SheRief Maronie
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi atas, delik pencemaran, pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan terlarang.
Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat (1) rumusannya sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3. sedangkan pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini semua ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
Kemudian pada Pasal 85 yang diubah dal;am UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara.
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Sedangkan pasal 86 berisi larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, yang dimaksud dengan pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain akibat perbuatan manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang, tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, dan/atau berbahaya bagi yang memanfaatkannya.
Pencemaran lingkungan secara umum adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi atau kompenen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.[1]
Sedangkan kerusakan lingkungan sumber daya adalah terjadinya penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di lokasi perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang dan/atau badan hukum, yang telah menimbulkan gangguan sedemikian rupa terhadap keseimbangan biologis atau daur hidup sumber daya ikan.
Pada pasal 87 diatur mengenai larangan bagi setiap orang yang merusak plasma nutfah di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Yang dimaksud plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul baru. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, disamping juga untuk melindungi ekosistem yang ada.
Merujuk kepada hasil penelaahan penulis terhadap pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana seperti disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang luput dari pengaturan di dalam undang-undang perikanan, antara lain pengaturan tentang perbuatan atau kegiatan maupun usaha perikanan, yang dilakukan di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dalam keadaan kritis sebagaimana dimaksud pasal 11 ayat (1). Keadaan kritis atas sediaan ikan, spesies ikan dan lahan pembudidayaan ikan seperti yang dimaksud dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) undang-undang perikanan, adalah suatu penurunan serius akibat penangkapan yang berlebihan atas ketersediaan jenis ikan tertentu, keadaan berjangkitnya wabah penyakit ikan, atau suatu perubahan besar dari perubahan lingkungan akibat pencemaran yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan yang harus ditangani dan memerlukan tindakan segera.
Pengaturan dimaksud menjadi penting oleh karena, tanpa pengaturan demikian di dalam undang-undang perikanan, secara formal perbuatan atau kegiatan maupun usaha perikanan yang dilakukan di dalam wilayah perikanan yang dikategorikan keadaannya kritis, tidak termasuk suatu tindak pidana. Dengan kondisi keadaan kritis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, risiko secara materil yang dapat ditimbulkan dari kegiatan atau usaha perikanan di dalamnya sangat mempengaruhi kelestarian sumber daya perikanan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi atas, delik pencemaran, pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan terlarang.
Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat (1) rumusannya sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah)”.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3. sedangkan pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini semua ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
Kemudian pada Pasal 85 yang telah diubah dalam UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara.
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Sedangkan pasal 86 berisi larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, yang dimaksud dengan pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain akibat perbuatan manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang, tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, dan/atau berbahaya bagi yang memanfaatkannya.
Pencemaran lingkungan secara umum adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi atau kompenen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Sedangkan kerusakan lingkungan sumber daya adalah terjadinya penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di lokasi perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang dan/atau badan hukum, yang telah menimbulkan gangguan sedemikian rupa terhadap keseimbangan biologis atau daur hidup sumber daya ikan.
Pada pasal 87 diatur mengenai larangan bagi setiap orang yang merusak plasma nutfah di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Yang dimaksud plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul baru. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, disamping juga untuk melindungi ekosistem yang ada.
Merujuk kepada hasil penelaahan penulis terhadap pasal-pasal yang terkait dengan delik seperti disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang luput dari pengaturan di dalam undang-undang perikanan, antara lain pengaturan tentang perbuatan atau kegiatan maupun usaha perikanan, yang dilakukan di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dalam keadaan kritis sebagaimana dimaksud pasal 11 ayat (1). Keadaan kritis atas sediaan ikan, spesies ikan dan lahan pembudidayaan ikan seperti yang dimaksud dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) undang-undang perikanan, adalah suatu penurunan serius akibat penangkapan yang berlebihan atas ketersediaan jenis ikan tertentu, keadaan berjangkitnya wabah penyakit ikan, atau suatu perubahan besar dari perubahan lingkungan akibat pencemaran yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan yang harus ditangani dan memerlukan tindakan segera.
Pengaturan dimaksud menjadi penting oleh karena, tanpa pengaturan demikian di dalam undang-undang perikanan, secara formal perbuatan atau kegiatan maupun usaha perikanan yang dilakukan di dalam wilayah perikanan yang dikategorikan keadaannya kritis, tidak termasuk suatu delik. Dengan kondisi keadaan kritis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, risiko secara materil yang dapat ditimbulkan dari kegiatan atau usaha perikanan di dalamnya sangat mempengaruhi kelestarian sumber daya perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar