18 Juni 1815. Hari itu mungkin menjadi saat yang paling disesali Napoleon Bonaparte sepanjang hidupnya. Menjelang matahari tenggelam pada hari itu, Napoleon dan bala tentaranya terjepit pasukan Inggris dan Prussia di Waterloo, sebuah dataran rendah di kawasan Belgia. Pagi hari sebelumnya, Napoleon memutuskan mengundurkan serangan yang telah ia persiapkan karena cuaca yang memburuk. Kala itu, ia berharap cuaca buruk akan lewat pada tengah hari dan pertempuran bisa dimulai. Namun, penguasa Prancis itu salah.
Cuaca tetap buruk dan napoleon gagal menghimpun pasukannya tepat waktu. Konsolidasi pasukan musush lebih cepat. Kereta-kereta penghela meriam Napoleon terjebak lumpur karena tanah masih diliputi salju. Secara ironis, “Perang 100 Hari” yang telah disiapkan Napoleon itu justru gagal karena satu hal yang tak pernah diduganya: cuaca buruk.
-Memang sebelumnya Napoleon juga pernah kalah perang sebenarnya, tatkala menyerang Rusia. Mereka terjebak di Moskow. Austria dan Prusia melihat peluang itu untuk mengalahkan Perancis. Lalu pertempuran hebat berkobar. Di kota Leipzig pada oktober 1813, Napolon menderita kekalahan telak yang membuatnya dibuang ke pulau Elba. Tapi riwayat Napoleon belum tamat. Ia berhasil lolos dari Elba dan kemudian kembali ke Perancis. Inilah saat dimulainya “Perang 100 Hari”, pasca ia berkuasa kembali. Kekuatan-kekuatan utama Eropa yang dikomandani Inggris dan Austria segera menyatakan perang terhadap perancis. Perang berkecamuk, dan akhirnya berakhir di Waterloo.-
Sejak awal Juni 1815 di Eropa memang terjadi “hujanm salah musim”. Selama beberapa mingu, kota-kota di Eropa dirundung hujan amat deras. Jalan-jalan kota di Eropa terendam, transportasi jadi lambat. Itu juga yang membuat Napoleon menyerah . perang di Waterloo adalah akhir dari sebuah kisah tragis Napoleon Bonaparte.
Akibat Sebuah Letusan
Kekalahan Napoleon di Waterloo membuat peta politik dunia berubah. Perancis yang sebelumnya menjai salah satu negara dengan kekuatan yang luas, berubah menjadi negara dengan wilayah kekuasaan yang lebih sempit, lebih kecil jika dibandingkan wilayah Perancis saat meletusnya Revolusi Perancis.
Yang tak banayk diketahui adalah adanya kaitan antara cuaca buruk di waterloo dengan sebuah fenomena alam yang terjadi jauh dari Eropa. Kenneth Spink, seorang pakar geologi, membuat sebuah “teori”-yang tentu harus masih harus diuji-yang menyebut kekalahan Napoleon merupakan akibat letusan sebuah gunung bernama Tambora. Dalam sebuah pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris, pada 1996, Spink mengatakan letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk waterloo pada tahun 1815.
Gunung Tambora secara administratif masuk wilayah Propinsi Nusa Tenggara barat. Gunung itu meliputi dua kabupaten, yaitu Dompu dan Bima. Nama Tambora sebenarnya berasal dari dua kata yakni “ta” dan “mbora” yang secara keseluruhan bermakna “ajakan menghilang”.
Sebelum meletus, gunung Tambora merupakan salah satu puncak tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 4.300 meter. Setelah meletus, ketinggian gunung turun drastis, menjadi 3000 meter. Sisa letusan kini menjadi sebuah kaldera, kaldera terbesar Indonesia sekarang.
Letusan gunung Tambora yang amat dahsyat terjadi pada hari-hari di bulan April 1815 dengan skala letusan tujuh Volcanic Explosivity Index. Puncak letusan terjadi mulai tanggal 10-15 April. Para ahli menyebut letusan itu merupakan terbesar sepanjang 10.000 tahun. Meledak dengan kekuatan sekitar 1.000 megaton TNT. Letusan Tambora diperkirakan empat kali lipat lebih dahsyat dari letusan Gunung Krakatau dan enam juta kali letusan bom atom di Hiroshima. Letusan terdengar sejauh 2500 kilometer, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1300 kilometer. Ada dokumen yang menyebutkan penemuan seonggok mayat di ” rakit” batu apung yang terdampar ke pantai Afrika setahun kemudian. Kegelapan terlihar sejauh 600 kilometer dari puncak. Dengan kekuatan sebesar itu, tentu wajar jika dua bulan kemudian setelahnya cucaca buruk akibat letusan Tambora masih terasa di eropa dan bahkan mengakibatkan kekalahan Napoleon. Tapi, Tambora bukan hanya membuat Napoleon kalah.Korban langusung yang berjatuhan diperkirakan 30.000. korban juga terdapat di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan.
Akibat letusan itu pula dunia mengenag tahun 1816 sebagai “tahun tanpa musim panas”. Di Eropa barat, Amerika dan Kanada berhembus udara beku yang mematikan. Debu vulkanis yang disemburkan tambora menyelimuti permukaan laut, dan abu pekat tersebut “berkeliling dunia” sepanjang tahun membuat sinar matahari tertutup. Paola cuaca di dunia menjadi jungkir balik. Di New England, AS, salju turun pada bulan Juli dan udara beku pada Juli-Agustus membuat paceklik. Sungai es terlihat pada bulan Juli di Pennsylvania, dan ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Letusan Tambora juga menyebarkan penyakit kolera ke seluruh dunia. Dalam artikel Mount Tambora in 1815: A Colcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths, Bernice de Jong Boers menyebut letusan Tambora pemicu pecahnya epidemik kolera pertama ke dunia.
http://ariebrain.wordpress.com/2010/04/10/letusan-gunung-tambora-ntb-dan-kekalahan-napoleon-bonaparte/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar