Berpindah, beradaptasi atau mati. Itu adalah pilihan bagi tumbuhan dan hewan laut (terumbu karang) dalam menghadapi perubahan iklim, kata ahli biologi Palumbi yang telah mengeksplorasi bagaimana cara membantu mereka menyelamatkan diri dengan dua opsi pertama, bukan ketiga. Dia datang dengan beberapa jawaban yang mengejutkan termasuk tentang seberapa besar kawasan lindung yang efektif.
Stanford Steve Palumbi merupakan pimpinan di Stanford’s Hopkins Marine Station dan senior University’s Woods Institute for the Environment.
Merancang kawasan perlindungan laut agar memberikan manfaat terbaik untuk berbagai jenis biota adalah fokus pembicaraan yang disampaikan pada pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science di San Diego Feb 20 silam.
Jenis yang paling umum dibuat adalah daerah perlindungan yang mampu memberi keuntungan dan keseimbangan bagi spesies/biota dan sekaligus penduduk lokal. Tapi Palumbi mengatakan bahwa menjaga keseimbangan tidaklah mudah. Banyak orang berpendapat bahwa semakin besar daerah perlindungan akan semakin baik, namun dari data, Palumbi telah mengisyaratkan bahwa tidak selalu demikian.
Palumbi menyampaikan beberapa temuan tentang bagaimana biota laut bereaksi terhadap perubahan iklim, termasuk yang terjadi pada spesies karang di Pasifik yang memiliki kemampuan penyebaran yang rendah, namun memiliki kemampuan yang mengejutkan untuk mengatasi kondisi suhu yang lebih tinggi.
Jika tidak bisa bergerak, maka sebaiknya berusahalah menyesuaikan.
Banyak spesies, seperti yang berada di sepanjang pantai barat California, secara mudah dapat bermigrasi ke utara menuju perairan lebih dingin. Tetapi biota lain, seperti karang yang dipelajari Palumbi dan timnya di Fiji dan American Samoa, tidak dapat bergerak sesederhana itu.
“Setiap populasi karang terperangkap pada pulaunya masing-masing, dengan adanya perubahan iklim global yang terjadi di sekitar mereka. Mereka harus menuju ke tahap kedua, yaitu beradaptasi,” kata Palumbi.
Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa terumbu karang berada dalam kondisi terancam punah karena kenaikan suhu air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi Palumbi telah menemukan spesies karang yang mungkin memiliki kesempatan yang lebih baik untuk beradaptasi.
Palumbi dan timmnya mempelajari pertumbuhan karang di laguna dangkal yang terpapar panas pada saat surut siang hari selama musim panas. Mereka mengetahui bahwa karang yang diamati merupakan karang yang memiliki daya tahan lebih terhadap pemanasan singkat, namun tim sangat terkejut ketika menemukan bahwa karang bertahan lima sampai enam hari pada suhu air tinggi. Terpapar sinar matahari tropis saat surut selama 4 sampai 6 jam sehari dapat diartikan bahwa karang ini telah siap untuk menghadapi pemanasan global.
“Ketika karang tersebut kita uji terhadap suhu tinggi untuk waktu yang lebih lama, mereka terbukti memiliki daya pulih/kelentingan yang lebih tinggi,” kata Palumbi. “Kelihatannya karang ini telah beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tekanan yang ada dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi kenaikan suhu akibat pemanasan global.” Berapa lama daya pulih ini akan berlangsung, dan apakah semua jenis karang dapat melakukan hal ini, masih menjadi pertanyaan.
Apakah ukuran penting untuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) ?
Respon utama terhadap isu perubahan iklim adalah untuk melindungi terumbu karang dari tekanan lain yang disebabkan oleh manusia (misalnya penangkapan ikan secara berlebihan). Sebagai hasilnya, sejumlah besar DPL telah dibuat di Pasifik. Beberapa diantaranya seukuran lapangan sepak bola, beberapa seukuran California ( hampir seukuran pulau Sumatera). Pertanyaannya, apakah lebih besar lebih baik?
Untuk menentukan berapa sejauh mana ukuran kawasan lindung bisa membuat perbedaan, Palumbi menganalisis set data dari DPL kecil di Fiji, Kepulauan Phoenix dan Daerah Perlindungan Papahanaumokuakea di Hawaii yang merupakan DPL terbesar di dunia. Ketiga wilayah konservasi ini berada dibawah pengelolaan instansi pemerintah.
Monumen Nasional Laut Papahanaumokuakea mencakup 360.000 kilometer persegi (139.000 mil persegi) di Barat Laut Hawaii seluruhnya adalah zona larang tangkap.
Kawasan Lindung Kepulauan Phoenix, yang terletak di tengah Samudera Pasifik antara Hawaii dan Fiji, dengan luasan lebih dari 408.000 kilometer persegi (158.000 mil persegi). Ada tujuh daerah larang tangkap di daerah ini, masing-masing sekitar 39 kilometer (24 mil).
Namun, di daerah yang cenderung padat penduduk, DPL kecil lebih umum. Fiji memiliki 246 kawasan lindung, masing-masing rata-rata sekitar 2-3 kilometer persegi (sekitar satu mil persegi).
“Set Kecil kawasan perlindungan laut jauh lebih nyaman. Orang-orang dapat mencari ikan di antara zona larang tangkap dan mereka dapat pergi ke lokasi sesuai fungsinya dengan mudah. Spesies yang ditemukan di dalam zona inti/larang tangkap dengan mudah tumpah dan menyebar ke daerah sekitarnya, berpotensi meningkatkan produktivitas nelayan,” kata Palumbi.
Namun, DPL yang terbentang luas memungkinkan spesies untuk menyebar lebih mudah daripada daerah-daerah kecil, di mana mereka berisiko ditangkap oleh nelayan di antara zona larang tangkap. Oleh karena itu, DPL kecil harus disesuaikan dengan biota yang akan dilindungi DPL, karena masing-masing spesies memiliki kemapuan penyebaran yang berbeda, kata Palumbi .
“Tiap spesies memiliki kemampuan penyebaran yang berbeda, sehingga sangat sulit untuk memiliki jaringan kawasan perlindungan laut yang bekerja sama dengan baik untuk semua spesies yang berbeda. Anda harus menyesuaikan jaringan kawasan perlindungan bagi spesies,” katanya.
Meskipun DPL kecil hanya melindungi sedikit spesies jika dibandingkan DPL besar, menutup wilayah laut yang sangat besar tidak sesederhana yang kita pikirkan. Ilmuwan dan pembuat kebijakan harus mempertimbangkan penduduk lokal yang bergantung pada perikanan untuk kesejahteraan mereka dan penghidupan sehari-hari.
“Dengan populasi penduduk yang besar, unsur politik, sosial dan ekonomi dari suatu DPLbesar merupakan hal terpenting dan Anda harus mencari strategi lain. Tapi strategi ini memiliki keterbatasan karena sulit untuk merancang suatu daerah dengan sempurna untuk semua spesies yang membutuhkan perlindungan,”kata Palumbi. Kawasan perlindungan yang paling efektif adalah kawasan yang menyediakan keseimbangan antara pelestarian dengan kebutuhan manusia, katanya. Dan menemukan keseimbangan adalah tantangan.
Sumber: ScienceDaily
Stanford Steve Palumbi merupakan pimpinan di Stanford’s Hopkins Marine Station dan senior University’s Woods Institute for the Environment.
Merancang kawasan perlindungan laut agar memberikan manfaat terbaik untuk berbagai jenis biota adalah fokus pembicaraan yang disampaikan pada pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science di San Diego Feb 20 silam.
Jenis yang paling umum dibuat adalah daerah perlindungan yang mampu memberi keuntungan dan keseimbangan bagi spesies/biota dan sekaligus penduduk lokal. Tapi Palumbi mengatakan bahwa menjaga keseimbangan tidaklah mudah. Banyak orang berpendapat bahwa semakin besar daerah perlindungan akan semakin baik, namun dari data, Palumbi telah mengisyaratkan bahwa tidak selalu demikian.
Palumbi menyampaikan beberapa temuan tentang bagaimana biota laut bereaksi terhadap perubahan iklim, termasuk yang terjadi pada spesies karang di Pasifik yang memiliki kemampuan penyebaran yang rendah, namun memiliki kemampuan yang mengejutkan untuk mengatasi kondisi suhu yang lebih tinggi.
Jika tidak bisa bergerak, maka sebaiknya berusahalah menyesuaikan.
Banyak spesies, seperti yang berada di sepanjang pantai barat California, secara mudah dapat bermigrasi ke utara menuju perairan lebih dingin. Tetapi biota lain, seperti karang yang dipelajari Palumbi dan timnya di Fiji dan American Samoa, tidak dapat bergerak sesederhana itu.
“Setiap populasi karang terperangkap pada pulaunya masing-masing, dengan adanya perubahan iklim global yang terjadi di sekitar mereka. Mereka harus menuju ke tahap kedua, yaitu beradaptasi,” kata Palumbi.
Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa terumbu karang berada dalam kondisi terancam punah karena kenaikan suhu air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi Palumbi telah menemukan spesies karang yang mungkin memiliki kesempatan yang lebih baik untuk beradaptasi.
Palumbi dan timmnya mempelajari pertumbuhan karang di laguna dangkal yang terpapar panas pada saat surut siang hari selama musim panas. Mereka mengetahui bahwa karang yang diamati merupakan karang yang memiliki daya tahan lebih terhadap pemanasan singkat, namun tim sangat terkejut ketika menemukan bahwa karang bertahan lima sampai enam hari pada suhu air tinggi. Terpapar sinar matahari tropis saat surut selama 4 sampai 6 jam sehari dapat diartikan bahwa karang ini telah siap untuk menghadapi pemanasan global.
“Ketika karang tersebut kita uji terhadap suhu tinggi untuk waktu yang lebih lama, mereka terbukti memiliki daya pulih/kelentingan yang lebih tinggi,” kata Palumbi. “Kelihatannya karang ini telah beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tekanan yang ada dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi kenaikan suhu akibat pemanasan global.” Berapa lama daya pulih ini akan berlangsung, dan apakah semua jenis karang dapat melakukan hal ini, masih menjadi pertanyaan.
Apakah ukuran penting untuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) ?
Respon utama terhadap isu perubahan iklim adalah untuk melindungi terumbu karang dari tekanan lain yang disebabkan oleh manusia (misalnya penangkapan ikan secara berlebihan). Sebagai hasilnya, sejumlah besar DPL telah dibuat di Pasifik. Beberapa diantaranya seukuran lapangan sepak bola, beberapa seukuran California ( hampir seukuran pulau Sumatera). Pertanyaannya, apakah lebih besar lebih baik?
Untuk menentukan berapa sejauh mana ukuran kawasan lindung bisa membuat perbedaan, Palumbi menganalisis set data dari DPL kecil di Fiji, Kepulauan Phoenix dan Daerah Perlindungan Papahanaumokuakea di Hawaii yang merupakan DPL terbesar di dunia. Ketiga wilayah konservasi ini berada dibawah pengelolaan instansi pemerintah.
Monumen Nasional Laut Papahanaumokuakea mencakup 360.000 kilometer persegi (139.000 mil persegi) di Barat Laut Hawaii seluruhnya adalah zona larang tangkap.
Kawasan Lindung Kepulauan Phoenix, yang terletak di tengah Samudera Pasifik antara Hawaii dan Fiji, dengan luasan lebih dari 408.000 kilometer persegi (158.000 mil persegi). Ada tujuh daerah larang tangkap di daerah ini, masing-masing sekitar 39 kilometer (24 mil).
Namun, di daerah yang cenderung padat penduduk, DPL kecil lebih umum. Fiji memiliki 246 kawasan lindung, masing-masing rata-rata sekitar 2-3 kilometer persegi (sekitar satu mil persegi).
“Set Kecil kawasan perlindungan laut jauh lebih nyaman. Orang-orang dapat mencari ikan di antara zona larang tangkap dan mereka dapat pergi ke lokasi sesuai fungsinya dengan mudah. Spesies yang ditemukan di dalam zona inti/larang tangkap dengan mudah tumpah dan menyebar ke daerah sekitarnya, berpotensi meningkatkan produktivitas nelayan,” kata Palumbi.
Namun, DPL yang terbentang luas memungkinkan spesies untuk menyebar lebih mudah daripada daerah-daerah kecil, di mana mereka berisiko ditangkap oleh nelayan di antara zona larang tangkap. Oleh karena itu, DPL kecil harus disesuaikan dengan biota yang akan dilindungi DPL, karena masing-masing spesies memiliki kemapuan penyebaran yang berbeda, kata Palumbi .
“Tiap spesies memiliki kemampuan penyebaran yang berbeda, sehingga sangat sulit untuk memiliki jaringan kawasan perlindungan laut yang bekerja sama dengan baik untuk semua spesies yang berbeda. Anda harus menyesuaikan jaringan kawasan perlindungan bagi spesies,” katanya.
Meskipun DPL kecil hanya melindungi sedikit spesies jika dibandingkan DPL besar, menutup wilayah laut yang sangat besar tidak sesederhana yang kita pikirkan. Ilmuwan dan pembuat kebijakan harus mempertimbangkan penduduk lokal yang bergantung pada perikanan untuk kesejahteraan mereka dan penghidupan sehari-hari.
“Dengan populasi penduduk yang besar, unsur politik, sosial dan ekonomi dari suatu DPLbesar merupakan hal terpenting dan Anda harus mencari strategi lain. Tapi strategi ini memiliki keterbatasan karena sulit untuk merancang suatu daerah dengan sempurna untuk semua spesies yang membutuhkan perlindungan,”kata Palumbi. Kawasan perlindungan yang paling efektif adalah kawasan yang menyediakan keseimbangan antara pelestarian dengan kebutuhan manusia, katanya. Dan menemukan keseimbangan adalah tantangan.
Sumber: ScienceDaily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar