Nenek moyangku orang pelaut,
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda berani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai
Bait lagu yang kental nuansa nasionalis itu begitu membahana dalam masa kanak-kanak. Ibu Sud—sang pengarang lagu—tampaknya mau mengingatkan kita atas semangat maritim sebagai bagian dari sejarah yang tak bisa terpisahkan. Namun entah kenapa gelora semangat bahari itu tampaknya mulai luntur. Padahal, jelas Indonesia merupakan negara maritim yang wilayahnya sebagain besar merupakan dikuasai oleh laut.
Alasan utama pudarnya semangat maritim tersebut salah satunya akibat belum tersedianya kurikulum khusus di sekolah soal nilai-nilai kebaharian dan wawasan tentang kelautan. Itulah yang kemudian membuat Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad untuk mewacanakan wawasan bahari agar masuk dalam sistem kurikulum pendidikan nasional.
“Agar masyarakat semakin cinta terhadap kelautan dan perikanan maka harus diberi wawasan sejak dini Ini penting sekali karena nenek moyang kita orang laut. Kita ingin dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah supaya ada kurikulum khusus yang berhubungan dengan bahari yang diajarkan di sekolah,” katanya.
Gambaran sederhana yang bisa mewakilkan tak tersedianya sarana pendidikan mengenai bahari sejak dini bisa dilihat dalam sistem pengajaran di taman kanak-kanak atau awal masuk sekolah dasar. Misalnya dalam pelajaran menggambar. Kebanyakan para guru mengajari menggambar gunung, matahari atau sawah. Akibatnya, murid jarang punya inisiatif melukis nuansa laut atau perahu tradisional nelayan.
Fadel pun siap membawa masalah ini pada tingkat nasional. "Saya sudah menyampaikan kepada Presiden agar ada kurikulum khusus tentang bahari, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi," ungkapnya.
Senada yang diungkapkan dosen pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Supratikno Rahardjo. Menurutnya, penguatan kembali budaya maritim dapat dilakukan melalui kebijakan dalam dunia pendidikan, yakni dengan pengembangan kurikulum kelautan. Serta pula mengembangkan pembangunan universitas-universitas kemaritiman seperti yang ada di sejumlah negara seperti Rusia, Korea Selatan, Cina, dan Jepang. “Ini juga dalam rangka penguatan sumber daya manusia dan penunjang peningkatan penguasaan ilmu dan teknologi,” kata Supratikno.
Indah Budiyati, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung, juga menilai pentingnya sektor pendidikan untuk mendukung penguatan kembali kebudayaan maritim dan pemanfaatan potensi maritim Indonesia. “Untuk membangkitkan atau menguatkan kembali budaya maritim itu harus multidisiplin,” pungkasnya.
Dia setuju pengembangannya berupa pencerahan pengetahuan seperti pengenalan geografis kepada siswa didik. “Anak-anak harus paham kalau negara mereka adalah negara kepulauan,” pungkasnya.
Selama ini perhatian pengetahuan bahari memang terabaikan. Jangankan menumbuhkembangkan sejak usia dini, di dalam studi keahlian bidang kelautan serta perikanan saja ada gejala kemunduran dari perguruan tinggi. Contohnya, penutupan Fakultas Perikanan Universitas Hangtuah hanya karena sepi peminat.
Persepsi mengenai masyarakat di sekitar laut pun bisa keliru dengan identitas yang dekat dengan kemiskinan, kekumuhan dan menyeramkan akibat mitos hantu penjaga laut seperti Nyai Roro Kidul. Atau lulusan sekolah umum di kota maupun pegunungan yang ‘buta’ tentang budaya pesisir. Apa itu padang lamun, ikan demersial, atau cerita kapal pinisi si penjelajah dunia. Belum lagi perihal manfaat laut yang melimpah ruah, baik dari ikan, terumbu karang, wisata hingga pulau-pulau kecil di tengah laut.
Tak salah memang kalau wacana masuknya kurikulum bahari ini mendapat dukungan. Sebab, manfaatnya bisa berjangka panjang terhadap pelestarian sekaligus menunjukkan karakter bangsa yang berani seperti para pelaut yang menerjang ombak di tengah laut. Toh memang kita berasal dari nenek moyang seorang pelaut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar