Tanggal 1 Januari 2018 akan menjadi momen istimewa bagi pelaku usaha
perikanan tangkap dan juga Pemerintah Indonesia. Di tanggal tersebut,
larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan akan resmi mulai
diberlakukan. Pelarangan tersebut, mundur dua tahun dari rencana awal
setelah diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015
tentang Pelarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Trawl dan Seine Nets
.
Salah satu alat penangkapan ikan (API) yang tidak boleh digunakan
lagi pada 2018, adalah cantrang. Alat tangkap tersebut masuk kategori
tidak ramah lingkungan. Oleh KKP, cantrang dan API tidak ramah
lingkungan lain diberikan waktu transisi hingga 31 Desember 2017.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi
di Jakarta, mengatakan, pemberlakuan larangan API tidak ramah
lingkungan, hingga saat ini masih mendapat penolakan. Tetapi, selain
yang menolak, masih ada juga yang setuju untuk menghentikan penggunaan
API tidak ramah lingkungan dalam aktivitas penangkapan ikan di
Indonesia.
“Kita harus terus berlanjut. 1 Januari 2018 adalah momen untuk kita
semua. Jadi, walau ada yang menentang, kita akan tetap berlakukan. Kita
sudah dua tahun melakukan sosialisasi dan masa transisi kepada pengguna
API tidak ramah lingkungan,” jelasnya pada pekan lalu di Jakarta.
Dengan diberlakukannya Permen KP No.2/2015, Rifky menyebut, seluruh
nelayan dan pemilik kapal harus patuh dan tunduk untuk menggunakan API
ramah lingkungan. Jika setelah diberlakukan nanti ternyata masih ada
yang melanggar, maka bisa dipastikan tindakan hukum akan dikenakan
kepada para pelanggar tersebut.
“Cantrang selesai sudah (polemik pelarangannya), tidak perlu dibahas
lagi. Pada 1 Januari 2018 pelarangannya diterapkan, jadi artinya
cantrang tidak boleh beroperasi di Indonesia. Kalau ada yang menolak
(pelarangan), ya silakan saja. Tapi aturan akan tetap dilaksanakan,”
ujar dia.
Rifky mengatakan, meski pelarangan akan resmi berlaku per 1 Januari
2018, namun dia tidak membantah masih ada nelayan atau pemilik kapal
yang belum mendapatkan bantuan API pengganti yang ramah lingkungan.
Kasus seperti itu, akan diselesaikan secara bertahap dan diharapkan
tuntas secepat mungkin.
Pengakuan hampir sama diungkapkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Pemprov Jawa Tengah Muhammad Syafriadi. Menjelang 31 Desember 2017 yang
menjadi batas akhir penggunaan API tidak ramah lingkungan, Pemprov
Jateng belum mendapat arahan seperti apa tentang API cantrang yang masuk
kategori tidak ramah lingkungan.
Syafriadi menjelaskan, kapal yang berhak mendapat bantuan API ramah
lingkungan dari Pemerintah Pusat, adalah kapal yang berukuran di bawah
10 ribu gros ton (GT). Untuk kapal ukuran tersebut, di Jateng saat ini
terdapat sekitar 18 ribu unit dan sebanyak 6.400 unit di antaranya sudah
dinyatakan menggunakan API tidak ramah lingkungan.
Akan tetapi, Syafriadi menambahkan, dari semua kapal yang sudah
dinyatakan menggunakan API tidak ramah lingkungan, KKP baru memberikan
bantuan API baru yang ramah lingkungan untuk 2.341 unit saja. Dengan
kata lain, dari total 6.400 unit kapal, baru sekitar 20 persen saja yang
sudah mendapatkan bantuan API baru.
“Saat ini, proses distribusi masih terus berlangsung ke semua kabupaten dan kota di Jateng,” jelasnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sudah mengatakan, jika masih ada
nelayan atau pemilik kapal berukuran di bawah 10 GT dan belum
mendapatkan bantuan API ramah lingkungan, maka diminta untuk segera
melapor ke instansi terkait di daerah masing-masing. Saat melapor,
sebaiknya data-data lengkap juga dilampirkan ke instansi tersebut.
Dengan adanya laporan lengkap, Ganjar menyebut, Pemprov Jateng bisa
memfasilitasi nelayan yang belum mendapat bantuan. Namun, dia tidak mau
nelayan tersebut adalah pemilik kapal di atas 10 GT atau sudah tidak
masuk kelompok penerima bantuan.
“Kita tunggu datanya masuk dulu. Kita harus tahu secara lengkap
datanya seperti apa, biar bantuan benar-benar untuk nelayan yang tepat,”
tutur dia.
Jika pun nelayan yang melaporkan datanya ternyata kapalnya berukuran
di atas 10 GT, Ganjar menambahkan, maka Pemprov akan memfasilitasi
bantuan permodalan dari perbankan. Untuk bantuan tersebut, Pemerintah
Pusat sudah berjanji akan memberi kemudahan sehingga semua nelayan di
atas 10 GT mendapatkan bantuan pembelian API baru.
Untuk nelayan pemilik kapal di atas 10 GT, Ganjar menjelaskan,
perbankan akan memberikan kemudahan jika memang ternyata nelayan
tersebut masih memiliki utang ke bank. Jika itu terjadi, kata dia, bank
akan melakukan penjadwalan ulang (reschedule) dulu. Yang penting, bantuan lancar dulu,” papar dia.
Proses Rumit
Lambatnya penyaluran bantuan alat tangkap, menurut Sekretaris
Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati,
karena penyaluran dilakukan menjelang pergantian tahun dari 2017 ke
2018. Padahal, selama penyaluran dilakukan, proses yang harus dilewati
juga sangatlah rumit dan memakan waktu yang tidak sebentar.
“Penyaluran alat tangkap masih banyak kendala di sana sini,” kata dia.
Namun, menurut Susan, yang permasalahan paling substansif adalah alat
tangkap pengganti yang diharapkan oleh nelayan berbeda dengan apa yang
diberikan oleh DKP atau KKP. Dampaknya, banyak sekali alat bantuan yang
didistribusikan tidak membawa manfaat dan malah tidak bisa digunakan.
Dia mencontohkan, kasus di Demak, Jateng, banyak nelayan berharap API Gill Net berbahan Jaring Millenium, tapi yang diberikan Gill Net
yang berbahan Jaring Nilon. Menurut dia, itu akan berpengaruh banyak
pada hasil tangkapan saat para nelayan tersebut melakukan aktivitas
penangkapan ikan di laut.
Mengingat tenggat waktu yang akan berakhir pada 31 Desember 2017,
Susan menyebut, proses pembagian API akan berkejaran dengan waktu.
Namun, melihat fakta di lapangan, masih banyak nelayan yang belum masuk
dalam pendataan calon penerima bantuan, dia pesimis penyaluran akan
selesai pada tenggat waktunya.
baca : Susi : Penggunaan Alat Tangkap Ramah Lingkungan Dorong Kualitas Produk Perikanan. Seperti Apa?
Sejauh ini KIARA tidak melihat program akan berjalan baik hingga bisa
tersalurkan semua. Program yang dijalankan memiliki kencenderungan
sebagai program tambal sulam dan kejar target. Salah satunya, adalah
kegagalan KKP mendeteksi alat tangkap yang pas dan sesuai yang
dibutuhkan oleh setiap nelayan di semua daerah.
Dari peruntukkan alat tangkap yang salah tersebut, Susan menyebut,
KIARA mendapat laporan bahwa nelayan kemudian enggan untuk
menggunakannya saat menangkap ikan di laut. Jika itu terjadi, maka
nelayan yang akan dirugikan. Penyebab terjadinya hal tersebut, kata dia,
karena mekanisme distribusi dan verifikasi lemah dan cenderung
berantakan.
“Dampak dari mandeknya distribusi membuat nelayan terlilit utang.
Bahkan di Kendal, Jawa Tengah rata-rata para nelayannya memilih jadi ABK
(anak buah kapal) dari kapal-kapal yang berangkat ke Papua. Dampak
jangka panjangnya tentu akan berpengaruh pada menurunnya jumlah nelayan
di tahun-tahun berikutnya,” jelas dia.
Kinerja Berulang
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk
Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat, jika sampai akhir tahun yang
tinggal menghitung hari, program bantuan alat tangkap tidak tersalurkan
dengan baik, maka bisa dipastikan itu akan mengulang kinerja yang sama
pada 2016. Kinerja tersebut yang mencoreng nama baik KKP di mata Badan
Pemeriksa Keuangan RI.
“APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2017 tidak terserap
sebagaimana telah direncanakan oleh KKP, dan buruknya laporan keuangan
KKP tahun 2017 atau mengulangi tahun 2016. Lebih dari itu, masyarakat
kelautan dan perikanan dirugikan karena aspirasinya sebagaimana telah
dianggarkan tidak berhasil direalisasikan,” ungkap dia.
Menurut Halim, ada empat alasan kenapa program penyaluran kapal dan
alat tangkap rumit dan berakibat pada tidak terserapnya APBN 2017.
Alasan tersebut adalah, karena data penerima yang tidak bisa divalidasi,
ketidakterlibatan kelompok nelayan dalam menyusun spesifikasi
kapal/alat tangkap, proses pengelolaan anggaran yang amburadul, dan
minusnya akses permodalan untuk mengoperasikan kapal atau alat tangkap.
Dengan permasalahan seperti itu, Abdul Halim pesimis kalau penyaluran
program bantuan alat tangkap bisa diselesaikan pada 2017. Untuk itu,
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengusulkan kepada Presiden dan
DPR RI agar program tersebut dimoratorium. Tujuannya, agar APBN tidak
terbuang percuma.
“Berkaca pada pelaksanaan program pengadaan kapal dan alat tangkap
pada tahun 2016, mustahil program serupa tuntas dijalankan pada tahun
2017,” tandas dia.
Berkaitan dengan itu, Halim juga meminta kepada DPR RI untuk memaksa
Pemerintah segera melakukan moratorium bantuan alat tangkap ataupun
kapal pada tahun anggaran 2018 mendatang, sehingga semua pihak
berkepentingan bisa belajar dari kesalahan yang terjadi pada dua periode
2016 dan 2017.
“Keputusan ini mendesak untuk dilakukan apabila proses penyaluran
kapal dan alat tangkap ikan untuk tahun 2016-2017 belum dituntaskan,”
pungkas dia.
Pendapat senada diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia
Moh Abdi Suhufan. Menurut dia, jika program bantuan gagal dibagikan
pada akhir 2017, maka itu akan berdampak pada pencapaian target produksi
tahun depan. Mengingat, program pengadaan bantuan alat tangkap dan juga
kapal untuk 2017 jumlahnya cukup signifikan.
Tak hanya pencapaian, Abdi Suhufan menjelaskan, kegagalan penyaluran
juga akan berdampak pada skenario dan target pengadaan kapal ikan yang
sudah direncanakan oleh KKP dalam kurun waktu 2015-2019. Kemudian,
dampak lainnya adalah dalam hal penyerapan anggaran.
“Dampak secara psikologis pada kelompok nelayan dan koperasi yang
sudah bersiap menerima kapal tentunya akan kecewa, jika bantuan kapal
yang sudah mereka nantikan rupanya tak kunjung mereka terima,” tutur
dia.
Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat besar, untuk tahun mendatang
KKP perlu menyiapkan formula pembagian tanggung jawab antara pusat
daerah tentang mekanisme penyaluran bantuan. Dengan dibangunnya tanggung
jawab, maka program bantuan akan menjadi milik bersama dan itu akan
memperbaiki kinerja secara keseluruhan.
Perlunya dilibatkan daerah lebih jauh, karena dalam program bantuan
sebelumnya, keterlibatan daerah masih sangat kurang. Daerah yang
seharusnya mengendalikan urusan teknis, justru tidak mendapatkan porsi
tersebut dan kewenangannya dikendalikan KKP sebagai wakil dari
Pemerintah Pusat.
“KKP terlalu jauh masuk ke urusan teknis yang harusnya didelegasikan
ke daerah. Tidak ada pembagian wilayah kerja tersebut, mengakibatkan
setiap masalah apapun harus ditanggung sendirian oleh KKP,” tutur dia.
“Tidak desentralisasi di pusat yang menyebabkan spesifikasi kapal
bantuan menjadi celah untuk dipermasalahkan kemudian oleh kelompok
penerima, dengan alasan tidak sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan
nelayan,” tambah dia.
Suhufan menegaskan, dalam proses perencanaan dan pelaksanaan di
lapangan, ada hal-hal yang kurang diantisipasi dengan baik oleh KKP.
Hal-hal tersebut antara lain, sistem penganggaran, keterlibatan
pemerintah daerah kab/kota, dan assessment serta database untuk kebutuhan perencanaan pengadaan kapal.
“Tujuan KKP dalam program bantuan kapal dan alat tangkap sebenarnya
sangat baik, yaitu bagaimana agar potensi kelimpahan ikan bisa ditangkap
dan dinikmati oleh nelayan-nelayan tradisional yang selama ini
‘tertekan’ karena adanya praktik IUU fishing oleh kapal ukuran besar,” tandas dia.
baca : Pengamat : Pembenahan Tata Kelola Perikanan Laut Lebih Penting Dari Pelarangan Cantrang. Kenapa?
Berkaitan dengan pernyataan DPR RI yang akan menerapkan moratorium
bantuan jika penyaluran gagal diselesaikan pada akhir 2017, Abdi Suhufan
berpendapat kalau itu adalah pernyataan kurang pas. Seharusnya, kata
dia, untuk program pemberdayaan nelayan seperti pengadaan kapal, sikap
DPR tidak perlu seradikal itu.
“Bahwa ada masalah dalam proses pengadaan, mestinya menjadi bahan evaluasi bersama antara KKP dan DPR,” tegas dia
Menurut Abdi Suhufan, program bantuan yang digulirkan KKP saat ini,
terlepas dari banyaknya masalah, tetaplah program bermanfaat. Apalagi,
jika dikaitkan dengan keinginan Presiden Joko Widodo menjadikan
Indonesia sebagai pusat poros maritim dunia, seharusnya DPR RI melihat
bahwa program bantuan akan membantu proses ke arah yang dimau Presiden.
“Salah satu caranya adalah dengan memperkuat armada perikanan tangkap
nasional. Penguatan tersebut salah satunya dengan penambahan armada
tangkap baik dengan intervensi pemerintah melalui APBN maupun
pembangunan kapal oleh pihak swasta,” kata dia.
http://www.mongabay.co.id/2017/12/27/catatan-akhir-tahun-penggantian-alat-tangkap-ikan-ramah-lingkungan-berjalan-mulus-atau-tidak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar