Hanya sekitar 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih dalam keadaan sangat baik. Berbagai upaya pun digalakkan untuk memulihkan terumbu karang. Kita sadar, terumbu karang yang sehat akan mampu membuat kehidupan warga pesisir makmur. Begitu juga sebaliknya, terumbu karang yang sakit mencerminkan kemiskinan warga.
Malang benar nasib terumbu karang di Indonesia. Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tahun 2000 kondisi terumbu karang Indonesia tidaklah sehat. Betapa tidak, sekitar 41,78 % terumbu karang dalam keadaan rusak dan sekitar 28,30 % dalam keadaan sedang. Sebaliknya, terumbu karang dalam kondisi baik mencapai 23,72 %. Sedangkan dalam keadaan sangat baik hanya 6,20 %. Keadaan tersebut tentu saja sangat memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati terumbu karang di dunia. Artinya sekitar 75 % jenis karang dunia ada di perairan Indonesia.
Ada dua faktor yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang; faktor alam dan manusia. Kerusakan akibat faktor alam bisa terjadi dengan adanya bencana alam seperti gempa, tsunami, dan pemanasan global.
Ancaman Terbesar
Ketika gempa dan tsunami melanda perairan barat Sumatera akhir 2004 lalu tak terkira kerusakan parah yang menimpa ekosistem terumbu karang di perairan tersebut. Namun patut dicermati bahwa ancaman terbesar kerusakan terumbu karang justru datang dari aktivitas manusia. “Intensitas terjadinya sangat tinggi dibandingkan faktor alam,” ujar B. Sadarun, Spi, MSi, Asisten Direktur Penyadaran Masyarakat dan Penyuluhan Coremap II. Pasalnya, kecenderungan nelayan tradisional di Indonesia untuk menggunakan bom ikan maupun potasium dalam menangkap ikan masih tinggi. Apalagi, penggunaan trawl sebagai alat tangkap pada kapal-kapal ikan modern pun masih marak.
Penggunaan alat-alat tersebut di atas bukan saja merusak terumbu karang tapi juga akan mengakibatkan ikan semakin sulit dicari. Bukan apa-apa, dengan menggunakan bom ikan, potasium, maupun jaring trawl bukan saja ikan besar yang tertangkap tapi juga anakan ikan yang sedianya menjadi benih dan bibit yang menyokong kelangsungan stok ikan di suatu wilayah.
“Wajar jika selanjutnya banyak nelayan yang merasa daerah tangkapan mereka semakin jauh saja,” kata Sadarun. Ini tentunya menjadi harga mahal yang harus mereka bayar. Sebab, semakin jauh daerah tangkapan maka akan semakin tinggi pula biaya melaut yang dibutuhkan.
Hal inilah yang dirasakan oleh Burani dan rekan-rekannya sesama nelayan dari Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Ia mengaku, bukan saja daerah tangkapan semakin jauh tapi hasilnya pun semakin menyusut. Maklum, mereka termasuk salah satu kelompok nelayan tradisional yang aktif menggunakan bom ikan dan racun potasium dalam menangkap ikan di laut. “Bisa dikatakan hampir semua nelayan tradisional di Desa Sepempang mengebom dan membius ikan,” kata Burani.
Adalah masuk akal jika Coremap tahap II dilaksanakan di Kabupaten Natuna. Ketika program ini digelar sejak penghujung akhir 2004, program ini mampu mengubah perilaku nelayan dan masyarakat pesisir di kabupaten tersebut.
Secara kelembagaan misalnya, telah terbentuk sekitar 9 desa percontohan dari penjabaran Coremap II di Natuna. Di antaranya di Desa Sepempang, Sabang Mawang, Pulau Tiga, Cemaga, Sededap, Tanjung, Pengadah, Kelanga, dan Kelarik Utara. “Di setiap desa tersebut telah terbentuklah Lembaga Pelestarian Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK),” jelas Drs. H. Izwar Asfawi, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Natuna sekaligus Ketua Project Implementation Unit (PIU) Coremap II untuk wilayah Kabupaten Natuna.
Membekuk Pengebom Ikan
Dalam lembaga yang lebih mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatannya ini terdiri dari beberapa Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Kelompok Pengawasan berbasis Masyarakat (Pokwasmas). “Untuk periode kegiatan pengawasan kita anjurkan empat kali dalam sebulan di masing-masing desa,” kata Buyung Priyadi S.Pi, Koordinator Monitoring dan Controlling System (MCS) Coremap II Kabupaten Natuna.
Sejak tahun 2006, Pokwasmas Desa Sepempang telah berhasil membekuk beberapa pelaku pengeboman dan pembiusan ikan. “Ternyata, mereka berasal dari luar Desa Sepempang,” kata Burani yang juga menjabat sebagai Ketua LPSTK Desa Sepempang.
Hal serupa juga dilakukan oleh Pokwasmas Desa Cemaga. “Kami bahkan tak segan-segan membakar perahu yang tertangkap,” tegas Zaidah, Ketua LPSTK Desa Cemaga. Hal ini, menurutnya, untuk memberikan efek jera.
Lokasi pengawasan Pokwasmas-Pokwasmas tersebut adalah perairan-perairan yang sudah ditetapkan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL) di masing-masing desa. Setiap DPL terbagi menjadi dua zona, yakni zona inti dan penyangga. “Zona inti merupakan zona terlarang bagi setiap kegiatan penangkapan karena berfungsi sebagai zona pelestarian,” jelas Buyung.
Sementara itu, zona penyangga adalah kawasan yang difungsikan sebagai daerah penangkapan ikan. “Namun alat tangkapnya haruslah ramah lingkungan,” kata Buyung. DPL yang dimiliki oleh setiap desa tersebut selanjutnya dirangkai menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang kewenangannya berada di tingkat kabupaten. Di Natuna, KKLD tersebut terdiri dari 3 kawasan.
Kawasan I dengan luas 57.572 ha meliputi Kawasan Pulau Tiga - Sedanau dan laut di sekitarnya yang diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan. Kawasan II seluas 52.415 ha meliputi Kawasan Bunguran Utara dan laut di sekitarnya yang diprioritaskan untuk suaka perikanan.
Kawasan III dengan luas 35.990 ha meliputi Kawasan Pesisir Timur Bunguran dan laut di sekitarnya. Kawasan ini diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari.
Menyejahterakan Masyarakat
Selain menekankan pada perubahan perilaku masyarakat, Coremap juga memiliki muatan untuk menyejahterakan ekonomi masyarakat. “Salah satunya dengan program Mata Pencaharian Alternatif (MPA),” kata Eldy Syahputra S.Pi, Koordinator Community Base Management (CBM) Coremap II Kabupaten Natuna. Program ini terbagi menjadi kegiatan industri rumah tangga skala kecil dan kegiatan budidaya rumah tangga. Contoh, kelompok ibu rumah tangga di Desa Sepempang dan Desa Cemaga sudah bisa memproduksi krupuk ikan dan teri nasi.
Sedangkan kegiatan budidaya yang diberikan berupa budidaya ikan kerapu dengan sistem Keramba Jaring Tancap (KJT). “Kegiatan ini sudah berjalan sejak tahun 2006 dan sudah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun keterampilan,” kata Ir. Zuriati, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Coremap II Kabupetan Natuna.
Lalu bagaimana jika pelaksanaan Coremap II ini berakhir? “Kami akan tetap melaksanakan dan mengadopsi program-program yang sudah diberikan oleh Coremap,” kata Drs. Izwar Asfawi, Kadiskanla Natuna. Artinya, akan ada penguatan baik di segi kelembagaan maupun masyarakatnya.
Kesadaran masyarakat untuk memberikan apresiasi terhadap terumbu karang yang mulai meningkat tersebut, menurut Izwar, menjadi modal bagi pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat pesisir di Natuna. “Kita percaya jika terumbu karang lestari maka ikan melimpah dan kesejahteraan nelayan serta masyarakat pesisir yang menggantungkan mata pencahariannya dari melaut akan semakin makmur,” ujarnya Izwar. w.rahardjo.
Sumber : www.majalahsamudra. co.cc
Malang benar nasib terumbu karang di Indonesia. Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tahun 2000 kondisi terumbu karang Indonesia tidaklah sehat. Betapa tidak, sekitar 41,78 % terumbu karang dalam keadaan rusak dan sekitar 28,30 % dalam keadaan sedang. Sebaliknya, terumbu karang dalam kondisi baik mencapai 23,72 %. Sedangkan dalam keadaan sangat baik hanya 6,20 %. Keadaan tersebut tentu saja sangat memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati terumbu karang di dunia. Artinya sekitar 75 % jenis karang dunia ada di perairan Indonesia.
Ada dua faktor yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang; faktor alam dan manusia. Kerusakan akibat faktor alam bisa terjadi dengan adanya bencana alam seperti gempa, tsunami, dan pemanasan global.
Ancaman Terbesar
Ketika gempa dan tsunami melanda perairan barat Sumatera akhir 2004 lalu tak terkira kerusakan parah yang menimpa ekosistem terumbu karang di perairan tersebut. Namun patut dicermati bahwa ancaman terbesar kerusakan terumbu karang justru datang dari aktivitas manusia. “Intensitas terjadinya sangat tinggi dibandingkan faktor alam,” ujar B. Sadarun, Spi, MSi, Asisten Direktur Penyadaran Masyarakat dan Penyuluhan Coremap II. Pasalnya, kecenderungan nelayan tradisional di Indonesia untuk menggunakan bom ikan maupun potasium dalam menangkap ikan masih tinggi. Apalagi, penggunaan trawl sebagai alat tangkap pada kapal-kapal ikan modern pun masih marak.
Penggunaan alat-alat tersebut di atas bukan saja merusak terumbu karang tapi juga akan mengakibatkan ikan semakin sulit dicari. Bukan apa-apa, dengan menggunakan bom ikan, potasium, maupun jaring trawl bukan saja ikan besar yang tertangkap tapi juga anakan ikan yang sedianya menjadi benih dan bibit yang menyokong kelangsungan stok ikan di suatu wilayah.
“Wajar jika selanjutnya banyak nelayan yang merasa daerah tangkapan mereka semakin jauh saja,” kata Sadarun. Ini tentunya menjadi harga mahal yang harus mereka bayar. Sebab, semakin jauh daerah tangkapan maka akan semakin tinggi pula biaya melaut yang dibutuhkan.
Hal inilah yang dirasakan oleh Burani dan rekan-rekannya sesama nelayan dari Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Ia mengaku, bukan saja daerah tangkapan semakin jauh tapi hasilnya pun semakin menyusut. Maklum, mereka termasuk salah satu kelompok nelayan tradisional yang aktif menggunakan bom ikan dan racun potasium dalam menangkap ikan di laut. “Bisa dikatakan hampir semua nelayan tradisional di Desa Sepempang mengebom dan membius ikan,” kata Burani.
Adalah masuk akal jika Coremap tahap II dilaksanakan di Kabupaten Natuna. Ketika program ini digelar sejak penghujung akhir 2004, program ini mampu mengubah perilaku nelayan dan masyarakat pesisir di kabupaten tersebut.
Secara kelembagaan misalnya, telah terbentuk sekitar 9 desa percontohan dari penjabaran Coremap II di Natuna. Di antaranya di Desa Sepempang, Sabang Mawang, Pulau Tiga, Cemaga, Sededap, Tanjung, Pengadah, Kelanga, dan Kelarik Utara. “Di setiap desa tersebut telah terbentuklah Lembaga Pelestarian Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK),” jelas Drs. H. Izwar Asfawi, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Natuna sekaligus Ketua Project Implementation Unit (PIU) Coremap II untuk wilayah Kabupaten Natuna.
Membekuk Pengebom Ikan
Dalam lembaga yang lebih mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatannya ini terdiri dari beberapa Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Kelompok Pengawasan berbasis Masyarakat (Pokwasmas). “Untuk periode kegiatan pengawasan kita anjurkan empat kali dalam sebulan di masing-masing desa,” kata Buyung Priyadi S.Pi, Koordinator Monitoring dan Controlling System (MCS) Coremap II Kabupaten Natuna.
Sejak tahun 2006, Pokwasmas Desa Sepempang telah berhasil membekuk beberapa pelaku pengeboman dan pembiusan ikan. “Ternyata, mereka berasal dari luar Desa Sepempang,” kata Burani yang juga menjabat sebagai Ketua LPSTK Desa Sepempang.
Hal serupa juga dilakukan oleh Pokwasmas Desa Cemaga. “Kami bahkan tak segan-segan membakar perahu yang tertangkap,” tegas Zaidah, Ketua LPSTK Desa Cemaga. Hal ini, menurutnya, untuk memberikan efek jera.
Lokasi pengawasan Pokwasmas-Pokwasmas tersebut adalah perairan-perairan yang sudah ditetapkan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL) di masing-masing desa. Setiap DPL terbagi menjadi dua zona, yakni zona inti dan penyangga. “Zona inti merupakan zona terlarang bagi setiap kegiatan penangkapan karena berfungsi sebagai zona pelestarian,” jelas Buyung.
Sementara itu, zona penyangga adalah kawasan yang difungsikan sebagai daerah penangkapan ikan. “Namun alat tangkapnya haruslah ramah lingkungan,” kata Buyung. DPL yang dimiliki oleh setiap desa tersebut selanjutnya dirangkai menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang kewenangannya berada di tingkat kabupaten. Di Natuna, KKLD tersebut terdiri dari 3 kawasan.
Kawasan I dengan luas 57.572 ha meliputi Kawasan Pulau Tiga - Sedanau dan laut di sekitarnya yang diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan. Kawasan II seluas 52.415 ha meliputi Kawasan Bunguran Utara dan laut di sekitarnya yang diprioritaskan untuk suaka perikanan.
Kawasan III dengan luas 35.990 ha meliputi Kawasan Pesisir Timur Bunguran dan laut di sekitarnya. Kawasan ini diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari.
Menyejahterakan Masyarakat
Selain menekankan pada perubahan perilaku masyarakat, Coremap juga memiliki muatan untuk menyejahterakan ekonomi masyarakat. “Salah satunya dengan program Mata Pencaharian Alternatif (MPA),” kata Eldy Syahputra S.Pi, Koordinator Community Base Management (CBM) Coremap II Kabupaten Natuna. Program ini terbagi menjadi kegiatan industri rumah tangga skala kecil dan kegiatan budidaya rumah tangga. Contoh, kelompok ibu rumah tangga di Desa Sepempang dan Desa Cemaga sudah bisa memproduksi krupuk ikan dan teri nasi.
Sedangkan kegiatan budidaya yang diberikan berupa budidaya ikan kerapu dengan sistem Keramba Jaring Tancap (KJT). “Kegiatan ini sudah berjalan sejak tahun 2006 dan sudah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun keterampilan,” kata Ir. Zuriati, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Coremap II Kabupetan Natuna.
Lalu bagaimana jika pelaksanaan Coremap II ini berakhir? “Kami akan tetap melaksanakan dan mengadopsi program-program yang sudah diberikan oleh Coremap,” kata Drs. Izwar Asfawi, Kadiskanla Natuna. Artinya, akan ada penguatan baik di segi kelembagaan maupun masyarakatnya.
Kesadaran masyarakat untuk memberikan apresiasi terhadap terumbu karang yang mulai meningkat tersebut, menurut Izwar, menjadi modal bagi pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat pesisir di Natuna. “Kita percaya jika terumbu karang lestari maka ikan melimpah dan kesejahteraan nelayan serta masyarakat pesisir yang menggantungkan mata pencahariannya dari melaut akan semakin makmur,” ujarnya Izwar. w.rahardjo.
Sumber : www.majalahsamudra. co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar