17 Mei, 2011

Memerangi Impor Ikan I(legal)

M.Riza Damanik
Sekretaris Jenderal KIARA; Ketua Pokja Perikanan pada Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS)
ADAKAH Indonesia berdaulat, adil, dan makmur? Pertanyaan tersebut kembali mengganggu akal sehat saya sebulan terakhir. Pasalnya, setelah mengetahui berulang kali negara gagal: menghukum para pelaku pencuri ikan dan melindungi nelayan tradisional Indonesia di perairan perbatasan. Kini, Indonesia justru dibanjiri produk impor ikan ilegal—yang dilegalkan.
Adalah Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Republik Indonesia yang menjembatani pengetahuan kita terkait derasnya impor ikan asal Cina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand—memasuki pasar domestik.
Berdasarkan data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, setidaknya sejak Maret hingga minggu ketiga April 2011, total produk perikanan yang tidak diizinkan masuk sebanyak 12.060 ton atau 245 kontainer. Dari jumlah ikan yang ditolak tersebut, sejumlah 2.360.000 kg (2.360 ton) ikan dilepaskan ke dalam negeri setelah mendapat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kompas, 25/4). Dari sini, kredibilitas dan konsistensi awak KKP dipertaruhkan!
Pertaruhan
Sejatinya, ada tiga alasan utama yang saling berkaitan dan melatari penahanan ribuan ikan impor ilegal, sebulan terakhir: pertama, dikarenakan ikan-ikan tersebut adalah merupakan komoditas yang jamak ditemui di pasar domestik atau diproduksi oleh nelayan Indonesia. Diantaranya: ikan gembung, teri, hingga ikan asin. Kedua, terkait persoalan administratif, yakni: tidak memiliki izin atau dokumen impor yang dipersyaratkan. Dan ketiga, tidak memenuhi standar minimum kualitas kesehatan produk perikanan yang diperbolehkan: baik terkait kadar air, kandungan logam berat, maupun penggunaan formalin. Karenanya, keputusan untuk melegalkan produk ikan ilegal memiliki dimensi sekaligus konsekuensi besar terhadap masa depan pengelolaan perikanan Indonesia, secara menyeluruh.
Dapat dipastikan, dengan masuknya ikan murah jenis konsumsi ala impor ilegal akan memperbesar hambatan pencapaian kesejahteraan jutaan nelayan Indonesia. Buruknya kualitas ikan impor juga akan mempengaruhi jaminan kesehatan bagi puluhan atau bahkan ratusan juta masyarakat pengkonsumsi ikan.
Disaat yang sama, mobilisasi ikan impor ilegal untuk bahan baku industri perikanan dalam negeri adalah tindakan ceroboh. Karena akan memperburuk kredibilitas dan produktivitas industri perikanan nasional, baik dipasar lokal dan internasional. Boleh jadi sentimen terhadap produk ikan asal Indonesia dibangun, misalnya: “Jangan beli produk ikan asal Indonesia, karena bahan bakunya adalah ilegal”. Sungguh tak boleh terjadi!.
Lebih jauh, terkait integritas dan kapasitas pemerintah—dalam hal ini KKP—dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan penegakan hukum, hingga optimalisasi pendapatan negara di sektor perdagangan perikanan, patut dipertanyakan. Apalagi pada kenyataan belakangan ini, secara sadar atau tidak, KKP telah mengerdilkan peran dan fungsinya, sekaligus miskin prestasi.
Terhadap itu semua, meloloskan ikan impor ilegal atas pertimbangan jumlahnya yang “kecil”, yakni hanya sekitar 16 persen dari total produk impor ikan yang tertahan; atau, sekedar untuk mengakomodir “jeritan-kepentingan” sebagian kecil pelaku industri (nakal)—adalah tidak relevan dan merugikan kepentingan nasional!
Strategi
Bagi saya, persoalan pangan dan perikanan di negara kelautan dan kepulauan seperti Indonesia: tidaklah sekedar terkait penyelenggaraan kuantitas dan harga ikan yang mampu dijangkau oleh rakyat Indonesia. Lebih dari itu, adalah ikan yang ditangkap oleh nelayan Indonesia, dengan perahu Indonesia, dan di wilayah kedaulatan Indonesia. Itulah wujud kekinian, bangsa yang berdaulat!
Karenanya, terdapat 3 strategi yang perlu dijalankan pemerintah—dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)—dalam rangka “memagari” kepentingan pangan dan perikanan Indonesia dari serangan produk impor: pertama, perlu ada penguatan substansi regulasi, pengawasan, dan konsistensi penegakan hukum. Sebab, diatas kertas, Permen KP No.17/2010 bukanlah untuk melindungi pasar ikan domestik dari serangan impor ikan-berjenis serupa dengan apa yang ditangkap atau dibudidayakan oleh nelayan Indonesia. Namun terbatas pada kepentingan pengawasan kualitas produk ikan impor semata. Disaat yang sama, konsistensi penegakan hukum juga harus dibenahi, semisal: menyegerakan pemulangan (re-ekspor), ataubahkan pemusnahan produk impor ikan ilegal. Harapannya, ada efek jera untuk mencegah tindakan serupa berulang.
Kedua, disadari atau tidak bahwa kasus impor ikan ilegal sebulan terakhir menjelaskan masih tingginya biaya produksi ikan di dalam negeri. Akibatnya, produk perikanan Indonesia dipecundangi produk impor di dalam negeri. Untuk itu, diperlukan “pagar” kedua dengan cara menekan biaya produksi perikanan nasional serendah mungkin. Dalam hal ini, pemberian insentif kepada nelayan tradisional Indonesia menjadi sangat penting. Persoalan pendistribusian bahan bakar bersubsidi, pemberian subsidi pakan ikan, penyediaan akses informasi dan permodalan adalah syarat mutlak yang perlu disegerakan.
Ketiga, pemerintah perlu mengintensifkan kampanye dan pendidikan publik agar mengkonsumsi ikan sehat, dari perairan Indonesia, dan tangkapan nelayan tradisional Indonesia. Tahapan ini tidak boleh dikesampingkan. Karena, modalitas dukungan tersebut dapat memicu lahirnya kesadaran kolektif dan sikap kritis publik. Disaat yang sama, akan mempersempit perdagangan produk perikanan dari hasil kejahatan: pencurian, pengeboman, pembiusan, trawl, dan pencemaran.
“Drama” penahanan ikan impor ilegal sebulan terakhir harus dimanfaatkan untuk memperjelas arah dan tujuan pengelolaan perikanan nasional, yakni: untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia, meningkatkan kualitas gizi, kesehatan, dan kecerdasan anak-anak Indonesia, maupun dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi nasional. Ketiga strategi tersebut diperlukan dalam memerangi impor produk pangan dan perikanan dalam waktu panjang. Tidak cukup dengan sekedar menginjeksikan semangat nasionalisme semu kepada publik!

Sumber: Majalah Samudra - Edisi 97 - Thn IX - Mei - 2011

Tidak ada komentar: