Sejak
tahun 2009, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah melarang pemasukan 30 spesies ikan invasif dari luar
Wilayah Negara Republik Indonesia. Jumlah tersebut meningkat sangat
drastis menjadi 152 spesies pada tahun 2014, yang diatur berdasarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/PERMEN-KP/2014.Pertimbangan pelarangan adalah untuk keberlanjutan sumberdaya ikan
dan lingkungannya serta mencegah kemungkinan spesies tersebut
membahayakan manusia. Namun sekarang beberapa spesies ikan seperti
Arapaima, piranha dan alligator (Atractosteus spp.), yang masuk dalam 30 spesies terlarang, mudah kita jumpai di banyak toko-toko dan kios pedagang ikan hias.
Penulis: Yudhistira Rizky Abdillah, Pengawas
Perikanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, KKP. Peraih beasiswa
Australia Awards, memiliki perhatian yang besar pada kelestarian
ekosistem laut dan penegakan hukum terhadap kejahatan perikanan dan
lingkungan pesisir.
Sebagian masyarakat menyukai spesies tersebut dan membelinya sebagai
koleksi di akuarium pribadi dan hobi. Jadi, ada tiga kemungkinan
penyebaran spesies-spesies ikan tersebut: spesies tersebut masuk ke
wilayah Negara Republik Indonesia sebelum dilarang, diselundupkan, atau
ada pihak-pihak tertentu yang membudidayakan secara ilegal.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini? Penjualan
spesies ikan berbahaya tersebut harus dilarang, dan masyarakat harus
mengubah preferensinya pada spesies ikan hias lainnya, untuk mencegah
bencana ekologis perairan.
Pelarangan spesies-spesies ikan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak ekonomis bagi perdagangan ikan hias.
Statistik dari KKP menunjukkan bahwa produksi tahunan ikan hias
meningkat bertahap dari 566.340.000 ekor ikan di tahun 2009 menjadi
1.336.660.000 ekor ikan tahun 2015. Lebih lanjut, berdasarkan survey
pertanian BPS tahun 2013, pendapatan rata-rata tertinggi dalam sektor
pertanian adalah budidaya ikan hias, tercatat sebesar Rp 50.848.000 per
tahun atau Rp 4.237.330 per bulan, atau lebih tinggi dari upah minimum
regional.
Sehingga, data tersebut menunjukkan bahwa wacana pelarangan penjualan
spesies ikan berbahaya tersebut kemungkinan diam-diam ditolak oleh
banyak toko atau pedagang ikan hias.
Setali tiga uang, kolektor spesies ikan predator juga kemungkinan
besar menolak wacana pelarangan penjualan spesies ikan tersebut.
Terdapat beberapa komunitas pecinta ikan predator yang memiliki hobi
yang sama mengoleksi spesies ikan predator.
Dilihat dari akun facebook-nya, mereka memiliki hampir 30.000
anggota. Kita dapat berasumsi bahwa seluruh anggota grup tersebut
memelihara spesies ikan predator sebagai pajangan untuk kepentingan
kesenangan. Bahkan jika setiap anggota memiliki setidaknya dua ekor ikan
predator, maka terdapat sekitar 60.000 sekor ikan predator. Jumlah
tersebut hanya perhitungan kasar untuk setiap komunitas.
Sangat dimungkinkan terdapat komunitas-komunitas lainnya atau orang
yang tidak bergabung dengan grup tetapi juga memelihara spesies ikan
predator ini. Sehingga, kemungkinan terdapat ratusan ribu bahkan jutaan
ekor ikan berbahaya yang dipelihara.
Demi Sensasi dan Keunikan
Alasan memelihara atau
mengoleksi spesies ikan tersebut adalah hanya sensasi tingkah laku ikan
saat memangsa dan kekhasan yang berbeda dengan spesies ikan hias
lainnya. Sehingga jika spesies-spesies tersebut dilarang untuk
dipelihara atau dijual, para penghobi ikan predator kemungkinan menolak
dan skeptis terhadap pelarangan tersebut, meskipun hobi mereka dapat
mengancam stok ikan asli Indonesia.
Pelarangan spesies berbahaya ini diyakini tidak akan berdampak
signifikan pada perekonomian pembudidaya atau pedagang ikan hias.
Spesies-spesies berbahaya ini berkontribusi hanya sebagian kecil dari
jumlah rumah tangga pembudidaya ikan hias.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2013, empat komoditas utama
tertinggi yang dibudidayakan oleh rumah tangga pembudidaya adalah
berturut-turut ikan Koi (26,29%), Arwana Super Red (14,66%), ikan
cupang (15,54%) dan ikan Mas (13,28%). Selain itu, spesies ikan predator
tidak termasuk dalam komoditas utama yang diperdagangkan oleh toko ikan
hias. Mereke biasanya menjual spesies-spesies tersebut hanya sebagai
komoditas sampingan,.
Sehingga, pelarangan spesies ikan berbahaya ini tidak akan berdampak secara signifikan pada perdagangan ikan hias.
Faktor utama pelarangan perdagangan spesies ikan predator dari luar
negeri ini adalah kemungkinan punahnya spesies ikan asli Indonesia.
Mereka menggantikan spesies endemik melalui pemangsaan, kompetisi,
perubahan habitat dan pengrusakan rantai makanan.
Kebanyakan insiden terjadi secara global jika spesies ikan predator
dari luar diintroduksikan di perairan terbuka. Di Indonesia sendiri,
sebagian besar spesies asli Indonesia punah setelah ikan predator dari
luar wilayah NRI menguasai habitat lokal. Contohnya, ikan Red Devil yang
memangsa ikan mas, tawes dan nila di waduk Sermo, Cirata dan
Kedungombo.
Selain itu, ada insiden lepasnya beberapa ekor ikan alligator yang
dibudidayakan di waduk Jatiluhur di tahun 2013. Spesies ini mengancam
populasi dan budidaya ikan lokal, bahkan menyerang masyarakat. Contoh
lain adalah invasi ikan Tilapia yang menurunkan stok spesies endemic
ikan Cichlidae di Brazil, dan Astyanax fasciatus yang menekan spesies lokal Cyprinodon secara
drastis di Yucatan, Mexico. Jadi dapat disimpulkan bahwa spesies ikan
predator dapat mengganggu atau merusak populasi spesies ikan lokal.
Beberapa toko atau kolektor ikan hias mungkin sudah mengetahui
kemungkinan dampak spesies ikan predator pada populasi spesies lokal.
Mereka akan berargumen jika mereka hanya menjual dan memelihara
spesies-spesies berbahaya tersebut dan tidak akan membuangnya di
perairan terbuka.
Namun demikian, siapa yang dapat menjamin bahwa spesies-spesies ikan
predator tersebut tidak akan dilepas di memasuki perairan terbuka baik
sengaja atau tidak disengaja? Terdapat kemungkinan jika para penghobi
atau kolektor ikan predator akan membuang ikan yang dikoleksinya jika
mereka telah bosan.
Sehingga, sangat mendesak untuk mencegah kemungkinan terburuk bencana
ekosistem perairan punahnya populasi ikan asli Indonesia daripada
membiarkan masalah ini terjadi hanya untuk kepentingan hobi atau
kesenangan dan kepentingan ekonomi.
Butuh Ketegasan
Dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pelarangan penjualan dan pemeliharaan spesies ikan predator
harus diambil oleh pemerintah. Toko ikan hias dan kolektor dapat
menyerahkan spesies-spesies ikan predator yang dimiliki pada instansi
penelitian ikan hias milik pemerintah untuk memastikan ikan-ikan
tersebut ditangani secara profesional dan tidak lepas ke perairan
terbuka.
Pada waktu bersamaan, pembudidaya ikan predator harus menghentikan
kegiatan pembudidayaan spesies-spesies berbahaya tersebut karene
membudidayakan spesies ikan yang berbahaya adalah pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 86 ayat (2) jo Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009, dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 6
tahun dan denda Rp 1,5 miliar.
http://majalahsamudra.com/koleksi-ikan-predator-hobi-atau-bencana/
1 komentar:
Halo bangggg
Posting Komentar