16 Januari, 2009

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir Rawan Konflik

Oleh: M. Riza Damanik

Kontroversi terkait Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) kembali menjadi perdebatan nasional dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Pada posisinya, pemerintah berargumentasi untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha; dengan harapan dapat mendatangkan pendapatan bagi negara dari kegiatan yang berlangsung di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sedangkan kelompok masyarakat sipil memandang bahwa pelajaran buruk sekaligus berharga dari kebijakan pengelolaan sektor keruk seperti hutan dan tambang, tidak boleh terulang kembali dalam pengelolaan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil Indonesia. Dikeluarkannya UU PWP-PPK yang didahului dengan Undang-undang Penanaman Modal (UU PM) seolah menjadi paket ”jual murah” perairan pesisir kepada pemodal, termasuk asing.

Tentu kekhawatiran publik tidaklah berlebihan, jika Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dipromosikan dalam UU PWP-PPK dapat dicermati secara seksama. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19).

Perlu Dikaji Kembali

Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini merupakan kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu dikaji kembali dalam pemberian hak tersebut.

Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh dan Jogjakarta, bencana banjir dan abrasi hampir di seluruh desa-desa pesisir, serta gelombang tinggi yang akhir-akhir ini semakin kerap melanda perairan Indonesia. Semua memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana.

Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya UU ini mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan berlandaskan pada pemenuhan hak konstitusi setiap warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan menjadi kontra produktif dengan semangat negara dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat.

Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencana kepada pelaku usaha—dalam luasan dan waktu tertentu—justru akan membatasi peran pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminan dari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, seperti yang kerap terjadi pada sektor ekstraktif lainnya, seperti pertambangan dan kehutanan.

Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih relatif rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional untuk turut mendapatkan sertifikat HP-3 seperti yang diharapkan UU.

Budaya birokrasi yang rumit dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan mendominasi. Hal ini sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal untuk memenuhi kebutuhan administrasi, serta teknis dan operasional yang diisyaratkan UU, sebagai pra-syarat untuk mendapatkan sertifikat HP-3.

Intensitas Konflik Meningkat

Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan debat mengenai hak kepemilikan (property rights) mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung di antaranya disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya open-access, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.

Keberadaan HP-3 di sela-sela mekanisme pengelolaan yang masih bernuansa sektoral, upaya desentralisasi, industrialisasi, serta diperhadapkan pada kebutuhan atas pengakuan eksistensi pengelolaan masyarakat, justru akan menjadi stimulus dalam meningkatnya intensitas konflik terkait hak kepemilikan. Apalagi dengan keistimewaan yang dimiliki oleh sertifikat HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank (Pasal 20).

Dengan demikian, sepatutnyalah pemerintah kembali melihat realitas sosial masyarakat di kepulauan Indonesia. Jika benar semangat Undang-Undang tersebut untuk melindungi dan menjamin keberlangsungan hidup dan penghidupan rakyat (baca: nelayan tradisional) , sungguh tidak pantas kiranya untuk membuka ruang kompetisi atas pengusahaan wilayah perairan pesisir kepada private sector, apalagi objek yang dikompetisikan terbukti merupakan ruang hidup dan penghidupan rakyat dalam kurun waktu yang cukup lama.

Keberadaan HP-3 yang lebih besar mudharat-nya dari manfaat sewajarnya dikaji kembali. Dengan begini, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak tercatat pada tapal sejarah kehancuran perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia, di Pemilu mendatang.

Penulis adalah Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Tidak ada komentar: