Namun, semua itu seakan terhempas dan terampas karena minimnya infrastruktur jalan yang memadai. Waktu benar-benar serasa berhenti ketika kita berada di desa-desa di sekitar gunung itu. Mulai dari Calabai hingga Tambora. Mulai dari Nangamiro hingga Pekat.
Kerongkongan dan mata kami sudah sama-sama kering berharap perbaikan atau pembangunan, demikian warga setempat selalu bergumam ketika orang lain mempertanyakan buruknya kondisi infrastruktur jalan di sekitar Gunung Tambora.
Pengalaman diguncang gempa berkekuatan 6,6 skala Richter pertengahan 2008 lalu tidak juga membuka mata para pejabat pusat maupun daerah. Waktu itu saja, rombongan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Gubernur NTB Lalu Srinata merasakan dahsyatnya jalur ibukota Kabupaten Dompu di Dompu menuju Kecamatan Pekat sepanjang sekitar 120 kilometer, dua hari setelah gempa terjadi.
Untungnya, guncangan gempa tempo hari itu tidak terlalu parah mengakibatkan kerusakan, sehingga bantuan makanan dan obat-obatan tidak terlalu mendesak. Lain ceritanya bila yang terjadi sebaliknya. Katakan saja, kerusakannya parah dan kemungkinan korban luka atau bahkan tewas banyak, tentu persoalan rusaknya infrastruktur jalan itu akan semakin menyengsarakan.
Sekitar 70 kilometer dari jalan menuju Pekat dari Dompu berupa jalan rusak, dengan aspal mengelupas parah, bahkan di banyak lokasi tanpa aspal lagi. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh dalam tempo 3 jam pun harus ditempuh 5-6 jam. Itu pun dengan sopir dan atau kendaraan yang benar-benar siap menghadapi kondisi jalan yang lebih mirip sungai kering itu.
Terhambatnya akses jalan di lereng Gunung Tambora menuju Dompu sebagai pusat kota kabupaten telah lama dikeluhkan warga setempat. Hal yang paling mencolok mereka rasakan selain lebih lamanya waktu tempuh adalah bertambahnya beban biaya.
Untuk mencarter kendaraan roda empat dari Dompu, contohnya, mereka harus mengeluarkan biaya minimal Rp 1,5 juta. Sementara untuk naik kendaraan umum berupa bus, tiap kepala harus membayar Rp 35.000.
Itupun untuk angkutan yang hanya sekali sehari datang dan perginya, dan kalau sedang sial, harus siap-siap naik di atap bus bersama setumpuk barang-barang penumpang lain. Jelas berisiko!
Camat Pekat, Abdurrahman Abidin, mengungkapkan pihaknya sudah melaporkan kondisi jalur Dompu-Gunung Tambora sejak sekitar lima tahun terakhir, baik ke Pemerintah Provinsi NTB maupun pemerintah pusat. Namun, tidak pernah ada tanggapan berarti, selain janji-janji.
Pemkab Dompu sudah berbuat maksimal dengan memperbaiki jalan-jalan kabupaten, tapi jalan negara kami tidak bisa berbuat banyak. "Kami tahu negara punya skala prioritas, tapi kami harus menunggu sampai kapan," kata Abdurrahman, awal Agustus lalu.
Jalan rusak itu juga merupakan penghalan g utama para pendaki Gunung Tambora, salah satu gunung dengan luas kawah terbesar di dunia, yakni memiliki sebuah kaldera bergaris tengah sekitar 7 kilometer dan dasar kawah berukuran 3.500 x 4.000 meter, serta mempunyai kedalaman 950 meter. Di dalam kaldera sebelah barat terdapat sebuah danau dengan garis tengah membentang dari selatan hingga utara selebar 800 m.
Banyak keluhan dari para pendaki, terutama para turis. Mereka mengurungkan niatnya, atau tidak kembali lagi ke Tambora selama jalan menuju ke sini belum diperbaiki.
"Sayang sekali, karena aset Tambora ini begitu besar sebenarnya," kata Syaiful Bachri, Ketua Kelompok Pecinta Alam Tambora, kelompok pecinta alam yang juga biasa menjadi pemandu wisata mendaki Gunung Tambora.
Tertolong komunikasi
Cukup beruntung, buruknya infrastruktur jalan itu tidak terjadi di bidang komunikasi. Hal ini sekaligus menjadi faktor penolong, meskipun sejatinya keduanya bersifat komplementer. Di saat operator lain hampir tidak menjangkau wilayah itu, kehadiran Telkomsel sangat berarti.
Ketika gempa terjadi, misalnya, semua informasi tentang kondisi pascagempa sebagian besar terlayani oleh operator itu, termasuk jenis bantuan yang dibutuhkan pun dapat terkomunikasikan dengan cepat.
Kawasan lereng Tambora termasuk dalam program pengadaan sedikitnya 27.800 base transceiver station (BTS ) untuk meliputi lebih dari 95 persen populasi Indonesia oleh Telkomsel telah menggelar. Di Kabupaten Dompu sendiri, operator itu menyediakan lebih dari 30 unit BTS untuk melayani sekitar 200.000 pelanggan. Dengan jumlah pelanggan serta kebutuhannya, Telkomsel sekaligus juga menyediakan layanan pengiriman data dengan teknologi general packet tadio service (GPRS ).
Di bidang ekonomi, sistem komunikasi telepon seluler juga membantu warga setempat mendapatkan pesanan dalam jalur jual-beli hasil perekonomian utama. Telepon seluler, antara lain mempermudah sekaligus mempercepat informasi harga maupun kuantitas produk panen warga.
Hasil perkebunan dari lereng Gunung Tambora, terutama kopi dan kacang mete, tidak perlu diragukan. Dompu merupakan salah satu wilayah penghasil jambu mete terluas di NTB. Menurut data BPS, l uas areal tanaman jambu mete di kabupaten itu pada tahun 2004 mencapai 13.995 hektar atau sekitar 23,70 persen dari luas tanaman jambu mete di NTB.
Produksi per tahun mencapai 2.888 ton atau rata-rata 300,74 kg gelondong per hektar per tahun. Produktivitas tertinggi dicapai di Desa Kedindi, Kecamatan Pekat yaitu sebanyak 540,7 kg/ha/tahun
Melalui telepon seluler, pelaku wisata setempat juga memeroleh informasi pesanan wisatawan. Bulan Juli-September adalah masa terbanyak Gunung Tambora menerima kedatangan pendaki, khususnya dari mancanegara, seperti Perancis, Inggris, dan Jerman.
Dalam sebulan, rata-rata sekitar 150 wisatawan ingin mendaki Gunung Tambora. Menurut Syaiful, jumlah wisatawan itu dipastikan meningkat drastis apabila infrastruktur jalan di lereng Tambora membaik. Karena kondisi jalan yang rusak, sejumlah wisatawan saat ini lebih memilih menggunakan jalur laut, naik kapal cepat dari Mataram maupun Bali.
http://nasional.kompas.com/read/2009/08/17/11213346/function.simplexml-load-file
Tidak ada komentar:
Posting Komentar