05 Januari, 2018

Problem Perikanan di Tengah Keterbatasan Anggaran



Problem Perikanan di Tengah Keterbatasan Anggaran
Bisnis UKM
Ilustrasi Perikanan

Catatan Akhir Tahun ANTARA
Ucapan Presiden Joko Widodo bahwa bangsa ini sudah "terlalu lama memunggungi laut" kerap didengung-dengungkan oleh berbagai pejabat, terutama terkait dengan upaya mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Namun, guna mewujudkan visi tersebut memang dibututhkan banyak kerja keras, misalnya dalam membangun infrastruktur kelautan dan perikanan yang memadai di berbagai daerah.

Untuk itu, tidak heran bila sejumlah pihak seperti lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memperkuat pembangunan infrastruktur dalam membangun sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di berbagai daerah.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengemukakan, Program SKPT patut diberikan catatan sebab merupakan salah satu terjemahan Nawacita yaitu membangun dari pinggiran, membangun pulau-pulau kecil terluar yang selama ini terabaikan.

Menurut Abdi, bentuk perhatian yang lebih tersebut dapat dilakukan antara lain berupa penambahan alokasi anggaran dan perbaikan kualitas program sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2018.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa dengan penurunan alokasi anggaran KKP sebesar 20,26 persen dalam APBN 2018 dari Rp9,13 triliun menjadi Rp7,28 triliun, juga patut dipertanyakan kemampuan perencanaan program dan kegiatan KKP dalam memformulasikan kebutuhan pembangunan kelautan dan perikanan secara lebih terukur.

Untuk itu, Abdi mengatakan, KKP mesti meningkatkan investasi sektor kelautan dan perikanan, pengurangan kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir serta mengimplementasikan industrialisasi perikanan berkualitas pada 2018.

Ia mengemukakan bahwa menjadi ironi ketika momentum pembangunan kelautan dan perikanan membutuhkan banyak investasi untuk membangun infrastruktur seperti kapal ikan berukuruan besar, pengadaan keramba jaring apung 'off shore' untuk peningkatan produksi budi daya dan percepatan pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu, serta pelabuhan perikanan yang mendukung industrialisasi, tapi di sisi lain alokasi belanja pemerintah untuk sektor ini justru menurun drastis.

Selain itu, Abdi juga menginginkan KKP perlu mencari alternatif pendanaan untuk beragam program sektor kelautan dan perikanan, mengingat telah dipotongnya alokasi anggaran tahun 2018 untuk kementerian tersebut.

Selain DFW, organisasi seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) juga menginginkan berbagai program strategis yang dimiliki dalam rencana kerja pemerintah harus mendukung pengembangan industrialisasi perikanan di Tanah Air.

Ketua Harian KNTI Marthin Hadiwinata menilai RKP (Rencana Kerja Pemerintah) untuk tahun 2018, tidak menapaki jalan menuju Industrialisasi Perikanan Indonesia.

Padahal, Marthin mengingatkan Peta Jalan Industrialisasi Perikanan telah dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden No.7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Marthin menambahkan beberapa program strategis untuk membangun industri perikanan seperti revitalisasi galangan kapal nasional, dan upaya pemberdayaan koperasi nelayan tidak diusulkan pemerintah dalam RKP 2018.

Pengelolaan anggaran Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan pengelolaan anggaran yang dilakukan dalam melaksanakan program sektor kelautan dan perikanan dapat digunakan seefektif mungkin karena hal itu adalah uang rakyat.

"Saya ingin betul-betul melaksanakan anggaran seefisien dan seefektif mungkin, bukan untuk habis uangnya," kata Menteri Susi dalam acara Sosialisasi Program KKP 2018 kepada Penyedia Barang dan Jasa Bidang Kelautan dan Perikanan di kantor KKP, Jakarta, Selasa (12/12).

Menurut dia, masih banyak praktik-praktik yang sebenarnya dapat dihilangkan untuk mengefesienkan dan mengefektifkan anggaran, seperti masih besarnya pembayaran untuk para konsultan.

Bila efisiensi anggaran dilakukan, lanjutnya, maka anggaran bisa mengurangi hal-hal yang tidak penting serta menambah barang dan fasilitas infrastruktur yang dapat diberikan kepada masyarakat.

Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa yang diinginkan adalah paradigma atau cara pikir yang profesional dan respek kepada uang rakyat.

Sekjen KKP Rifky Effendi Hardjianto mengatakan, pihaknya juga bakal mempercepat proses pengadaan barang dan jasa terkait berbagai program yang akan dilaksanakan di sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2018.

Menurut Rifky, pihaknya bakal menggelar kompetisi yang adil dalam pengadaan barang dan jasa, serta bakal mengundang berbagai pelaku usaha sektor swasta sehingga semuanya akan berlangsung secara terbuka.

Hal tersebut, lanjutnya, karena anggaran yang bakal digelontorkan KKP akan banyak yang digunakan untuk program padat karya agar dana APBN bisa bermanfaat bagi rakyat banyak.

Sebelumnya, Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto menyatakan, fokus alokasi anggaran yang ditetapkan KKP konsisten agar dapat secara langsung dirasakan warga.

Menurut Slamet, dari anggaran yang ada sebagian besar untuk dukungan langsung kepada masayarakat pembudidaya ikan melalui program prioritas yang bertujuan mengembangkan kapasitas usaha warga.

Bentuk dukungan tersebut, lanjutnya, antara lain baik berupa fasilitasi kemudahan akses maupun bentuk dukungan langsung berupa input produksi.

Ia juga memastikan bahwa dukungan seperti sarana produksi budi daya dan pakan mandiri telah melalui tahapan kajian yang berbasis pada penilaian kebutuhan di tingkat masyarakat. Bukan hanya bantuan langsung, KKP juga memberikan berbagai fasilitas untuk memudahkan akses terhadap pembiayaan dan perlindungan usaha.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menegaskan, KKP perlu menambah kemudahan fasilitas pengusaha kecil dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan menengah dari sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.

Menurut dia, kondisi yang ada saat ini tidak menambah kemudahan fasilitasi bagi pengusaha kecil di sektor perikanan antara lain karena pelbagai larangan yang tidak dijembatani dengan baik oleh program transisi yang memadai.

Abdul Halim berpendapat, fasilitas yang paling dibutuhkan pelaku usaha kecil sektor perikanan khususnya nelayan pada saat ini adalah kemudahan memperoleh perizinan melaut dan birokrasi yang tidak bertele-tele.

Kinerja penyerapan Abdul Halim juga menyatakan agar KKP masih perlu memperbaiki kinerjanya terutama dalam penyerapan anggaran dan penerapan program untuk nelayan, mulai dari perencanaan, penganggaran hingga implementasinya.

Menurut dia, amburadulnya proyek pengadaan kapal ikan bagi nelayan sebagaimana juga ditemukan oleh BPK, menunjukkan bahwa kinerja KKP yang kurang sejak perumusan program hingga validasi data penerima.

Ia menyoroti pula permasalahan dalam program bantuan kapal juga dalam penentuan spesifikasi kapal.

Sedangkan terkait pelaksanaan mandat UU Nomor 7 tahun 2016, hanya aturan pelaksana terkait penyelenggaraan asuransi yang dituntaskan sebagiannya.

"Ironisnya, penyaluran asuransi nelayan tidak terlaksana 100 persen. Padahal, mandat UU ini sudah diberlakukan sejak 1,5 tahun yang lalu," paparnya.

Abdul Halim juga menyoroti KKP yang lamban mendorong pemda-pemda menyelesaian pembahasan dan pengesahan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Terkait dengan nelayan dan zonasi pesisir, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menegaskan agar berbagai pihak terkait dapat benar-benar menghentikan praktik perampasan ruang laut dan pesisir yang mengakibatkan hilang kesempatan melaut bagi nelayan.

Sekjen Kiara Susan Herawati menegaskan, praktik-praktik perampasan ruang laut dan pesisir terjadi pada hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi, Kiara mencatat setidaknya terdapat 37 proyek reklamasi di seluruh Indonesia dan pertambangan.

Menurut dia, tidak hanya reklamasi praktik perampasan ruang-ruang penghidupan nelayan oleh pemerintah dan investor dengan mengatasnamakan pembangunan pariwisata menjadi praktik yang dapat ditemui hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam, sudah seharusnya negara hadir dalam melindungi hak-hak mendasar dari nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam Indonesia.

Selain itu, ujar dia, nelayan di berbagai daerah memerlukan jaminan bantuan dan perlindungan yang pasti dari pemerintah guna mengatasi dampak perubahan iklim.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan mendorong pemerintah dapat terus meningkatkan produksi budi daya komoditas perikanan sehingga sektor tersebut tidak terlalu bergantung pada perikanan yang ditangkap di lautan, karena potensi perikanan budidaya berkali-kali lipat dibandingkan perikanan tangkap.

Selain persoalan pengelolaan anggaran hingga produksi perikanan, KKP juga dinilai perlu meningkatkan kinerja ekspor sektor perikanan dengan cara mengatasi beragam hambatan dalam aktivitas produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang berorientasi ekspor.

Koordinator Nasional LSM Destructive Fishing Watch, Moh Abdi Suhufan menegaskan, KKP mesti menjaga momentum meningkatnya stok ikan di laut Indonesia agar sejalan dengan peningkatan nilai ekspor sembari mendorong perekonomian domestik.

Untuk itu, ujar dia, KKP perlu menelusuri hal ini dengan membuat peta masalah dan solusi agar peluang peningkatan ekspor bisa segera dipenuhi oleh pelaku perikanan dalam negeri.

Di tengah keberhasilan KKP dalam memberantas pencurian ikan di perairan nusantara, sebenarnya masih banyak problematika yang perlu disorot dan dituntaskan agar dapat mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

https://www.alagraph.com/berita/detail/problem-perikanan-di-tengah-keterbatasan-anggaran

Tidak ada komentar: