Oleh Sapto Adiwiloso
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 74 Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, dikhawatirkan akan membenturkan kepentingan nelayan dengan pengusaha perikanan skala besar.
Pertarungan David melawan Goliath, itulah yang dikhawatirkan beberapa kalangan terkait dengan rencana Departemen Kelutan dan Perikanan mengapling perairan untuk kegiatan usaha penangkapan ikan.
Kebijakan yang populer dengan istilah Kluster Perikanan itu sebagaimana dijelaskan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Dedi Sutisna merupakan gagasan zonasi perikanan tangkap yang akan diberlakukan pada 11 wilayah pengelolaan perikanan. Cakupannya mulai dari tepi pantai hingga melampaui batas 12 mil perairan atau zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Kluster penangkapan ikan itu memberi hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola kawasan tangkap. Ada beberapa model pengelolaan kluster yang kini sedang dikaji, antara lain, pengelola kluster terdiri dari nelayan dengan armada inti berkapasitas kapal di atas 30 gross ton (GT) sebanyak 75 persen dan armada lokal dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25 persen.
Nelayan dan armada lokal dapat membentuk konsorsium untuk ikut mengelola kluster. ”Nelayan tradisional dan pengusaha besar ditempatkan dalam posisi yang setara,” ujar Dedi.
Sebelumnya DKP juga meluncurkan program serupa yang saat ini pun masih dibahas petinggi DKP yakni Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). HP3 juga mengamanatkan zonasi pemanfaatan perairan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap dan budidaya. HP3 memberikan peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain.
Saat digulirkan tahun 2008, program HP3 juga menuai protes dari sejumlah kalangan, mengingat kebijakan tersebut memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir yang berpotensi menimbulkan pemusatan hak pengusahaan pesisir ke pemodal kuat. Karena itu, sangatlah beralasan jika kebijakan tersebut dikhawatirkan membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal.
Namun kekhawatiran itu ditepis Sudirman Saad, Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa, (21/7) Sudirman menyatakan, tahun ini pemerintah akan menerbitkan aturan rinci soal HP3 yang antara lain berisi ketentuan zonasi perairan akan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan jaminan perlindungan hak nelayan tradisional.
Namun, ia tidak menampik adanya potensi tumpang tindih antara kebijakan HP3 dan kluster perikanan tangkap. Penyebabnya, koordinasi internal departemen untuk pengelolaan kawasan perairan hingga kini belum optimal.
”HP3 akan diterapkan dalam batas perairan 12 mil. Oleh karena itu, kluster perikanan tangkap idealnya berada di luar 12 mil agar tidak tumpang tindih dengan HP3,” ujar Sudirman.
Kontroversi pun bermunculan, menanggapi kebijakan DKP tersebut. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan misalnya, dalam rilis tahun 2006 menyatakan, hampir seluruh perairan Indonesia telah mengalami tingkat eksploitasi sumber daya perikanan yang melebihi ambang batas dan berlebih. Nelayan tradisional khawatir, pembentukan kluster memicu perebutan lahan penangkapan ikan antara nelayan kecil dan pengusaha besar.
Fakta lain yang didapat dari Yayasan Sita Kena menyatakan, hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru sejak 2007 terus menurun seiring ekspansi kapal-kapal milik perusahaan besar.
Nety Letlora dari Yayasan Sita Kena yang mendampingi 48 kelompok nelayan di Aru, mengungkapkan, nelayan kian terpinggirkan oleh kehadiran banyaknya kapal penangkap ikan milik perusahaan besar.
Sejak 1990, peralatan tangkap nelayan tradisional di Laut Arafura nyaris tidak mengalami perubahan, yakni motor tempel, alat tangkap jaring tarik tangan, dan pancing. Teknologi sederhana itu sulit bersaing dengan peralatan pengusaha besar.
”Jika ada pengklusteran Laut Arafura, semakin banyak kapal yang beroperasi dan berebut ikan dengan nelayan tradisional. Nelayan tradisional hanya akan menjadi penonton,” ujar Nety.
Salah Urus
Dari data yang berhasil dihimpun www.indonesiaboat. com, perairan Indonesia memiliki sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia. Ironisnya usaha perikanan tangkap yang didominasi hampir 90 persen oleh nelayan kecil dan tradisional hingga kini belum didorong menjadi penyangga industri perikanan nasional. Kebijakan pengelolaan laut bahkan kerap tidak memperhitungkan kearifan lokal dan wilayah ulayat nelayan tradisional.
Minimnya penerimaan negara dari sektor kelautan dan perikanan menunjukkan ada yang salah urus di negeri bahari dengan potensi perikanan yang luar biasa ini. Karena itu, kebijakan kluster penangkapan ikan yang membagi laut dalam kapling-kapling harus mempertimbangkan faktor sosial dan historis masyarakat pesisir dan nelayan tradisional secara arif. Perlindungan hak penangkapan tradisional dan penguatan organisasi nelayan menjadi keharusan.
Banyaknya kebijakan yang mengatasnamakan nelayan tradisional tanpa dibarengi oleh pengawasan dan penerapan hukum yang tegas, hanya akan menjadikan nelayan tradisional tumbal dari berbagai kepentingan yang menyelimutinya.
Ditolak
Komisi IV DPR RI, melalui ketuanya, Arifin Djunaedi Senin (20/7) meminta agar DKP mengkaji ulang rencana penerapan kluster perikanan tangkap untuk pengelolaan perikanan, karena dikhawatirkan merugikan nelayan tradisional. .
Arifin menambahkan, pembentukan kluster perikanan tangkap dengan pemberian hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola perikanan di suatu kawasan bertolak belakang dengan upaya peningkatan kemampuan nelayan tradisional. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengamanatkan bahwa negara menjamin setiap warga negara memiliki akses yang sama untuk menangkap ikan di perairan Indonesia.
Senada dengan Arifin, Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, nelayan kecil berpotensi paling dirugikan karena tidak memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan.
Pemerintah, kata Arif, hingga kini belum tuntas menyusun rencana pengelolaan perikanan di 11 wilayah pengelolaan perikanan sesuai dengan mandat UU Perikanan tersebut.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), pekan lalu, bahkan telah bertindak secara pro aktif dengan melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 soal Usaha Perikanan Tangkap yang memayungi kebijakan kluster perikanan tangkap.
Sekjen Kiara Riza Damanik mengingatkan, pemerintah hingga kini belum memiliki sarana, peralatan, dan sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan pengawasan perairan. Sementara itu, penerapan sanksi hukum terhadap praktik penangkapan ikan ilegal selama ini jauh dari harapan. Hal itu dinilai menyulitkan pengawasan kluster perikanan.
”Penerapan kluster perikanan tangkap tanpa diimbangi dengan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas hanya akan menuai sejumlah pelanggaran baru,” ujar Riza.*
Sumber: http://www.indonesi aboat.com
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 74 Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, dikhawatirkan akan membenturkan kepentingan nelayan dengan pengusaha perikanan skala besar.
Pertarungan David melawan Goliath, itulah yang dikhawatirkan beberapa kalangan terkait dengan rencana Departemen Kelutan dan Perikanan mengapling perairan untuk kegiatan usaha penangkapan ikan.
Kebijakan yang populer dengan istilah Kluster Perikanan itu sebagaimana dijelaskan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Dedi Sutisna merupakan gagasan zonasi perikanan tangkap yang akan diberlakukan pada 11 wilayah pengelolaan perikanan. Cakupannya mulai dari tepi pantai hingga melampaui batas 12 mil perairan atau zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Kluster penangkapan ikan itu memberi hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola kawasan tangkap. Ada beberapa model pengelolaan kluster yang kini sedang dikaji, antara lain, pengelola kluster terdiri dari nelayan dengan armada inti berkapasitas kapal di atas 30 gross ton (GT) sebanyak 75 persen dan armada lokal dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25 persen.
Nelayan dan armada lokal dapat membentuk konsorsium untuk ikut mengelola kluster. ”Nelayan tradisional dan pengusaha besar ditempatkan dalam posisi yang setara,” ujar Dedi.
Sebelumnya DKP juga meluncurkan program serupa yang saat ini pun masih dibahas petinggi DKP yakni Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). HP3 juga mengamanatkan zonasi pemanfaatan perairan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap dan budidaya. HP3 memberikan peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain.
Saat digulirkan tahun 2008, program HP3 juga menuai protes dari sejumlah kalangan, mengingat kebijakan tersebut memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir yang berpotensi menimbulkan pemusatan hak pengusahaan pesisir ke pemodal kuat. Karena itu, sangatlah beralasan jika kebijakan tersebut dikhawatirkan membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal.
Namun kekhawatiran itu ditepis Sudirman Saad, Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa, (21/7) Sudirman menyatakan, tahun ini pemerintah akan menerbitkan aturan rinci soal HP3 yang antara lain berisi ketentuan zonasi perairan akan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan jaminan perlindungan hak nelayan tradisional.
Namun, ia tidak menampik adanya potensi tumpang tindih antara kebijakan HP3 dan kluster perikanan tangkap. Penyebabnya, koordinasi internal departemen untuk pengelolaan kawasan perairan hingga kini belum optimal.
”HP3 akan diterapkan dalam batas perairan 12 mil. Oleh karena itu, kluster perikanan tangkap idealnya berada di luar 12 mil agar tidak tumpang tindih dengan HP3,” ujar Sudirman.
Kontroversi pun bermunculan, menanggapi kebijakan DKP tersebut. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan misalnya, dalam rilis tahun 2006 menyatakan, hampir seluruh perairan Indonesia telah mengalami tingkat eksploitasi sumber daya perikanan yang melebihi ambang batas dan berlebih. Nelayan tradisional khawatir, pembentukan kluster memicu perebutan lahan penangkapan ikan antara nelayan kecil dan pengusaha besar.
Fakta lain yang didapat dari Yayasan Sita Kena menyatakan, hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru sejak 2007 terus menurun seiring ekspansi kapal-kapal milik perusahaan besar.
Nety Letlora dari Yayasan Sita Kena yang mendampingi 48 kelompok nelayan di Aru, mengungkapkan, nelayan kian terpinggirkan oleh kehadiran banyaknya kapal penangkap ikan milik perusahaan besar.
Sejak 1990, peralatan tangkap nelayan tradisional di Laut Arafura nyaris tidak mengalami perubahan, yakni motor tempel, alat tangkap jaring tarik tangan, dan pancing. Teknologi sederhana itu sulit bersaing dengan peralatan pengusaha besar.
”Jika ada pengklusteran Laut Arafura, semakin banyak kapal yang beroperasi dan berebut ikan dengan nelayan tradisional. Nelayan tradisional hanya akan menjadi penonton,” ujar Nety.
Salah Urus
Dari data yang berhasil dihimpun www.indonesiaboat. com, perairan Indonesia memiliki sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia. Ironisnya usaha perikanan tangkap yang didominasi hampir 90 persen oleh nelayan kecil dan tradisional hingga kini belum didorong menjadi penyangga industri perikanan nasional. Kebijakan pengelolaan laut bahkan kerap tidak memperhitungkan kearifan lokal dan wilayah ulayat nelayan tradisional.
Minimnya penerimaan negara dari sektor kelautan dan perikanan menunjukkan ada yang salah urus di negeri bahari dengan potensi perikanan yang luar biasa ini. Karena itu, kebijakan kluster penangkapan ikan yang membagi laut dalam kapling-kapling harus mempertimbangkan faktor sosial dan historis masyarakat pesisir dan nelayan tradisional secara arif. Perlindungan hak penangkapan tradisional dan penguatan organisasi nelayan menjadi keharusan.
Banyaknya kebijakan yang mengatasnamakan nelayan tradisional tanpa dibarengi oleh pengawasan dan penerapan hukum yang tegas, hanya akan menjadikan nelayan tradisional tumbal dari berbagai kepentingan yang menyelimutinya.
Ditolak
Komisi IV DPR RI, melalui ketuanya, Arifin Djunaedi Senin (20/7) meminta agar DKP mengkaji ulang rencana penerapan kluster perikanan tangkap untuk pengelolaan perikanan, karena dikhawatirkan merugikan nelayan tradisional. .
Arifin menambahkan, pembentukan kluster perikanan tangkap dengan pemberian hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola perikanan di suatu kawasan bertolak belakang dengan upaya peningkatan kemampuan nelayan tradisional. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengamanatkan bahwa negara menjamin setiap warga negara memiliki akses yang sama untuk menangkap ikan di perairan Indonesia.
Senada dengan Arifin, Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, nelayan kecil berpotensi paling dirugikan karena tidak memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan.
Pemerintah, kata Arif, hingga kini belum tuntas menyusun rencana pengelolaan perikanan di 11 wilayah pengelolaan perikanan sesuai dengan mandat UU Perikanan tersebut.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), pekan lalu, bahkan telah bertindak secara pro aktif dengan melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 soal Usaha Perikanan Tangkap yang memayungi kebijakan kluster perikanan tangkap.
Sekjen Kiara Riza Damanik mengingatkan, pemerintah hingga kini belum memiliki sarana, peralatan, dan sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan pengawasan perairan. Sementara itu, penerapan sanksi hukum terhadap praktik penangkapan ikan ilegal selama ini jauh dari harapan. Hal itu dinilai menyulitkan pengawasan kluster perikanan.
”Penerapan kluster perikanan tangkap tanpa diimbangi dengan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas hanya akan menuai sejumlah pelanggaran baru,” ujar Riza.*
Sumber: http://www.indonesi aboat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar