harus membedakan mana ikan yang berasal dari proses budi daya yang ramah lingkungan, dan mana yang tidak lestari.”

Mendatangkan ikan laut dari budi daya bukan ber­arti tidak menangkap ikan. “Penangkapan ikan rucah sebagai pakan ikan budi daya juga dapat menekan populasi ikan di alam, dan mendorong ke arah kondisi penangkapan berlebih,” Iman menjelaskan. Bahkan, pelet pakan ikan pun berbahan dasar tepung ikan dan minyak ikan dari tangkapan alam yang kebanyakan merupakan hasil tangkapan sampingan.

“Saat ini Pemerintah Indonesia sedang meng­arahkan agar hasil budi daya laut memenuhi standar Cara Budi Daya Ikan yang Baik (CBIB),” ujar Iman. Melalui CBIB, kegiatan budi daya ikan laut Indonesia bukan saja akan semakin mempertimbangkan ke­lestarian lingkungan, melainkan juga kaidah sosial.

Pasalnya, kompetisi antara industri dan masyarakat miskin dalam pembelian ikan rucah sering kali menyebab­kan harga ikan rucah melambung tinggi. Akhirnya warga miskin pula yang kian terpinggirkan.

Selain itu, di kalangan pembudi daya ada pe­mahaman untuk memberikan pakan sebanyak-banyaknya. “Padahal, pakan yang berlebihan akan menyisakan limbah yang mencemari perairan,” jelas Candhika. Zat anorganik yang terkandung dalam pakan akan memicu merebaknya fitoplankton dan alga mikro. Kejernihan dan nutrisi air pun berubah.

Selama berada di desa Karimunjawa dan Kemujan, saya hanya menjumpai satu keramba jaring apung untuk budi daya kerapu bebek dan kerapu totol. Tidak terbayang betapa lestarinya hamparan terumbu karang tepi Karimunjawa jika budi daya ikan menjamur sebagaimana rumput laut.

SEMENTARA DESA KEMUJAN RAMAI dipadati bentangan dan gelaran rumput laut yang sedang dijemur, Desa Karimunjawa—pulau yang berimpitan di sisi selatan pulau Kemujan—justru diramaikan plang, spanduk dan neon dari jasa penginapan yang menjamur. Di desa administratif itu, sektor pariwisata menjadi pe­kerjaan menjanjikan kedua setelah nelayan.

Kini saat musim turis, Arifin, salah satu pemilik sopek—sebutan lokal untuk kapal berbobot kasar di bawah lima ton—memilih untuk tidak melaut. Dia hanya mengantar pengunjung pulau. Pendapatan dari sektor pariwisata lebih bisa diandalkan untuk menjadi penyangga hidup di bulan-bulan sepi wisatawan atau masa sulit menangkap ikan, ketimbang mencari ikan.

Jika dia harus melaut, itu pun dilakukannya hanya sebatas perairan dalam Kepulauan Karimunjawa, dan hanya mencari cumi, sotong, tongkol, atau ikan karang, dengan menggunakan pancing ulur sederhana. Hasil tangkapannya hanya dijual untuk warga pulau, khususnya untuk suplai bahan ikan penginapan dan homestay. Mirip di Wakatobi, selama berada di Karimunjawa saya juga semakin kerap mendengar ucapan “ikan semakin kecil, dan semakin sulit didapat,” dari ratusan kepala keluarga nelayan.

Saya penasaran dan mencoba melihat-lihat hasil tang­kap­an kerapu yang ada di pelabuhan pendaratan ikan dan pasar pagi di wilayah Karimunjawa. Betul. Hasil pencarian saya nihil. Saya tidak mampu menemukan satu pun kerapu. Padahal, terumbu karang tepi menghampar begitu luas di wilayah perairan Karimunjawa.

Selama menginap di salah satu homestay tertua di Desa Karimunjawa yang bergaya Belanda, hampir setiap malam saya menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan Achmad Mustofa, rekan peneliti dari Yayasan Taka. Dugaan awal tim peneliti: Ikan karang di tingkat rantai ekosistem teratas, seperti kerapu, semakin tipis atau sudah habis di perairan Kepulauan Karimunjawa.

Ikan karang akhirnya kami jumpai, namun dari jenis kakatua (parrot fish) dan baronang (rabbit fish) ukuran anakan. Ikan-ikan ini terlihat dijajakan di pasar desa, atau sedang dikuliti penduduk untuk hidangan mereka. Ada persamaan dengan Wakatobi: permintaan yang tinggi membuat ikan anakan juga ditangkap. Saya berpikir, kapan kita mulai memberikan waktu sejenak bagi ikan di alam untuk memulihkan populasinya?

Beberapa kerapu bebek dan kerapu macan akhirnya kami temukan dalam keadaan hidup. Namun—seperti halnya di Tomia—sebagai biakan budi daya di sebuah unit keramba jaring apung dekat Desa Karimunjawa. Penjaga keramba menceritakan bahwa kerapu hasil pembiakan satu hingga dua tahun tidak akan dijual di pulau. Harga panen yang mencapai sekitar Rp300.000-an—yang terlalu mahal untuk konsumsi penduduk lokal—akan dibawa ke Jakarta.

Mustofa dan timya menduga, ikan herbivora seperti kakatua dan baronang menjadi ikan karang target baru bagi nelayan lokal. Padahal, menurut pria yang juga seorang ahli ekologi laut ini, peranan populasi kakatua sangat kritis untuk mengendalikan pertumbuhan alga di dasar terumbu, sehingga ada ruang tumbuh koral di Karimunjawa.

Mungkinkah ini salah satu alasan begitu sepinya keberadaan ikan saat penyelaman kami di terumbu Karimunjawa? Sekritis inikah penghabisan ikan kita, mulai spesies rantai teratas, hingga terus ke bawah bak efek domino?

GITHA ANASTASIA PERNAH MELIHAT dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana hiu dan ikan anakan lainnya dijual bebas di kawasan pesisir Jakarta. Perempuan penggiat ekowisata ini kemudian berusaha mencari tahu berbagai informasi mengenai seluk-beluk perikanan berkelanjutan, salah satunya lewat forum-forum daring.
Ia pun menemukan Marine Buddies, forum independen yang beranggotakan individu dari beragam profesi.

“Lewat forum MB, saya menemukan diskusi soal ancaman lingkungan jika kita membeli atau mengonsumsi daging hiu,” ujarnya. Di sana didiskusikan pula soal hiu dan lumba-lumba yang dijadikan tontonan akrobat, termasuk kesalahan fatal wisatawan yang kerap memberi makan ikan liar di pulau yang bisa mengubah perilaku alami mereka.

Lewat informasi dari forum-forum sejenis, dia mengaku kini lebih berhati-hati dalam memilih hidangan laut.
Berbeda dengan Githa, Margareth Meutia, perempuan penggiat kampanye hidangan laut lestari ini mencoba menengok tingkat kesadartahuan konsumen pangan laut di Indonesia pada 2009.

Dia bekerja sama dalam tim gabungan Marine Buddies, relawan WWF-Indonesia, dan mahasiswa dari tiga universitas. Margareth ikut menyurvei 751 orang dari sentra kuliner laut di lima kota besar di Jakarta, Surabaya, Medan, Manado, dan Denpasar.

Lewat kegiatan sukarela tersebut dirinya tahu bahwa hanya sekitar 30-35 persen dari responden mengetahui permasalahan perikanan Indonesia saat ini. Walaupun responden dari pengusaha produk laut lebih paham soal terancamnya status produk laut seperti tuna, hiu, ikan karang, dan udang, komitmen untuk berubah tetap berada pada masyarakat sebagai konsumen utama.

“Jika sudah tahu ancamannya, konsumen cenderung sadar dan akan menghindari untuk me­nyantap spesies terancam dan dilindungi. Bagi pe­ngusaha, jika permintaan konsumen tetap tinggi, mereka akan tetap menjual ikan-ikan tersebut,” ujarnya berapi-api kepada saya.

Pada suatu malam di Karimunjawa, firasat buruk saya pun terwujud. Beberapa ekor ikan karang ukuran anakan tersaji cantik di meja makan tamu! Saya dan rekan-rekan tertegun sejenak. Bayangan kelezatan tiba-tiba berkelebat di benak kami. Tanpa maksud untuk bersikap tidak hormat, piring hidangan laut yang dibakar dengan saus kecap nan lezat itu pun terpaksa kami kesampingkan.

Malam itu kami memutuskan untuk menyantap tahu, tempe, dan cumi sebagai pilihan lauk hingga hari terakhir di Karimunjawa. Kali ini, kami memenangkan hak ikan, sementara hak lidah dan perut kami sendiri kami kalahkan. Kami tidak ingin serakah.

-------------------------------------------

Tidak ada komentar: