16 Mei, 2011

SEKILAS TENTANG PEMANFAATAN PERIKANAN KARANG INDIKATOR DAN PENGAWASAN


Oleh : Didik Ristanto, SH. ( Scuba Diver – POSSI ) Ka. Satker PSDKP Pekalongan

Pendahuluan

Wilayah Pengelolaan Perikanan kita yang terdiri dari beberapa WPP tersebar melingkupi seluruh wilayah perairan laut teritorial Indonesia, diantara wilayah Pengelolaan Perikanan tersebut hampir semua memiliki wilayah perikanan berkarakteristik perairan karang dan memiliki kekayaan terumbu karang yang sangat potensial. Namun hanya 20 % diantaranya yang masih dalam kondisi baik (Fauzi, 2005 ), hal ini tentunya membutuhkan perhatian dengan prinsip pemanfaatan yang hati-hati (precautionary).

Mengingat luasnya wilayah perairan karang tersebut serta kenyataan bahwa telah terjadi ekstraksi sumberdaya ikan karang yang berlebihan, walaupun tidak ada data yang akurat tentang tingkat ekstraksi yang ada, namun melihat tetap meningkatnya permintaan ikan karang terutama dalam keadaan hidup ( bisnis ikan karang hidup dan ikan hias )serta indikator lain yaitu semakin menurunnya kualitas lingkungan karang dari tahun ke tahun, membuktikan tidak terkendalinya kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan karang.

Walaupun diprediksi oleh konsumen di Hongkong dan Singapura bahwa perikanan karang Indonesia akan habis di awal tahun 2000 ( WNC, 1996 ), namun hingga saat ini kegiatan pemanfaatan dari penangkapan, budidaya dan ekspor produksi ikan karang hidup masih tetap berlangsung. Dengan minimnya data yang ada tentang status perikanan karang di Indonesia, sebenarnya sudah seharusnya kegiatan monitoring dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan karang dilakukan dengan intensif.

Penangkapan Ikan Karang

· Penggunaan Sianida

Penangkapan dengan potassium cyanide atau secara awam dikenal dengan potas atau bius digunakan dengan target ikan karang hidup baik ikan hias maupun ikan konsumsi seperti kerapu hidup Plectropomus spp. dan napoleon ( Cheilinus undulatus ), serta ikan target lain berupa ikan hias laut, jenisnya bervariasi tergantung permintaan pasar.

Jumlah nelayan sianida yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Namun di Philipina negara asal penggunaan sianida diperkirakan sekitar 4000, jumlah mereka di kawasan Indo-Pasifik sekitar 20.000. Memang gambaran ini tidak seburuk perambah hutan misalnya – yang menyangkut jutaan petani miskin, dan akar masalah penyebabnya juga bukan hanya kemiskinan seperti pada perambah hutan, meskipun nelayan sianida sendiri hampir semua tergolong sangat miskin. Gambaran yang lebih kongkrit adalah bahwa para nelayan tersebut adalah kelompok sosial yang tersisih yang merespon adanya insentif ekonomi yang menjanjikan, dan tersedianya sarana dan peluang seperti ; teknologi ( bahan kimia dan alat pendukungnya ), pasar yang siap menampung tangkapan mereka, lemahnya Peraturan dan penegakan hukumnya serta tidak adanya alternatif mencari nafkah yang lebih baik. Pengalaman di Philipina menunjukkan bahwa apabila mereka diperkenalkan dengan cara penangkapan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan diikuti dengan tawaran harga wajar terhadap hasil tangkapan mereka, ternyata mereka merespon positif anjuran perlunya kelestarian sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Peranan Pemerintah untuk mengembangkan sumber pendapatan alternatif yang handal, serta penegakan hukum yang ketat terhadap perusak lingkungan diharapkan dapat menghilangkan perilaku tersebut.

· Penggunaan bom.

Alasan utama penangkapan dengan menggunakan bom, adalah bahwa bom lebih mudah digunakan dibandingkan alat lain. Nelayan yakin bahwa hasil tangkapan dengan bom akan lebih banyak ( CPUE lebih tinggi ) dibanding cara lain. Ditambah pula dengan penggunaan kompressor dan tersedianya masker selam ( mouth piece regulator ) operasi penangkapan menjadi lebih efisien, bahkan keterampilan merakit bom yang diperoleh dari pengalaman di lapangan semakin memperkecil tingkat resiko yang dihadapi. Alasan lain bagi nelayan adalah metode ini telah mencadi tradisi yang dipakai oleh orang tua mereka. Penghasilan nelayan bom antara 50 – 150 US$, menjadi daya tarik mereka untuk tetap bertahan dengan perilaku penangkapan bom.

Komposisi ikan hasil tangkapan dengan menggunakan bom

Ikan karang

(%)

Ikan disekitar karang

(%)

Pelagis dan demersal

(%)

Surgeonfish ( 24,6)

Kerapu ( 12,7)

Kakap (11,9)

Baronang (11,4)

Kakatua (9,8)

Unicorn (5,9)

Trigerfish (5,1)

Lencam (5)

Kurisi (3,9)

Wrasses/napoleon (2,8)

Emperor/enjel (3)

Butterfly /kepe2 (2)

Batfish /platax (0,4)

Ekor kuning(95,6 )

Ikan kuwe (2,7)

Biji nangka (0,8)

Baracuda (0,6)

Ponyfish (0,01)

Silverbiddies (0,01)

Halfbeaks (0,01)

layang (89,4)

lemuru (8)

teri (1.4)

kembung/banyar (1,2)

* Erdman and Pet Soede 1998

Dari tabel tampak bahwa ikan karang ekonomis yang tertangkap ( kerapu, kakap, kurisi ) jauh dibawah ikan non target yang terambil, sedang ikan disekitar karang ( ekor kuning, selar ) rasionya lebih besar, menunjukkan bahwa cara ini sangat tidak selektif dan merusak.

Bubu tradisional

Bubu tradisional biasa digunakan oleh nelayan tradisional yang hidup disekitar perairan karang, pada awalnya mereka hanya sebagai perikanan subsisten, namun oleh karena faktor ekonomi dan meningkatnya nilai ekonomi produk ikan karang hidup mereka lebih meningkatkan efektifitas tangkapannya baik dari jumlah alat maupun metodenya. Bubu bambu tipe Buton yang biasa digunakan biasanya dipasang pada disekitar karang pad kedalaman 3 – 5 meter, dan ditumpuk dengan patahan karang hidup, disinilah sering terjadi kerusakan sebab dengan cara tersebut mereka dengan sengaja merusak karang hidup disekitarnya.

Pada gambar terlihat bahwa pemasangan bubu di sekitar karang dengan mengkamuflase dengan tujuan agar ikan lebih mudah masuk ke dalam bubu, ternyata cara tersebut banyak menimbulkan kerusakan pada terumbu karang disekitarnya.

( gambar McManus, 1998 ).


· Muro-ami

Operasi penangkapan ikan dengan muro-ami di Kepulauan Karimunjawa biasanya menggunakan 3 buah kapal motor (lihat gambar ). Dua kapal merupakan kapal pembawa jaring, salah satunya menjadi penampung ikan utama yang dilengkapi dengan palka yang sudah diisi es. Kapal ketiga berfungsi sebagai pembawa kompresor (hookah) yang membawa para penyelamnya. Dalam satu han penangkapan, satu unit armada penangkapan muro-ami rata-rata melakukan 2-3 kali seting. Jaring terdiri dan tiga bagian, dua bagian jaring pelari yang berfungsi sebagai pengarah atau penggiring ikan menuju jaring kantong dan satu bagian jaring kantong yang berfungsi sebagai jaring penampung ikan. Dalam satu armada muro-ami biasanya terdiri dan 13-18 orang yang dipimpin oleh seorang kepala laut (fishing master). Kepala laut bertanggung jawab atas seluruh operasional penangkapan, mulai dan penentuan lokasi, pemasangan jaring (setting), penggiringan, hauling, proses melepas jaring hingga menentukan lokasi penangkapan berikutnya. Dalam penentuan lokasi penangkapan, seorang kepala laut biasanya menggunakan kompresor hookah untuk melihat keberadaan ikan di bawah air. Seringkali kepala laut berfungsi ganda sebagai penyelam penggir

Penyelam kompresor terdiri dan 5 hingga 7 orang, dipimpin oleh seorang kepala tengah yang bertugas memimpin penggiringan di bawah air dan biasanya posisinya berada di tengah. Jaring dipasang di sekitar terumbu karang dengan kedalaman sekitar 10 hingga 20 meter. Sementara penyelam memulai penggiringan pada kisaran kedalaman 5 hingga 35 meter.

Gambar operasi alat tangkap muro-ami di Karimunjawa ( sumber : WCS & BTN Karimunjawa 2004 )

Penangkapan ilegal baik dengan perilaku yang merusak maupun dengan cara melanggar ketentuan marak terjadi di Indonesia, Penangkapan ikan napoleon dan transhipmen secara diam-diam dilakukan oleh banyak kapal ikan tanpa ijin diduga masih terjadi di perairan pulau disekitar Papua, Arafura dan sekitarnya. Selain itu perilaku ekstraksi sumberdaya perairan karang dalam bentuk penambangan dan non perikanan juga terus berlangsung, dari pengamatan oleh penulis maupun data yang ada digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel Survey Berdasarkan Diving Point Dan Penangkapan Ilegal

Diving point / lokasi penyelaman

Penangkapan ilegal

Kendari – Sulawesi tenggara

Jepara – Jawa tengah

Pulau panjang : P1, P2

Pulau Bokor : P3.*

Kalimantan selatan

Kerisian : P1

Kerumputan : P2

Kerayaan : P3

Sulawesi Selatan ; Ujungpandang

Tamubung : P1

Brang caddi : P2

Jemeluk ( Bali ) P1**

Penangkapan dengan bom

Penambangan karang

Bubu, pancing

Tidak ditemukan penangkapan

Ilegal.

Penangkapan dengan potas/sianida

Penurunan kualitas lingkungan karang,

Gillnet tongkol, pancing tonda oleh nelayan kecil

(Furudate, as submitted to BPPI Semarang, 2001) *survai tim BPPI , 2000 **) monitoring, 2004

Beberapa Indikator lingkungan perairan karang.

Tabel lokasi titik penyelaman dan kondisi karang.

Dive point

topografi

Kondisi karang

LCCD

Bentuk karang

Solopia ; P1, P2, P3

RF/RS

Reef flat

RF/RS

>90%

Sangat baik

Laminar>branching>encrusting

Branching>filiose>laminar

Laminar > branching>encrusting

Jepara

P1

P2

Bokor P3*

Reef flat

<10%

<30%

10<50%

Kondisi rusak

Polusi dari sam-pah /tambak

Terancam/penam-bangan karang

Soft coral >encrusting

Softcoral, anemone>encrusting

Softcoral, anemon>encrusting

Kotabaru P1

P2

P3

Reef flat

>90%

Baik - sedang

Laminar>encrusting>foliaceous

Branching>laminar>foliose

Branching>laminar>massive

Ujungpandang

P1

P2

Reef slope

>70%

>40%

Kondisi baik, be-berapa mengalami bleacing

Terancam rusak

Branching>foliose>softcoral

Softcoral>branching>foliaceous

Jemeluk**

RS/RF

>50%

Terancam rusak

Softcoral>encrusting>branching

**monitoring BPPI, 2004

Sampel qualitas air laut pada diving point dengan >90% tutupan karang.

Diving point

tanggal

waktu

lokasi

depth

PH

Turb.

DO

mg/l

temp

Sal.

Cod

ppm

P1

Nov-26

14.52

Kendari

1 m

8.12

0

6.4

29.8

3.60

3

P.1

sda

14.55

Kendari

10 m

8.10

0

6.7

30

3.63

-

Lokasi pengamatan di Kab. Kendari, terdiri dari 2 dive point, dengan sampling kondisi perairan seperti terlihat pada tabel diatas. Kondisi terumbu karang maupun kelimpahan ikan dari hasil pengamatan visual terlihat relatif baik, dari tabel kondisi perairan juga mendukung hal tersebut.




Lokasi pengamatan perairan karang di Pulau Laut, Kota Baru – Kalimantan Selatan, yaitu masing-masing Pulau Kerisian, Pulau Karumputan dan P. Karayaan menunjukkan kondisi perairan yang relatif baik dengan indikator tutupan karang dan kualitas air laut seperti pada tabel di bawah.

Diving point

Topografi

Tutupan karang

Hidup

Kondisi

relatif

Bentuk karang dominan

P.1

Reef flat

>90 %

baik

LA>EC>FO>MA

P.2

Reef flat

>90 %

Baik, ikan melimpah

BR>LA>FO>MA

P.3

Reef flat

>90 %

Baik, ikan melimpah

BR>LA>MA

Sampel kualitas air laut pada diving point dengan >90% tutupan karang di Kota Baru

Diving point

tanggal

waktu

lokasi

depth

PH

Turb.

DO

mg/l

temp

Sal.

Cod

ppm

P1

16 Okt.

8.16

Kerisian

1 m

8.1

4

-

29.5

3.33

5

P.2

sda

8.59

Karum-putan

5 m

8.1

1

-

29.6

3.38

3

P.3

sda

9.56

Karaya

5 m

8.2

-

-

29.7

3.48

-

· Kab. Jepara Jawa Tengah.

Sampel kualitas air laut pada diving point dengan <30% tutupan karang

Diving point

tanggal

waktu

lokasi

depth

PH

Visib.

DO

mg/l

temp

Sal.

Cod

ppm

P1

29-sept

9.27

jepara

10 m

8.11

3 m

6.4

29.8

3.60

3

P.1

sda

14.55


5 m

8.10

3 m

6.7

30

3.63

-

Gambar dibawah adalah kondisi aktual terumbu karang dengan tutupan karang < 30% di Jepara




Di Kabupaten Jepara yang mempunyai wilayah perairan sampai pada Kepulauan Karimunjawa, tingkat pemanfaatan sumberdaya karang baik perikanan maupun turisme cukup tinggi. Di wilayah pantai terdapat Pulau Panjang sebagai daerah turisme dan Karang Bokor dimana terjadi penambangan karang secara terus menerus sementara kegiatan penangkapan ikan disekitarnya juga berlangsung, sementara itu karena situasinya yang dekat dengan daerah perkotaan, aliran sungai dan budidaya tambak yang ada akan berdampak pada menurunnya baku mutu lingkungan perairan.

Sebab utama dari menurunnya kualitas terumbu karang adalah polusi dari sampah organik dari kota dan pemukiman penduduk disekitar pesisir bukan dari perikanan ilegal. Penggunaan bom mulai berkurang bantuan program pengentasan kemiskinan bagi nelayan sangat dianjurkan untuk mengatasi akar masalah. Penggunaan potas masih terus berlangsung terutama di pulau-pulau terpencil. Perlindungan terumbu karang lebih diutamakan pada pengendalian polusi dari limbah buangan dari sungai dan tambak.

( Furudate, 2001 ).

Sementara di Kepulauan Karimunjawa, penangkapan ikan karang banyak dilakukan dengan bubu dan Muro-ami, alat tangkap ini banyak mengekstraksi sumberdaya ikan karang terutama ekor kuning, metode ini cenderung menimbulkan kerusakan fisik.

Perikanan karang dengan pancing di Kabupaten Sorong.

Pengamatan dan survai dilakukan oleh team BPPI Semarang pada bulan September –Oktober 1996, dengan lokasi di beberapa bagian gugusan kepulaun Raja Ampat. Kegiatan pengamatan terhadap nelayan pancing tradisionil yang memanfaatkan potensi perairan karang disekitar pulau-pulau disekitar tempat tinggal mereka. Diantaranya yang menjadi obyek pengamatan adalah pulau Arefi dan sekitarnya meliputi Tanjung tebu, pulau Hiu dan pulau-pulau lainnya yang menjadi daerah tangkapan ikan karang hidup.

Dari hasil pengamatan diperoleh kesimpulan bahwa sebaran ikan karang dari jenis yang bernilai ekonomis tinggi seperti Napoleon ( Cheilinus undulatus ) dan jenis ikan karang ekonomis lainnya ; kerapu sunuk ( Plectropomus sp. ), Kerapu merah ( Variola spp ), Kerapu hitam ( Ephinepelus spp ), kerapu tikus ( cromileptes alitvalis )




Lokasi di atas adalah daerah penangkapan ikan nelayan tradisionil di Kabupaten Sorong, yaitu di Kepulaun Raja Ampat ; Pulau Arefi, Tanjung Tebu, P. Hiu. Cara penangkapan ikan karang hidup yang ada dengan menggunakan pancing ulur dengan umpan hidup maupun umpan buatan, ikan sasaran adalah jenis kerapu, kakap dan napoleon yang bernilai ekonomi tinggi, diduga ikan jenis napoleon yang ada dalam karamba penampung, ditangkap dengan menggunakan potas/bius. Hal ini dibuktikan dengan kecilnya ( hampir nol ) hook rate untuk ikan jenis napoleon , sedang dari hasil pengamatan di karamba penampung hampir semua mulut ikan napoleon tidak tampak bekas hasil pancingan.

Dari hasil sampling pancing ulur oleh nelayan diketahui bahwa alat tangkap pancing di daerah curaman/slope pada daerah pengamatan mempunyai peluang terbesar untuk mendapatkan hasil tangkapan di luar ikan campuran (lain-lain ) masing-masing adalah ikan sunuk ( plectropomus spp.), sementara kerapu merah lebih sedikit. Pada grafik tangkapan memperlihatkan kisaran tangkapan ikan sunuk antara 36,4 - 74,8/hari, kerapu merah 13,6 - 22,8 /hari dan kerapu hitam 11,7 - 31,7 ekor / hari, sementara ikan napoleon 0,1 ekor/hari.

Teluk Jemeluk, Kab. Karangasem – Bali

Karakteristik Perairan Jemeluk adalah garis pantai, dimana terdapat terumbu karang di sepanjang garis pantai, Pemanfaatan oleh nelayan setempat pada tahun 1994 oleh team BPPI Semarang merupakan daerah wisata. Nelayan setempat disamping berprofesi sebagai nelayan juga sebagai pemandu wisata khususnya wisata selam, sedangkan metode penangkapan yang digunakan oleh nelayan pada waktu itu adalah pancing tonda untuk menangkap tongkol kecil, serta ikan permukaan yang berasosiasi dengan perairan karang lainnya seperti baracuda dan kakap.

Pada tahun 1994 Nelayan Jemeluk mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap kelestarian lingkungan mereka, mereka dengan kepentingan bersama sebagai pemandu wisata dan nelayan menjaga keadaan terumbu karang di sepanjang garis pantai. Hal ini karena belum ada dive operator lokal yang beroperasi sehingga mereka mendapat porsi yang sama dalam rente ekonomi. Mereka bahkan tidak menjadikan wilayah sekitar karang sebagai fishing ground bahkan pemasangan bubu oleh nelayan lainpun dilarang dengan alasan mengganggu wisatawan selam. Kondisi semacam itu memungkinkan terjaganya lingkungan terumbu karang dengan pengawasan oleh masyarakat sendiri.

Gambar lokasi perikanan karang di teluk Jemeluk Bali dimana terjadi penurunan kualitas lingkungan.




Antitesis dari keadaan tersebut terjadi pada tahun 2004, dalam kurun waktu 10 tahun kemudian. Pada kegiatan monitoring oleh penulis pada tahun 2004, terjadi penurunan kualitas ekologis perairan karang maupun pola penangkapan nelayan. Dari pengamatan terlihat bahwa rasio tutupan karang pada tahun 1994 mencapai 80 % sedangkan pada tahun 2004 pada tempat yang sama rasio tutupan karang hanya 40 % , sehingga selama kurun waktu 10 tahun terjadi degradasi 50%. (Ristanto, 2004).

§ Menurunnya peran Masyarakat Pengawas.

Fenomena tersebut berdampak pula terhadap kinerja Pengawasan oleh masyarakat setempat, setelah diidentifikasi dari hasil wawancara ternyata tidak adanya komunikasi dan hubungan sosial yang baik antara dive operator lokal yang beroperasi di lokasi tersebut. Para diving operator adalah ; para pemilik usaha wisata selam yang berupa tempat penginapan sekaligus menyediakan pemandu dan alat selam (SCUBA). Permasalahannya adalah bahwa mereka para nelayan pemilik perahu tersebut tidak semuanya dilibatkan dalam kegiatan wisata selam tersebut. Sebagian dive operator adalah nelayan setempat yang pada tahun 1994 masih tergabung dalam kelompok masyarakat pengawas di desa Jemeluk, namun pada saat ini beberapa nelayan tersebut secara ekonomi melebihi nelayan lainnya karena keterlibatan mereka dalam bisnis dive operator, malah ada nelayan telah menjadi pemilik penginapan dan dive operator di kawasan mereka sendiri. Secara kasat mata dapat dipahami bahwa kesenjangan ekonomi dan minimnya intensitas komunikasi antar mereka menyebabkan rasa kebersamaan mereka mulai pudar. Hal ini berdampak pada menurunnya intensitas pengawasan terhadap lingkungan terumbu karang dengan berkurangnya kepedulian mereka, sebab mereka harus mencari nafkah dengan kembali kepada pola penangkapan semula yaitu menjadi nelayan dengan alat gill net dan pancing diluar wilayah mereka. Sementara laju degradasi terumbu karang disekitarnya tidak dipedulikan. Penurunan tutupan karang selama 10 tahun sebanyak 50 % merupakan indikator bahwa kepedulian masyarakat disekitarnya terhadap kelestarian sumberdaya karang mereka perlu ditumbuhkan kembali dengan menintensifkan komunikasi dan pemerintah setempat sebagai fasilitator untuk menjembatani kaomuikasi antar stakeholder.











Terumbu karang di Jemeluk pada tahun 1994 dengan tutupan karang >80%, dengan kualitas perairan terjaga baik, berhubungan langsung dengan pengawasan masyarakat.


Terumbu karang di tempat yang sama dalam kurun waktu 10 tahun, disampling pada tahun 2004 terjadi degradasi sebesar 50%. Tutupan karang hanya <40%,.

Tidak ada komentar: