19 Maret, 2009

MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA

Oleh Abdul Halim, Peneliti Muda Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jakarta


Mukadimah
Semasa rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), agenda reforma agraria ditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnya sebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu, partisipasi rakyat dipinggirkan. Tak ada akses untuk sekadar memperpanjang nafas hidup. Singkatnya, rakyat dipaksa mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ironisnya, paksaan ini menempatkan rakyat harus berhadapan dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal yang menghalalkan pelbagai cara untuk merengkuh tujuannya. 

Pada pembuka tahun 2007, tersiar dua kabar penting menyangkut kebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan dicetuskannya rencana pelaksanaan reforma agraria pada pidato awal tahun 2007 oleh Presiden RI.

Tak pelak, dua kabar gembira ini memberi angin segar bagi perwujudan cita-cita bangsa, yakni mengejawantahkan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan berkeadaban. Bagi rakyat, tanah dan sumberdaya alam lainnya merupakan faktor kehidupan yang teramat penting. Tak hanya sebagai ruang produksi, tanah dan sumberdaya alam lainnya juga mengandung makna politik, sosial, budaya, dan religius. Dalam ruang itulah, mereka menambatkan cita-cita kehidupannya dan sebisa mungkin memberi sumbangsih bagi kemajuan negeri. 

Tulisan ini hendak memotret relevansi reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan, memberi catatan kritis atas kesalahan rezim di masa lampau dan masa kini terkait agenda reforma agraria, dan usulan solusi yang bisa diacu sebagai panduan pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan. 

Relevansi reforma agraria
  Pelaksanaan reforma agraria merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang telah lama dikumandangkan sejak awal pendirian bangsa. Sebagaimana diamanahkan oleh Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960:

"Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu. Jangan mengira 'land-reform' yang kita hendak laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan" .
   
  Apa yang disampaikan oleh Soekarno merupakan perpanjangan dari ide dasar pelaksanaan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria. Perwujudan keadilan agraria ini ditopang oleh 3 (tiga) prinsip pokok, yakni (1) hak rakyat untuk berkembang dan menentukan arah perkembangannya; (2) hukum agraria bersifat kerakyatan dan memihak kaum marginal; dan (3) hukum agraria menganut asas kebangsaan dengan menghormati keragaman budaya yang termuat dalam hukum-hukum adat. Ketiga prinsip inilah yang menjadi pedoman relevansi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

  Ditambah lagi, Deklarasi Djoeanda 1957 tegas menyebutkan bahwa "pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau". Pun dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa "sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat". 

Potret krisis kelautan

  Diterbitkannya UU No. 27 Tahun 2007 oleh DPR RI ini tak hanya bertolak-belakang dengan rencana pelaksanaan reforma agraria, tetapi juga mengulang kesalahan fatal rezim Orde Baru. Bentuk kesalahan itu adalah pemberian izin kepada pemodal untuk mengeruk-habis sumberdaya laut dan pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dengan meminggirkan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

  Belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, kesalahan fatal dalam kebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria terpola dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: (1) kebijakan sarat eksploitasi dan (2) kebijakan bersifat sektoral dalam penguasaan, penggunaan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya guna mengejar efisiensi ekonomi; (3) kerap memakai pendekatan top-down dan sentralistik; (4) sarat konflik kepentingan antara institusi dan pemodal; (5) prinsip diskriminasi lebih mengedepan; dan (6) menyulut aparatur negara berlaku represif dan melanggar HAM.

  Pelanggaran HAM terkait reforma agraria tak hanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, melainkan juga telah menyub-ordinasi manusia (baca: rakyat) tak lebih sebagai obyek pembangunan. Proses dehumanisasi ini berkait-kelindan dengan minusnya visi pembangunan bangsa Indonesia yang berjangkar pada kodratnya, yakni negeri kepulauan. Alhasil, orientasi pembangunannya berjalan melambat dan amburadul.  

  Masyhur sebagai negeri kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8 juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2, dan memiliki 17.508 pulau besar dan kecil, serta panjang pantai seluas 81.000 km2, Indonesia dihadapkan pada tiadanya visi kelautan yang menjadi rujukan pokok pembangunan. Terlebih, pembangunan yang berlangsung hingga detik ini terlampau berwatak daratan (land-based) . 

  Dari deskripsi di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan tak bisa dilepaskan dari tiga aspek pokok pembangunan. Pertama, aspek politik. Dalam lanskap politik, hak konstitusi yang mesti diberikan adalah perluasan partisipasi aktif masyarakat dalam merumuskan kebijakan di tingkat lokal, khususnya menyangkut rencana pelaksanaan reforma agraria. Dengan perkataan lain, kebijakan yang dilahirkan bukan didasarkan pada semangat sentralistik, melainkan desentralistik.

Kedua, aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diberikan hak untuk mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan dasar dan kearifan lokal yang mereka hayati, bukan dikte pemerintah pusat. 

Dengan demikian, rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhitungkan keberadaan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek pembangunan, bukan malah meniadakan hak-hak konstitusi mendasar yang semestinya harus dipenuhi oleh negara (baca: pemerintah), seperti tecermin pada substansi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta PerMen No.. 06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. 

Penutup
  Dengan memperhatikan karakteristik negara kepulauan, reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat visi pembangunan yang sekadar memandang laut sebagai "lahan buangan," bukan sebagai ruang hidup dan ruang juang segenap anak bangsa.  

  Tumpulnya visi pembangunan kelautan berdampak pada: (a) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya; (b) penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kian jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan budaya bangsa Indonesia; serta (d) kerusakan lingkungan hidup dan hancurnya sumber-sumber daya alam lainnya.

  Tak ayal, pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan haruslah memperhatikan karakteristik wilayah dan pelbagai dimensi kehidupan yang mengitari keseharian nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. 

  Terlebih konsepsi sebagai negeri kepulauan telah mengakar dan bersifat final. Salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahari yang melekat pada jati diri dan sistem sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia. Di pelbagai kepustakaan, kita mengenal ponggawa laut1 (Sulawesi Selatan), bapongka2 (Sulawesi Tengah), dan sasi3 (Maluku Tengah) sebagai bentuk-bentuk kearifan tradisional yang arif terhadap sumber daya laut dan perikanan nasional. Pun terhadap keberlanjutan ekologis. Pada konteks ini, ada keterkaitan relasi sosio-ekologis antara manusia dan sumber daya laut dan perikanan.

  Akhirnya, dukungan Indonesia atas United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tanggal 13 September 2007 lalu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia, termasuk di dalamnya nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mengacu pada sumber historis ini, selaiknya rencana pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan mengikutsertakan kearifan tradisional yang telah berurat-akar dan menyatu dalam jati diri Keindonesiaan, bukan malah meminggirkan masyarakat adat melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan pelegalan kembali trawl..
  Saatnya Indonesia melaut!  


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dear Bapak Mukhtar,

Mungkin Anda membutuhkan buku-buku untuk refrensi Anda

Jika berminat, silahkan kunjungi www.tarasinta.com

regards,
tara