Kompas.com - Kelompok studi ekosistem mangrove Teluk Awur (Kesemat) jurusan ilmu kelautan fakultas perikanan dan ilmu kelautan Universitas Diponegoro (Undip) setiap tahun menanam bibit mangrove rata-rata 4.000 batang di seputar lokasi kampus di Desa Teluk Awur, sekitar 5 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Jepara.
Penanamannya menurut koordinator Kesemat Undip, Arief Marsudi Harjo, Minggu (26/7), dilakukan sejak 2003, dengan tingkat kematian di bawah 10 persen, sehingga, luas tanaman sampai saat ini mencapai 2 hektar. “Memang kami masih konsentrasi di seputar kampus, setelah itu baru melebar ke seputar desa pantai. Pemkab Jepara setiap tahun juga membantu kegiatan kami Rp 4 juta,” tuturnya.
Selain itu Kesemat pada akhir Februari 2009, juga menggulirkan program atau gerakan Penyelamatan Mangrove dengan jargon Ingatlah setiap satu ekor udang yang kita makan, bisa satu batang pohon mangrove lebih dikorbankan .
Menurut Arief, salah satu penyebab kegagalan penanaman hingga penyelamatan mangrove, akibat dari meledaknya budidaya udang di era 1980 an hingga menjelang akhir 1990, sehingga terjadi pembabatan hutan mangrove hingga pengusaan secara ilegal kawasan pantai
Sedang pemkab Jepara, menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jepara, Akid, sudah sejak lebih dari 7 tahun terakhir selalu memperoleh bantuan dana dari APBD dan APBN untuk penanaman mangrove. “Namun demikian terkendala banyak hal sehingga belum semua wilayah pantai sepanjang 72 kilometer tertanami mangrove. Lagi pula kondisi tanaman ini lebih dari 90 persen rusak berat,” tuturnya.
Kendala itu antara lain, lahan seputar pantai sudah bersertifikat, sehingga tidak memungkinkan untuk menciptakan jalur hijau hutan mangrove selebar 200 meter sesuai surat keputusan bersama Menteri pertanian dan Menteri Kehutanan.
Bahkan menurut Akid, juga terkait dengan kerusakan terumbu karang pada sebagian besar wilayah pesisir di Jepara dengan katagori sangat buruk. Lalu rusaknya padang lamun, terjadi abrasi di banyak titik hingga penurunan kualitas lingkungan perairan. “Selain menanam mangrove, kami juga pernah menggunakan beton bertulang, ban-ban bekas, hingga batang-batang pohon kelapa untuk menahan laju gelombang, tetapi untuk sementara ini tingkat keberhasilan samasekali tidak siginifikan,” tuturnya.
Abrasi terparah di Jepara, menimpa Desa Bulak Kecamatan Kedung yang terjadi secara bertahap dan puncaknya pada 11-13 Januari 1981. Akibatnya 25 rumah roboh, 100 rumah lainnya rusak, sehingga penduduk harus bedhol desa setelah ombak Laut Jawa memundurkan rumah mereka lebih dari satu kilometer.
Sedang di Kabupaten Pati menurut catatan Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) sampai dengan akhir 2007 belum memiliki tata ruang pantai, namun sudah mempunyai perangkat pengatur pantai sepanjang 60 kilometer, yaitu peraturan daerah (perda) nomor 4 /2003 tentang pengelolaan wilayah pesisi dan laut dan perda 19/1997 tentang garis sempadan dan perda nomor 4/2004 (khus usnya pasal 26 ayat I, tentang tanah timbul yang dikuasai negara)
Dengan demikian apabila kedua perda tersebut diterapkan secara konsisten , permasalahan pelestarian mangrove sudah bisa diatasi dan dilestarikan. Bahkan pihak Polres Pati telah membentuk foru m kemitraan polisi masyarakat, sebagai sarana membantu polisi dalam menyelesaikan kasus-kasus berskala ringan- seperti halnya menyangkut kasus di kawasan pesisir.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, maupun Dinas Kelautan dan Perikanan juga ikut aktif me mbantu pembibitan, pelatihan dan sebagainya yang menyangkut mangrove. Namun tetap saja hingga menjelang akhir Juli 2009, tingkat kerusakan (ketidak berhasilan) tanaman mangrove yang tersebar di Kecamatan Dukuhseti, Tayu, Margoyoso, Trangkil, Wedarijaksa, Juwana hingga Batangan masih cukup parah.
Di Kabupaten Demak yang memiliki garis pantai sepanjang 34,1 kilometer, yaitu dari wilayah Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang hingga Wedung, kondisi tanaman mangrove maupun tingkat abrasi justru semakin parah. Terutama di Kecamatan Sayung.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jragung Tuntang (Jratun), Jajat Jatniko Holil , dalam semiloka lingkungan hidup di Pati (21 November 2007), penyebaran ekosistem mangrove mencapai 50.690 hek tar dan hutan pantai 26.638 hektar. Tersebar sepanjang 484 kilometer di 13 kabupaten kota, yaitu sejak dari Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Batang, Kendal, Kota Semarang, Demak, Jepara (termasuk Karimunjawa), Pati dan Rembang.
Tanaman mangrove yang rusak berat mencapai 249,8 hektar dan terluas di Kendal (668 hektar) dan luas abrasi tercatat 2.910 hektar, dengan daerah terparah di Demak (145 hektar).
Kompas.Com Juli 2009
Penanamannya menurut koordinator Kesemat Undip, Arief Marsudi Harjo, Minggu (26/7), dilakukan sejak 2003, dengan tingkat kematian di bawah 10 persen, sehingga, luas tanaman sampai saat ini mencapai 2 hektar. “Memang kami masih konsentrasi di seputar kampus, setelah itu baru melebar ke seputar desa pantai. Pemkab Jepara setiap tahun juga membantu kegiatan kami Rp 4 juta,” tuturnya.
Selain itu Kesemat pada akhir Februari 2009, juga menggulirkan program atau gerakan Penyelamatan Mangrove dengan jargon Ingatlah setiap satu ekor udang yang kita makan, bisa satu batang pohon mangrove lebih dikorbankan .
Menurut Arief, salah satu penyebab kegagalan penanaman hingga penyelamatan mangrove, akibat dari meledaknya budidaya udang di era 1980 an hingga menjelang akhir 1990, sehingga terjadi pembabatan hutan mangrove hingga pengusaan secara ilegal kawasan pantai
Sedang pemkab Jepara, menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jepara, Akid, sudah sejak lebih dari 7 tahun terakhir selalu memperoleh bantuan dana dari APBD dan APBN untuk penanaman mangrove. “Namun demikian terkendala banyak hal sehingga belum semua wilayah pantai sepanjang 72 kilometer tertanami mangrove. Lagi pula kondisi tanaman ini lebih dari 90 persen rusak berat,” tuturnya.
Kendala itu antara lain, lahan seputar pantai sudah bersertifikat, sehingga tidak memungkinkan untuk menciptakan jalur hijau hutan mangrove selebar 200 meter sesuai surat keputusan bersama Menteri pertanian dan Menteri Kehutanan.
Bahkan menurut Akid, juga terkait dengan kerusakan terumbu karang pada sebagian besar wilayah pesisir di Jepara dengan katagori sangat buruk. Lalu rusaknya padang lamun, terjadi abrasi di banyak titik hingga penurunan kualitas lingkungan perairan. “Selain menanam mangrove, kami juga pernah menggunakan beton bertulang, ban-ban bekas, hingga batang-batang pohon kelapa untuk menahan laju gelombang, tetapi untuk sementara ini tingkat keberhasilan samasekali tidak siginifikan,” tuturnya.
Abrasi terparah di Jepara, menimpa Desa Bulak Kecamatan Kedung yang terjadi secara bertahap dan puncaknya pada 11-13 Januari 1981. Akibatnya 25 rumah roboh, 100 rumah lainnya rusak, sehingga penduduk harus bedhol desa setelah ombak Laut Jawa memundurkan rumah mereka lebih dari satu kilometer.
Sedang di Kabupaten Pati menurut catatan Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) sampai dengan akhir 2007 belum memiliki tata ruang pantai, namun sudah mempunyai perangkat pengatur pantai sepanjang 60 kilometer, yaitu peraturan daerah (perda) nomor 4 /2003 tentang pengelolaan wilayah pesisi dan laut dan perda 19/1997 tentang garis sempadan dan perda nomor 4/2004 (khus usnya pasal 26 ayat I, tentang tanah timbul yang dikuasai negara)
Dengan demikian apabila kedua perda tersebut diterapkan secara konsisten , permasalahan pelestarian mangrove sudah bisa diatasi dan dilestarikan. Bahkan pihak Polres Pati telah membentuk foru m kemitraan polisi masyarakat, sebagai sarana membantu polisi dalam menyelesaikan kasus-kasus berskala ringan- seperti halnya menyangkut kasus di kawasan pesisir.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, maupun Dinas Kelautan dan Perikanan juga ikut aktif me mbantu pembibitan, pelatihan dan sebagainya yang menyangkut mangrove. Namun tetap saja hingga menjelang akhir Juli 2009, tingkat kerusakan (ketidak berhasilan) tanaman mangrove yang tersebar di Kecamatan Dukuhseti, Tayu, Margoyoso, Trangkil, Wedarijaksa, Juwana hingga Batangan masih cukup parah.
Di Kabupaten Demak yang memiliki garis pantai sepanjang 34,1 kilometer, yaitu dari wilayah Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang hingga Wedung, kondisi tanaman mangrove maupun tingkat abrasi justru semakin parah. Terutama di Kecamatan Sayung.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jragung Tuntang (Jratun), Jajat Jatniko Holil , dalam semiloka lingkungan hidup di Pati (21 November 2007), penyebaran ekosistem mangrove mencapai 50.690 hek tar dan hutan pantai 26.638 hektar. Tersebar sepanjang 484 kilometer di 13 kabupaten kota, yaitu sejak dari Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Batang, Kendal, Kota Semarang, Demak, Jepara (termasuk Karimunjawa), Pati dan Rembang.
Tanaman mangrove yang rusak berat mencapai 249,8 hektar dan terluas di Kendal (668 hektar) dan luas abrasi tercatat 2.910 hektar, dengan daerah terparah di Demak (145 hektar).
Kompas.Com Juli 2009
1 komentar:
semoga ada penanganan yang serius..
Posting Komentar