Para pengawas dan PPNS Perikanan masih belum familiar terhadap usaha budidaya perikanan. Para pengawas hanya fokus pada pengawasan kasus illegal fishing. Tindak pelanggaran di sektor kelautan dan perikanan memang seakan tak pernah berhenti. Penjarahan terhadap sumberdaya perikanan oleh kapal ikan asing yang konon mencapai Rp30 triliun setiap tahunnya membuat pemerintah harus memperketat pengawasan di laut. Namun rupanya tindak pelanggaran tidak saja di sub sekor perikanan tangkap, di perikanan budidaya pun tak kalah menyedihkan. Jujur saja, saat ini memang pengawas dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) hanya fokus mengawasi pada kasus illegal fishing. Padahal di bidang perikanan budidaya pun terdapat banyak masalah, seperti pencemaran tambak, penggunaan anti biotik, serta penggunaan obat dan pakan yang terlarang dan berbahaya. Hal yang sama juga terdapat pada usaha pengolahan perikanan, seperti masih maraknya penggunaan formalin. Salah satu kasus yang terjadi belum lama ini adalah soal tuntutan ganti rugi nelayan dan petambak Indramayu kepada Pertamina lantaran bocornya pipa Pertamina di daerah tersebut. Akibatnya bisa ditebak, ikan di laut maupun budidaya tambak mati karena tercemar. Contoh lain adalah pernah ditolaknya hasil usaha budidaya tambak di pasar internasional karena mengandung residu anti biotik. Usaha budidaya perikanan kini memang jadi ”anak emas” Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait dengan visi KKP hingga tahun 2015 untuk menjadi produsen perikanan terbesar di dunia melalui usaha budidaya ikan, baik laut, payau maupun tawar. Namun menurut Sesditjen Perikanan Budidaya KKP Syamsudin H.A., hal itu tak akan terwujud apabila lingkungan pembudidayaan tidak sehat. Artinya produksi ikan akan terkendala apabila lingkungan tidak sehat serta masih ditemukan penggunaan obat-obat yang terlarang dan berbahaya pada produk perikanan budidaya. Dalam UU 31 2004 yang telah diamandemen menjadi UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pada pasal 8 ayat 1 bahwa disebutkan, setiap orang dilarang melakukan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Hal yang sama juga pada pasal 12 ayat 3 yang menyebutkan, setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Sementara sanksi bagi pelanggar tersebut adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 dan masih banyak lagi pasal-pasal tentang larangan tentang pembudidayaan ikan yang dilarang beserta sanksi-sanksinya. ”Beruntung kita punya UU Perikanan yang dapat mengatur tentang cara budidaya yang baik (CBIB), sehingga kalau melanggar ada sanksi yang harus ditegakkan. Dan ini tentu tugasnya pengawasan dan PPNS Perikanan. Namun sayangnya, para pengawas dari PSDKP ini masih belum familiar terhadap usaha budidaya perikanan,” kata Syamsudin H.A, kepada Barracuda di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu. Daftar obat ikan Menurut Syamsudin, dalam mendukung usaha perikanan budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya telah memberikan izin usaha obat dan pakan ikan serta pemberian rekomendasi impor dan nomor pendaftaran. Jumlah surat rekomendasi impor obat dan bahan kimia sampai Juli 2009 sebanyak 172 rekomendasi. Obat ikan yang telah memiliki nomor pendaftaran sampai Juli 2009 sebanyak 130 produk obat. Sementara obat ikan dann kimia yang memperoleh izin DJPB tahun 2009 sebnayk 3 produsen 2 di antaranya izin prinsip. ”Kami sudah buat daftar obat ikan yang harus terdaftar dan harus bebas residu. Soal prosedur pemakaiannya, hingga dosis pada kemasannya. Jadi kalau ada obat di kios tidak terdaftar pada kemasannya berarti ilegal, dan PPNS Perikanan boleh menangkapnya. Hal yang sama juga apabila ada pencemaran pada usaha budidaya tambak, atau obat ilegal tanpa izin, juga harus ditangkap,” tandas Syamsudin. Terang saja, pemakaian residu anti biotik, masih banyak terjadi produk perikanan Indonesia diembargo. “Bahkan saya sudah membuat kerugian akibat pencemaran dan lainnya akibat pembudidayaan yang tidak ramah lingkungan atau penggunaan baan kimia sehingga terdapatnya residu anti biotik,” tambahnya. Untuk itu Syamsudin meminta pihak aparat terkait agar mengetatkan pengawasan terhadap usaha budidaya perikanan. Pengawas, katanya, bukan hanya milik Ditjen Perikanan Tangkap dengan kasus illegal fishing-nya, pengawasan yang dilakukan PPNS Perikanan juga sebaiknya turun ke usaha perikanan budidaya. ”Yang dilihat jangan illegal fishing saja, usaha budidaya itu banyak masalah. Pencemaran tambak, pencemaran di hulu kali dan sebagainya. Sementara itu terkait dengan minimnya pengawasan pada usaha budidaya, Happy Simanjuntak, Direktur Pengawasan dan Pengendalian Perikanan Ditjen PSDKP-KKP, mengatakan, sejak tahun 2008 upaya pengawasan terhadap usaha perikanan budidaya telah dilakukan. Bahkan kata Happy, pihaknya telah menyusun petunjuk teknik (Juknis), melakukan identifikasi dan verifikasi tentang budidaya, baik laut maupun tambak. ”Sudah dilakukan beberapa apresiasi untuk meningkatkan pemahaman pengawas di bidang budidaya. Kami juga sudah himpun beberapa peraturan budidaya termasuk daftar obat-obatan dan sudah kita berikan kepada pengawas di daerah. Bahkan kita juga sudah mengajak Dinas Perikanan di daerah untuk melakukan pengawasan ke lapangan,” kata Happy. Menurut Happy, hingga tahun 2009 sudah terverifikasi sekitar 40 usaha budidaya, terutama usaha yang besar, seperti udang, mutiara, dan rumput laut. Umumnya usaha yang diverifikasi itu PMA dan PMDN. Ditjen PSDKP juga sudah melakukan pengawasan pada lokasi budidaya skala besar seperti di Makasar, Sorong, Gorontalo, dan NTB. Kurang sosialisasi Terkait dengan pelanggaran lanjut Happy, hasil peninjauan di lapangan, pihaknya belum menemukan penggunaan langsung bahan-bahan terlarang. Namun ketika operasi dilakukan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur ditemuakan penjualan beberapa merek obat yang tidak terdaftar. Padahal obat tersebut harus terdatar di KKP. Ada sekitar 5 obat untuk udang dan ikan yang ditemukan tidak terdaftar. ”Namun kami tidak menangkap kios penjual obat tersebut karena sifatnya baru pemnbinaan dan memang perlu sosialisasi terhadap mereka. Kurangnya sosialisasi, Dinas setempat pun mengambil inisiatif pembinaan dulu. Jadi, hanya baru bentuk teguran dan anjuran untuk mendaftarkan obat tersebut ke KKP. Kalau setelah itu masih menjual dan belum terdaftar ya ditindak. Kata Happy, pelanggar aturan ini bisa dipenjara dan denda. Bagi penjualan obat yang tidak terdaftar mendapat kurungan maksimal 2 tahun. Di tahun 2010 ini, Happy melanjutkan, Ditjen PSDKP akan melakukan operasi obat dan pakan ikan di sentra-sentra budaidaya seperti Jatim, Lampung, Jabar, dan Kaimana-Papua. Yang akan diopersi adalah obat dan pakan yang tidak terdaftar serta pengecekan apakah usaha budidaya itu menggunakan obat yang terlarang atau tidak. ”Karena bisa saja walau terdaftar tapi membahayakan, ini perlu kita cek di lapangan juga,” katanya. Haappy menambahkan, pengawasan juga tidak hanya di usaha budidaya tapi juga di pengolahan. ”Soal penggunaan formalin pada usaha pengolahan ikan akan kita awasi dan kita tindak,” tegas Happy. SDM Pengawas Rendahnya upaya pengawasan di usaha budidaya yang dilakukan oleh UPT/Satker/Pos diakui Happy. Hal ini lantaran terbatasnya SDM Pengawas Perikanan di lapangan. ”Di sisi lain kami juga akui, Pengawas Perikanan belum sepenuhnya memahami pemgawasan usaha budidaya,” aku Happy. Terkait dengan kendala tersebut, direncanakan pengadaan tambahan SDM dan pembinaan operasional pengwasan secara regular. Selain pembinaan pengawasan terhadap pelaku usaha budidaya, dilakukan pula identifikasi terhadap usaha budidaya ikan. Kegiatan ini meliputi pengumpulan data usaha budidaya dan pengecekan kesesuaian dokumen perizinan yang dimiliki dengan unit usaha budidaya yang dioperasionalkan. Kata Happy, tahun 2009, telah dilaksanakan identifikasi dan verifikasi unit usaha budidaya di 11 Provinsi. Happy juga mengatakan, pengawasan di usaha budidaya perikanan hanya baru dilakukan di usaha pertambakan dan budidaya laut. Sementara untuk usaha budidaya perikanan di air tawar dan perairan umum masih sangat minim karena memang masih banyak dilakukan secara perorangan dan skala kecil. Kendala lain adalah masalah sarana pengawasan seperti kapal untuk pengawasan budidaya laut. Sayangnya, tahun 2010 ini tidak ada pengadaan sarana karena anggarannya terbatas. Sementara untuk kekurangan SDM, Ditjen PSDKP akan mengambil dari Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah. Menurut Happy, dibutuhkan pengawas sebanyak 5.000 pengawas di seluruh Indonesia. Sementara saat ini baru memiliki 5 UPT pusat pengawasan dan 58 satker. Masing-masing satker hanya terdapat 3 sampai 4 orang pengawas. ns
16 Mei, 2011
Usaha Perikanan Budidaya Butuh Pengawasan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar