22 Juli, 2012

Mampukah Indonesia Berantas Illegal Fishing?

Illegal fishing sudah menjadi ancaman dan tantangan global dan berdampak luar biasa terhadap kerusakan sumber daya. Berbagai organisasi Internasional dan Regional menerapkan berbagai kebijakan, kesepakatan dan instrumen untuk memerangi illegal fishing yang sudah dipersepsikan sebagai kejahatan lintas negara (trans national crime). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah illegal fishing cenderung makin menurun atau justru sebaliknya makin meningkat?.

Seberapa besar kerugian dan dampaknya secara ekonomis dan sosial?. Bagaimana halnya dengan Indonesia? Dan bagaimana mengatasi illegal fishing? Semua pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab dengan memahami fakta, kecenderungan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh organisasi Internasional, Regional dan Indonesia sendiri.

Perhitungan atau estimasi kerugian akibat illegal fishing dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yang didasarkan kepada data empiris, asumsi atau hasil penelitian. FAO pada tahun 2001 merilis angka estimasi hasil penelitian  bahwa ikan yang dicuri dan discard (dibuang) sekitar 25% dari stok ikan.

Pada tahun tersebut, Indonesia merilis angka hasil stock assessment bahwa angka MSY (Maximum Sustainable Yield) atau stok ikan Indonesia adalah 6,2 juta ton per tahun yang kemudian dikoreksi menjadi 6,4 juta ton/tahun. Dengan menggunakan pendekatan ini maka angka kerugian Indonesia adalah 1,6 juta ton ikan per tahun, jika dikonversi dengan harga ikan rata-rata 2 USD/Kg maka akan didapat angka kerugian sekitar Rp 30 Trilyun per tahun.

Pendekatan lain adalah berdasarkan kemampuan patroli dihadapkan kepada luasnya perairan yang harus diawasi untuk menjamin semua perairan aman. Untuk mengawasi seluruh perairan Indonesia dari penjarahan kapal asing, diperlukan ratusan kapal patroli. Secara realistis dari data empiris, bahwa perairan yang selalu menjadi penjarahan kapal asing ada di 3 kawasan, yaitu perairan Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, perairan sebelah utara Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Samudera Pasiifik dan perairan Laut Arafura.

Perairan Natuna menjadi yang paling tinggi tingkat illegal fishingnya, menyusul perairan utara Sulawesi Utara dan baru Laut Arafura. Dari perhitungan pola operasi patroli dengan asumsi kemampuan surveaillance Radar adalah 20 Mil radius, maka untuk ketiga kawasan tersebut diperlukan minimal 45 kapal patroli yang terus menerus selama 24 jam mengawasi perairan.

Untuk mampu mengoperasikan 45 kapal patroli terus menerus di laut sepanjang tahun maka diperlukan 60 kapal patroli yang disiapkan dengan asumsi 45 kapal  operasi dan 15 kapal pemeliharaan/perbaikan. Artinya proporsi kapal yang operasi dibandingkan pemeliharaan adalah 3 : 1, atau dengan kata lain tiap kapal siklusnya dalam satu tahun adalah 75% waktunya untuk operasi dan 25% untuk perbaikan/pemeliharaan.

Balitbang KKP pernah menghitung bahwa kebutuhan kapal patroli perikanan untuk mengawasi perairan terutama ZEE adalah 70-80 kapal, hal ini sesuai dengan perhitungan diatas. Dengan kondisi faktual bahwa saat ini KKP hanya memiliki kapal patroli (yg mampu ke ZEE) 15 kapal dengan hari operasi layar 180 hari (1 tahun =365 hari),  maka perhitungan kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan ketiga kawasan rawan adalah (15/45) x (180/365) = 16%.

Artinya kondisi sekarang hanya memiliki kemampuan mengatasi illegal fishing sebesar 16% dari kebutuhan. Jika rata-rata tiap tahun kapal ikan asing illegal yang berhasil ditangkap 250 kapal (referensi hasil operasi Ditjen PSDKP th 2009) berarti jumlah kapal asing illegal adalah (100/16) x 250 kapal atau 1500 kapal. Jumlah ini sangat masuk akal karena memang armada kapal negara-negara yang sering melakukan illegal seperti Thailand, Vietnam dan Phillipiine jumlahnya ribuan kapal.

Dengan asumsi bahwa rata-rata produktivitas kapal illegal menangkap ikan = 500 ton per tahun/kapal (dihitung rata-rata 80 GT kapal dalam setahun 12 trip, per trip 1 bulan)., maka jumlah ikan yang dicuri oleh kapal asing illegal mencapai 1500 kapal x 500 ton = 750 ribu ton per tahun, dikonversi dengan harga ikan 2 USD per Kg menghasilkan angka Rp 15 Trilyun.

Dari kedua pendekatan di atas berarti angka kerugian dari illegal fishing berkisar antara Rp 15 s/d Rp 30 Trilyun per tahun. Pertanyaannya adalah apakah kondisi saat ini illegal fishing cenderung menurun atau meningkat?. Untuk mengetahui kecenderungan illegal fishing, salah satunya dapat dilihat dari jumlah kapal illegal yang ditangkap dari tahun ke tahun sebagai hasil operasi kapal pengawas dengan asumsi intensitas operasi dilakukan secara konsisten.

Artinya,  jika selama tiga tahun berturut-turut jumlah kapal pengawas dengan hari operasinya sama dan hasil tangkapan cenderung meningkat, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing meningkat. Hal ini terjadi antara tahun 2007 s/d 2009 dimana kapal pengawas berjumlah 15 kapal dioperasikan rata-rata 180 hari layar/tahun di tiga kawasan rawan, berhasil menangkap kapal akin asing illegal berturut-turut th 2007 sebanyak 185, th 2008 sebanyak 2002 dan th 2009 sebanyak 242.

Kemudian pada tahun 2010 terjadi penurunan menjadi di bawah 122  akibat hari operasi layar diturunkan menjadi 100 hari, karena anggaran yang semula 180 hari layar direlokasi ke tempat lain. Kecenderungan ini memiliki korelasi  positif, dimana jika intensitas operasi pengawasan di laut ditingkatkan maka akan terjadi peningkatan jumlah kapal asing illegal yan ditangkap secara proporsional. Illegal fishing oleh kapal asing dapat dikatakan menurun apabila dan hanya apabila operasi pengawasan di laut ditingkatkan secara significant namun terjadi penurunan kapal illegal yang ditangkap.

Dilihat dari peta potensi perikanan dunia, FAO melaporkan dalam data statistik tahun 2009, bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 4 besar dunia produsen ikan laut dan budidaya sesudah RRT, USA dan Peru. Khusus untuk perikanan laut, Indonesia menduduki peringkat 3 terbesar dunia. Jika dilihat dari intensitas illegal fishing oleh kapal-kapal asing, maka Indonesia menduduki peringkat teratas.

 Artinya, Indonesia dapat dikatakan sebagai center of gravity terjadinya illegal fishing, atau dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang paling banyak dirugikan oleh maraknya illegal fising baik secara ekonomi, kelestarian sumberdaya maupun sosial. Penulis berpendapat ada dua faktor penting kenapa illegal fishing oleh kapal asing di Indonesia masih marak, tidak lain adalah faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal antara lain:
1)   Stok ikan laut dunia menurun secara significant akibat illegal fishing dan over fishing, sehingga negara-negara tetangga yang mengoperasikan kapal di berbagai kawasan dikurangi lisensinya dan kapalnya beramai-ramai ke Indonesia;
2)   Negara-negara industri perikanan seperti Taiwan, RRT, Thailand, Phillippines harus mempertahankan industri perikanan untuk ekspor maka pasokan bahan bakunya harus dipertahankan dan upayanya dengan penangkapan secara legal maupun illegal, secara kebetulan negara-negara tersebut memang sudah beroperasi lama di Indonesia baik legal maupun illegal;
3)   Munculnya negara tetangga yang mulai meningkatkan industri perikanannya yaitu Malaysia dan Vietnam yang secara geografis lautnya berbatasan dengan Indonesia, menambah intensitas illegal fishing;
4)   Disparitas harga ikan antara Indonesia dan negara-negara tersebut sangat significant sehingga ada intesnif ekonomi untuk melakukan illegal fishing di Indonesia, artinya masih ada profit margin meskipun biaya illegal fishing juga mahal;
5) Lemahnya komitmen negara-negara tersebut terhadap berbagai instrumen internasional yang mengharuskan mereka mengontrol kapal-kapalnya yang beroperasi illegal di negara lain.

Faktor internal adalah faktor Indonesia sendiri antara lain:
1)      Kapasitas pengawasan, hal ini bisa dilihat dari jumlah kapal pengawas perikanan yang masih jauh dari kebutuhan plus dukungan anggaran untuk hari operasi layar per tahun sangat minim. TNI AL dan POLRI yang diberikan tugas UU untuk pengawasan perikanan juga tidak mengerahkan kapalnya secara intensif untuk pengawasan illegal fishing karena anggaran operasional juga terbatas, dan belum adanya sistem pengawasan terintegrasi. Konsep ISS (Intergrated surveillance system) yang dirancang oleh Ditjen PSKP masih sekedar wacana;

2)  Persepsi tentang pengawasan perikanan berdasarkan UU No 34 tahun 2004 yang diamandemen dengan UU No 45 tahun 2009 tentang Perikanan masih belum solid diantara petinggi R.I. Terkesan pihak KKP sendiri tidak percaya diri terhadap wewenang dan tugas pengawasan yang harus dilakukan oleh Ditjen PSDKP, padahal sudah sangat jelas pasal-pasal baik wewenang, sangsi maupun proses peradilannya.

       Hal ini dapat dilihat dari berbagai wacana yang melemahkan peran pengawasan perikanan yang berdampak demotivasi petugas di lapangan, dan masih pendingnya RPP Pengawasan  padahal PP Pengawasan sangat diperlukan karena merupakan mandat UU yang menjelaskan pasal-pasal pengaturan teknis operasional untuk menghidari salah persepsi.

3)  Komitmen politik masih lemah dalam mendukung pemberantasan illegal fishing sebagai program nasional yang penting. Hal ini dapat dilihat dari porsi anggaran yang sangat kecil (hanya 7-8% dari anggaran KKP) dan kurangnya dukungan moral dari pimpinan.

4) Leaderships, merupakan faktor sangat penting, karena ditengah banyaknya keterbatasan baik anggaran, jumlah kapal, maka diperlukan perintah dan direktif pimpinan yang tegas, berani dan pre-emptive dalam melakukan upaya penangkapan kapal-kapal illegal di laut, proses penyidikan sampai berujung di pengadilan. Sudah menjadi suatu rumus strategi operasi bahwa jika kekuatan kecil dan ancaman besar, maka pemimpin harus memiliki militansi, nyali dan integritas moral untuk tidak pandang bulu. Tindakan yang pre-emptive akan berdampak psychologis efek jera dan meraka akan pikir-pikir memasuki perairan Indonesia. Sudah waktunya kita kobarkan semangat “jangan ada lagi ikan kita dicuri orang asing” dan kita pertahankan wilayah perairan kita sampai titik darah penghabisan.

 5) Kebijakan dan regulasi perizinan, terutama kebijakan terhadap izin penangkapan bagi kapal-kapal eks asing mapun masih banyaknya ABK asing. Masih banyaknya kapal eks asing dan ABK asing di atas kapal merupakan faktor pemicu illegal fishing, karena jumlah kapal yang riil dioperasikan oleh perusahaan lebih besar dari kapal yang mendapatkan izin dan keberadaan ABK asing pada kenyataannya banyak menimbulkan pelanggaran. UU No 45 tahun 2009 jelas melarang keberadaan ABK asing di kapal dan ini sesuai arahan Presiden di Ambon pada saat Sail Banda, namun justru kebijakan masih membolehkan.

Demikian pula dengan keharusan kapal eks asing memiliki industri pengolahan atau kontrak dengan industri dalam negeri untuk memastikan kapal didaratkan di Indonesia keculai jenis tertentu, nyatanya tidak efektif. Akibatnya,  perusahaan yang memiliki industri pengolahan harus survive berkompetisi dengan agen yang hanya broker izin, suatu hal yang menghambat industrialisasi perikanan.

Dari problema dan kondisi faktual di atas, tentunya masih ada harapan untuk melakukan upaya maksimal dalam memerangi illegal fihsing, antara lain:

 1)  Menuntaskan RPP Pengawasan Perikanan menjadi PP sebagai implementasi UU no 34 tahun 2004 dan UU No 45 tahun 2009, PP tersebut merupakan payung hukum dalam melakukan pengawasan di laut, penyidikan dan kerjasama antar penegak hukum di laut;

 2)  Meningkatkan kerjasama dengan aparat penegak hukum baik di tingkat penyidik, penuntut di jajaran Kejaksaan Agung dan dengan jajaran  Mahkamah Agung;

 3)  Mendorong dan mendukung peran BAKORKAMLA agar lebih banyak operasional untuk pemberantasan illegal fishing di daerah rawan;

4)  Menerapkan pola operasi cegat di jalur masuk illegal fishing, untuk itu kapal disiagakan di titik-titik masuk dan deteksi Radar surveillance sementara menggunakan Radar kapal (idealnya dengan Coastal Radar dalam ISS).

5)   Menerapkan kebijakan operasi  pre-emptive yang dapat menimbulkan efek jera sesuai dengan UU dan SOP yang telah dibuat;

6)  Secara politis melakukan tekanan kepada negara-negara tetangga yang kapalnya banyak melakukan illegal fishing melalui forum regional seperti RPOA (Regional Plan of Action to combat IUU fishing)  APFIC dll.

Dikupas oleh Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan Perikanan

Sumber Majalah Samudra

Tidak ada komentar: