28 Mei, 2011

Bertumpu pada Revolusi Biru

Peningkatan Impor Dipicu Berlakunya ACFTA


Tooltip
ANTARA

Hingga saat ini, revolusi biru masih terus gencar digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Fadel Muhammad. Dalam pandangan Fadel, perubahan paradigma pembangunan dari daratan ke lautan itu perlu terus didorong dan dijadikan mainstream pembangunan nasional karena banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir.

"Presiden juga sudah menyatakan dukungan mengenai pembangunan kelautan tersebut," ujar dia di Jakarta, Jumat (27/5).

Demi merealisasikan pembangunan kelautan tersebut, KKP membuat sejumlah program. Bersamaan dengan acara peluncuran Indonesia’s Blue Revolution, kemarin, Fadel menjanjikan adanya terobosan dan strategi baru pembangunan kelautan. Terobosan yang dimaksud ialah merevitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru di bidang kelautan dan perikanan.

Selama ini, sumber pertumbuhan berasal dari perikanan tangkap, perikanan budi daya, wisata bahari, pertambangan, transportasi laut, dan pengembangan jasa kelautan. Berdasarkan Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, diketahui kontribusi produk domestik bruto sektor perikanan tahun 2010 mencapai 3,1 persen, dan ditargetkan meningkat menjadi 3,5 persen pada tahun ini.

Selain PDB, nilai ekspor ditargetkan meningkat tahun ini, yakni bisa mencapai 3,2 miliar dollar AS. Hingga akhir 2010, nilai ekspor perikanan diperkirakan 2,79 miliar dollar AS atau meningkat dari realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 2,46 miliar dollar AS. Pihak KKP juga menargetkan adanya peningkatan produksi perikanan. Apabila rata-rata produksi perikanan nasional selama ini mencapai 6,4 juta ton per tahun, pada 2011 produksi ditargetkan meningkat 20 hingga 30 persen setelah pembangunan sekitar 24 minapolitan.


Belum Terealisasi

Menanggapi program revolusi biru KKP, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (P2KM) Suhana menyatakan program itu belum sepenuhnya terealisasi. Dia juga menilai kebijakan yang diambil pemerintah tidak konsisten.

"Pada awalnya, perikanan budi daya dan minapolitan yang fokus kegiatan untuk mendorong revolusi biru, namun program-programnya sampai saat ini belum berjalan. Tahun ini fokus kebijakan berubah dengan mendorong perikanan tangkap. Jika kebijakannya tidak konsisten, maka akan sulit mencapai target pembangunan perikanan," tandas Suhana.

Suhana juga menyoroti pembangunan perikanan pada triwulan I-2011 yang dipandangnya belum ada perbaikan signifikan dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu, tambah dia, didasarkan pada beberapa indikator, seperti meningkatnya laju impor, tidak berkembangnya industri perikanan, serta kesejahteraan nelayan yang tidak kunjung membaik.

Masih buruknya tingkat kesejahteraan nelayan dibenarkan pula oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien. Menurut dia, pembangunan perikanan belum mampu mendongkrak taraf hidup nelayan.

"Kenyataannya nelayan masih jauh dari sejahtera, bahkan 90 persen dari mereka tidak sekolah dan hanya lulus sekolah dasar. Kondisi itu ironis karena tidak sesuai dengan amanat UUD terkait perlindungan pemerintah terhadap rakyat," paparnya.

Sementara itu, peningkatan laju impor, jelas Suhana, bisa dilihat dari pencapaian periode Januari hingga Februari 2011 yang mencapai 71,12 juta dollar AS. Kenaikan laju impor selama periode itu mencapai 54,68 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, peningkatan impor hanya 32,23 persen.

Suhana menyatakan peningkatan laju impor itu dipicu oleh berlakunya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Peningkatan impor itu, tambahnya, tidak berdampak pada peningkatan kapasitas industri perikanan. Data Bank Indonesia (2011) menunjukkan rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai pada triwulan I-2011 adalah 68,82 persen. Hal itu menunjukkan impor produk perikanan yang masuk ke Indonesia tidak digunakan untuk bahan baku, tetapi justru dominan untuk dikonsumsi.

Lebih lanjut, Suhana menuturkan tingginya laju impor ikan dan produk perikanan pada 2011 diduga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan nasional. Hal itu dikarenakan konsumen lebih memilih ikan impor yang harganya cenderung lebih murah ketimbang ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan nasional. aan/E-2

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/63323

Tidak ada komentar: