14 Mei, 2011

PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Oleh : Pandapotan Sianipar, S.Pi Kepala Seksi Analisis Hasil Pemantauan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Latar belakang pengawasan sumberdaya perikanan adalah penurunan stok sumberdaya perikanan global, baik di perairan jurisdiksi negara-negara pantai maupun di laut lepas. Sumberdaya perikanan merupakan sumber makanan dan mata pencarian bagi masyarakat nelayan yang tinggal di pesisir pantai. Sumberdaya perikanan merupakan sumber pendapatan untuk pertumbuhan ekonomi negara pantai. Kehancuran sumberdaya perikanan akan memiskinkan nelayan dan negara pantai. Perikanan yang tidak bertanggung jawab mengancam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkekelanjutan. Sumberdaya perikanan merupakan milik bersama (common property), sehingga harus dikelola bersama semua negara. Illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing melemahkan pengelolaan sumberdaya perikanan, karena tangkapan ikannya tidak terpantau. Dengan latar belakang hal-hal ini, maka Food Agriculture Organization (FAO) sebagai organisasi dunia yang menangani persoalan makanan dunia meminta negara pantai, bendera, dan pelabuhan mengimplementasikan pengawasan sumberdaya perikanan dengan sistem Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS) untuk mengelola sumberdaya perikanan di zona ekonomi eksklusif, mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di laut lepas, dan memberantas IUU fishing.

Gambar 1. Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengawasan sumberdaya perikanan FAO

Pengawasan sumberdaya perikanan merupakan amanat ketentuan beberapa instrumentasi hukum internasional. Lebih jelasnya, instrumentasi hukum internasional yang merupakan aspek legal pengawasan sumberdaya perikanan adalah United Convention on The Law of Sea (UNCLOS), 1982; FAO Compliance Agreement, 1993; UN Fish Stocks Agreement, 1995; FAO Code Conduct Responsible Fisheries (CCRF), 1995; FAO International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, 2001; dan FAO Agreement on Port State Measures, 2005.

Pengawasan sumberdaya perikanan adalah pengawasan prosperity (kesejahteraan), bukan pengawasan security (keamanan). Pengawasan sumberdaya perikanan merupakan kegiatan operasional untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang berhasil agar sumberdaya perikanan tidak rusak karena pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlebihan (overfishing) atau IUU fishing. Pengawasan sumberdaya perikanan merupakan pengawasan prosperity yang tidak sama seperti kepolisian atau militer dengan hanya pendekatan penegakan hukum (surveillance). Tetapi komprehensif dan terintegrasi dengan sistem Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS).

Monitoring adalah kegiatan pengumpulan data tangkapan ikan untuk pemantauan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pemantauan aktivitas kapal perikanan di laut. Controlling adalah pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan atau pengendalian aktivitas kapal perikanan dengan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Surveillance adalah kegiatan pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan aktivitas kapal perikanan di laut. Aksi penegakan hukum (law enforcement) dilakukan terhadap kapal perikanan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Tujuan pengawasan sumberdaya perikanan adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak melebihi jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) dan ketaatan atau kepatuhan (compliance) masyarakat nelayan, perusahaan perikanan, atau kapal perikanan pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya perikanan. Sasaran pengawasan sumberdaya perikanan adalah sumberdaya perikanan tidak rusak atau overfishing dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan dan peningkatan ekonomi negara pantai.

Biaya pengawasan sumberdaya perikanan selalu merupakan perhatian utama dari semua negara yang mengimplementasikan pengawasan sumberdaya perikanan. Keefektifan dan keefisienan biaya penting untuk pengawasan sumberdaya perikanan yang berhasil. Pendekatan sipil untuk penegakan perikanan deterrent telah terbukti dalam banyak kasus menjadi yang paling efektif biaya dan responsif untuk prioritas perikanan. Penggunaan aset sipil juga meminimalkan sensitivitas politik dari insiden perikanan internasional dengan cara menghindari penggunaan peralatan dan personil militer.

Administrator perikanan yang harus bergantung pada penggunaan sumberdaya militer untuk melaksanakan pengawasan sumberdaya perikanan akan menemukan bahwa badan militer selalu menurut prioritas rendah ke tugas pengawasan sumberdaya perikanan. Di samping itu, keterlibatan militer biasanya tidak efektif biaya. Pesawat dan kapal militer lebih mahal untuk dibangun dan dioperasikan dibanding peralatan sipil yang sesuai. Penghematan dihasilkan dari penggunaan kapal sipil dengan anak buah kapal yang lebih sedikit dan biaya pengoperasian yang lebih rendah.

Untuk banyak negara, bagaimanapun militer dapat menjalankan suatu peran pendukung yang penting dalam pengawasan sumberdaya perikanan yang kuat. Kunci untuk pemerintah yang demikian adalah menentukan suatu mekanisme antar badan yang memampukan administrator perikanan meminta dukungan militer ketika dibutuhkan.

Keefektifan pengawasan sumberdaya perikanan dapat dikembangkan jika suatu kementerian tunggal ditentukan untuk mengambil peran unggul dalam pengawasan sumberdaya perikanan. Hal ini secara signifikan mengurangi garis komunikasi untuk perintah dan kontrol komponen pemantauan (monitoring) dan pengawasan (surveillance) dari aktivitas pengawasan sumberdaya perikanan, membuat pengawasan sumberdaya perikanan lebih efisien dan responsif untuk kebutuhan pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka kementerian perikanan merupakan instansi sipil yang unggul untuk pengawasan sumberdaya perikanan.

Seperti dicatat di atas, bagaimanapun sejumlah badan yang berbeda dapat dibutuhkan dalam peran pendukung pengawasan sumberdaya perikanan. Dalam situasi yang demikian, pengawasan sumberdaya perikanan yang efektif membutuhkan suatu mekanisme kontrol antar badan yang kuat.

Pengelolaan sumberdaya perikanan diimplementasikan dengan rencana pengelolaan perikanan (RPP) dan dukungan semua pemegang kepentingan (stakeholder) pada sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan mempunyai kelemahan, karena aktivitas kapal perikanan di laut dan kemampuan nelayan dalam menghindari ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan atau melakukan IUU fishing. Rencana pengelolaan perikanan harus didukung dengan pengawasan sumberdaya perikanan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan berhasil.

Pengawasan sumberdaya perikanan dilaksanakan pada 4 (empat) dimensi, yaitu sebelum melakukan penangkapan ikan (before fishing), selama melakukan penangkapan ikan (while fishing), ketika melakukan pendaratan tangkapan ikan (during landing), dan setelah pendaratan tangkapan ikan (post landing).

Dari riset sumberdaya perikanan dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan, maka pemerintah akan mengambil keputusan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan dituangkan dalam bentuk ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kemudian ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk meregulasi atau mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan aktivitas kapal perikanan.

Pengawasan sebelum melakukan penangkapan ikan (before fishing) dilaksanakan di pelabuhan perikanan oleh pengawas perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan dengan memeriksa kelayakan kapal perikanan, baik secara administrasi dan teknis untuk melakukan penangkapan ikan. Di sini dilaksanakan pengawasan ketaatan atau kepatuhan kapal perikanan pada ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan atau peraturan perundang-undangan, seperti pemeriksaan dokumen perijinan; form logbook untuk memperoleh data tangkapan ikan; form deklarasi transhipment untuk memperoleh data tangkapan ikan yang dipindahkan ke atau diterima dari kapal lain; pemasangan dan pengaktifan transmitter untuk pemantauan aktivitas kapal perikanan di laut; pemeriksaan jenis dan ukuran kapal perikanan; pemeriksaan jumlah, jenis, dan ukuran alat tangkap pada kapal perikanan; area fishing ground; dan lain-lain. Jika kapal perikanan tidak layak atau tidak patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya perikanan, maka kapal perikanan tidak diberi surat laik operasional dan tidak diperbolehkan berangkat melakukan penangkapan ikan.

Pengawasan selama melakukan penangkapan ikan (while fishing) dilaksanakan di laut dengan menggunakan sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS) dan kapal patroli. Ke mana kapal perikanan berangkat, di mana kapal perikanan melakukan penangkapan ikan, apapun yang dilakukan kapal perikanan di laut, ke pelabuhan perikanan mana kapal perikanan kembali, transit ke pelabuhan perikanan lain, melakukan pendaratan tangkapan ikan akan dipantau melalui VMS. Sehingga akan diketahui di mana kapal perikanan melakukan pendaratan atau transhipmen tangkapan ikan. Pengawasan ini bertujuan kepatuhan aktivitas kapal perikanan di laut pada ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data atau informasi VMS dapat digunakan sebagai alat bukti tindak pidana perikanan untuk penyidikan dan proses peradilan.

Pengawasan sumberdaya perikanan selalu dilaksanakan dengan mengoperasikan kapal patroli untuk pengawasan dan penegakan hukum di laut. Jika kapal perikanan terindikasi melakukan pelanggaran ketentuan pengelolaan sumberdaya perikanan atau peraturan perundang-undangan, maka kapal patroli dapat diminta untuk melaksanakan inspeksi laut (sea inspection) terhadap kapal perikanan tersebut. Petugas boarding ke kapal perikanan untuk melaksanakan inspeksi laut. Inspeksi laut dilaksanakan untuk memperoleh barang bukti atau alat bukti tindak pidana perikanan. Jika ditemukan bukti awal tindak pidana perikanan, maka kapal perikanan ditahan dan diperintah adhock ke pelabuhan terdekat di mana penyidikan dapat dilakukan.

Pengawasan ketika melakukan pendaratan tangkapan ikan (during landing) dilakukan di pelabuhan perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan dengan skema dokumentasi tangkapan (scheme documentation catch) atau logbook untuk memperoleh data tangkapan ikan kapal perikanan dan inspeksi pelabuhan (port inspection) untuk memeriksa tangkapan ikan yang didaratkan pada pelabuhan perikanan bukan merupakan hasil IUU fishing. Skema dokumentasi tangkapan/logbook dan inspeksi pelabuhan harus didukung dengan data atau informasi aktivitas kapal perikanan di laut dari VMS. Tangkapan atau produk perikanan yang bukan hasil IUU fishing yang dapat diperdagangkan ke pasar global. Tangkapan atau produk perikanan hasil IUU fishing akan dicegah masuk ke pasar.

Pengawasan setelah pendaratan tangkapan ikan (post landing) dilakukan ketika pendistrtibusian tangkapan ikan ke lokasi lain atau ekspor ke negara lain dalam perdagangan produk perikanan. Pengawasan ini dilaksanakan untuk mengawasi tangkapan ikan yang sah tidak dicampur dengan tangkapan ikan hasil IUU fishing di darat atau laut untuk melegalkan tangkapan ikan hasil IUU fishing (laundering). Uni Eropa telah mengimplementasikan sertifikasi tangkapan untuk menunjukkan produk perikanan yang diperdagangkan dengan anggota-angotanya bukan hasil IUU fishing.

Dengan pengawasan sumberdaya perikanan, maka kapal perikanan patuh kepada ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengelolaan sumberdaya perikanan. Sehingga sumberdaya perikanan dapat dikelola dengan baik, tidak rusak atau overfishing, dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber makanan dan mata pencarian masyarakat nelayan, serta pengembangan ekonomi negara pantai.


Sumber : Majalah Barracuda Edisi II Tahun 2010 Hal 50 - 55

Tidak ada komentar: