Alan F Koropitan
Uraian
Arif Satria tentang Babak Baru Perikanan Dunia yang dimuat Kompas, 8
Juni 2012, sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Babak baru
perikanan dunia, menurut Arif, adalah berdasarkan kesadaran China—yang
notabene adalah produsen ikan terbesar dunia—untuk mengendalikan laju
pertumbuhan perikanan tangkap.
Kesadaran
China, termasuk Jepang, terlihat melalui upaya mengurangi jumlah kapal
ikan. Namun, Arif tidak mengungkapkan bahwa baik China maupun Jepang
justru mengalami peningkatan konsumsi energi untuk mesin kapal ikan,
seperti yang diungkapkan oleh laporan yang sama (FAO, 2010).
Jadi,
dalam hal ini memang terjadi penurunan jumlah kapal ikan, tetapi jumlah
hari layar mengalami peningkatan. Data FAO (2010) memperlihatkan bahwa
produksi perikanan tangkap China meningkat dari 12,4 juta ton (2004)
menjadi 12,7 juta ton (2009). Akhirnya, Uni Eropa coba mengatasi hal ini
dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan usaha (effort) penangkapan
dengan mempertimbangkan jumlah kapal (ukuran tonase), total konsumsi
energi, dan jumlah hari layar yang berlaku bagi negara-negara Eropa.
Sains untuk keberlanjutan
Fakta lain terkait perikanan
tangkap adalah kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap yang
sangat ditentukan oleh faktor sains dan teknologi. Hal ini terlihat pada
bervariasinya kapasitas produksi tahunan oleh setiap orang yang bekerja
di bidang perikanan.
Menurut
FAO (2010), rata-rata produksi ikan tahunan per orang di Asia hanya 2,4
ton. Sementara di Eropa sudah hampir 24 ton dan Amerika Utara sebesar
18 ton.
Pemahaman
akan sains untuk perikanan sudah menjadi keharusan. Selain sangat
diprioritaskan oleh banyak negara kelautan, juga menjadi dasar bagi
pengembangan teknologi.
Kemajuan
sains dan teknologi di Eropa dan Amerika Utara memang sudah berkembang
lama sehingga menjadi modal kuat dalam pengelolaan perikanan. Ini
disadari betul oleh Jepang dan selanjutnya oleh China.
Alhasil,
berbagai upaya untuk mengatasi ketertinggalan itu dilakukan. Di
antaranya melalui dibukanya berbagai lembaga riset perikanan, baik di
tingkat nasional maupun daerah. Pada tingkat nasional, Jepang dan China
masing-masing mendirikan Universitas Ilmu dan Teknologi Kelautan di
Tokyo dan Qing Dao.
Pada
tingkat internasional dan regional, IGBP (International
Geosphere-Biosphere Programme) mengoordinasikan salah satu proyek
intinya yang dikenal dengan GLOBEC (Global Ocean Ecosystem Dynamic). Ada
lima aspek yang dikaji dalam riset GLOBEC, yaitu variabilitas iklim dan
pemanasan global yang berdampak pada ekosistem laut; dinamika jaringan
rantai makanan di laut; proses biogeokimiawi; sintesis dan prediksi,
serta dampak aktivitas manusia.
Interaksi
kelima aspek tersebut membawa banyak pemahaman baru, seperti pola
pertumbuhan, habitat, migrasi, stok serta kebijakan jumlah ikan yang
dapat ditangkap pada periode dan lokasi tertentu. Namun, sayangnya,
sampai berakhirnya GLOBEC pada 2010, tidak ada partisipasi aktif
Indonesia untuk mengadopsi riset GLOBEC.
Pada
pertemuan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) tahun 2010 di
Bangka, Prof Cho-Teng Liu sebagai pembicara tamu dari Institut
Oseanografi, Universitas Nasional Taiwan, memaparkan pemahaman siklus
hidup tuna yang terintegrasi mulai dari ketersediaan nutrien bagi
fitoplankton diikuti pemangsaan oleh zooplankton, ikan pelagis kecil,
dan akhirnya tuna. Setelah pemahaman ini, mereka melakukan pengembangan
teknologi yang dapat melacak keberadaan tuna. Pertanyaan seorang peserta
pada pertemuan ISOI tersebut tentang kemampuan alat pelacak tuna itu
hanya dijawab dengan enteng oleh Prof Cho-Teng Liu: bahwa, pokoknya,
mereka menangkap banyak.
Patrick
Lehodey, seorang peneliti perikanan di Sekretariat Pasifik Forum,
mengembangkan model numerik untuk siklus hidup dan distribusi tuna.
Hasil modelnya telah divalidasi dengan alat penanda elektronik yang
ditaruh pada tubuh tuna (tuna tagging) sehingga sangat bermanfaat untuk
mengestimasi stok, rencana pengelolaan perikanan, termasuk
mengantisipasi penangkapan ilegal.
Isu
berkelanjutan pada prinsipnya adalah bagaimana memanfaatkan suatu
sumber daya alam dengan cerdas dan pengelolaan perikanan berkelanjutan
hanya dapat tercapai melalui pemahaman sains dan aplikasi teknologi yang
tepat. Inilah langkah serius yang menjadi babak baru perikanan dunia.
Langkah kita
Indonesia
paling tidak memiliki beberapa universitas yang memiliki fakultas
perikanan dan ilmu kelautan ataupun program studi ilmu
kelautan/oseanografi. Kita juga memiliki Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Badan Penelitian dan Pengembangan pada Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta beberapa institusi terkait lainnya yang
melakukan kajian tentang kelautan. Pada tingkat nasional, kita memiliki
Dewan Kelautan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden RI.
Namun,
perumusan bidang kajian belum terkoordinasi dengan baik dan tidak
memiliki payung riset yang jelas. Kegiatan penelitian masih berjalan
sendiri-sendiri dan tidak tertutup kemungkinan terjadi tumpang tindih.
Hal ini diperparah dengan sistem anggaran birokrasi yang kaku.
Ke
depan, pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia memiliki dua
tantangan. Pertama, tantangan terhadap perubahan lingkungan pesisir dan
laut (akibat pencemaran dan penangkapan yang merusak). Kedua, tantangan
terkait perubahan iklim.
Untuk
itu, prioritas kebijakan sains dan teknologi untuk perikanan dan
kelautan adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar. Tentu saja
jika memang Indonesia ingin menghadirkan babak baru perikanan dunia bagi
dirinya sendiri.
Untuk
menjawab tantangan ini, pertama, perlu adanya konsorsium riset yang
melibatkan seluruh universitas/lembaga penelitian di mana secara
administrasi dapat dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
atau Kementerian Riset dan Teknologi. Namun, arahan penelitian dikelola
oleh kelompok panel peneliti.
Kedua,
sudah saatnya dibentuk satu lembaga/yayasan yang khusus dan aktif
mengelola dana penelitian yang sumbernya dapat berasal dari hibah
perorangan, swasta, pemerintah, baik dalam maupun luar negeri. Sebagai
contoh, Amerika Serikat memiliki National Science Foundation, Jepang
dengan Japan Society for the Promotion of Science, dan China membuat
National Natural Science Foundation.
Ketiga, perlu dipertimbangkan adanya universitas ilmu dan teknologi kelautan sebagai center of excellence kelautan Indonesia.
Alan F Koropitan Lektor Kepala Bidang Oseanografi, IPB, dan Anggota Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar