01 Januari, 2018

Koleksi Ikan Predator: Hobi atau Bencana?

Spatula Aligator, salah satu jenis ikan predator yang jadi favorit kolektor (ist)
Sejak tahun 2009, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melarang pemasukan 30 spesies ikan invasif dari luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Jumlah tersebut meningkat sangat drastis menjadi 152 spesies pada tahun 2014, yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/PERMEN-KP/2014.Pertimbangan pelarangan adalah untuk keberlanjutan sumberdaya ikan dan lingkungannya serta mencegah kemungkinan spesies tersebut membahayakan manusia. Namun sekarang beberapa spesies ikan seperti Arapaima, piranha dan alligator (Atractosteus spp.), yang masuk dalam 30 spesies terlarang, mudah kita jumpai di banyak toko-toko dan kios pedagang ikan hias.
 
 Penulis: Yudhistira Rizky Abdillah, Pengawas Perikanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, KKP. Peraih beasiswa Australia Awards, memiliki perhatian yang besar pada kelestarian ekosistem laut dan penegakan hukum terhadap kejahatan perikanan dan lingkungan pesisir.
Sebagian masyarakat menyukai spesies tersebut dan membelinya sebagai koleksi di akuarium pribadi dan hobi. Jadi, ada tiga kemungkinan penyebaran spesies-spesies ikan tersebut: spesies tersebut masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia sebelum dilarang, diselundupkan, atau ada pihak-pihak tertentu yang membudidayakan secara ilegal.

Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini? Penjualan spesies ikan berbahaya tersebut harus dilarang, dan masyarakat harus mengubah preferensinya pada spesies ikan hias lainnya, untuk mencegah bencana ekologis perairan.

Pelarangan spesies-spesies ikan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak ekonomis bagi perdagangan ikan hias.

Statistik dari KKP menunjukkan bahwa produksi tahunan ikan hias meningkat bertahap dari 566.340.000 ekor ikan di tahun 2009 menjadi 1.336.660.000 ekor ikan tahun 2015. Lebih lanjut, berdasarkan survey pertanian BPS tahun 2013, pendapatan rata-rata tertinggi dalam sektor pertanian adalah budidaya ikan hias, tercatat sebesar Rp 50.848.000 per tahun atau Rp 4.237.330 per bulan, atau lebih tinggi dari upah minimum regional.

Sehingga, data tersebut menunjukkan bahwa wacana pelarangan penjualan spesies ikan berbahaya tersebut kemungkinan diam-diam ditolak oleh banyak toko atau pedagang ikan hias.

Setali tiga uang,  kolektor spesies ikan predator juga kemungkinan besar menolak wacana pelarangan penjualan spesies ikan tersebut. Terdapat beberapa komunitas pecinta ikan predator yang memiliki hobi yang sama mengoleksi spesies ikan predator.

Dilihat dari akun facebook-nya, mereka memiliki hampir 30.000 anggota. Kita dapat berasumsi bahwa seluruh anggota grup tersebut memelihara spesies ikan predator sebagai pajangan untuk kepentingan kesenangan. Bahkan jika setiap anggota memiliki setidaknya dua ekor ikan predator, maka terdapat sekitar 60.000 sekor ikan predator. Jumlah tersebut hanya perhitungan kasar untuk setiap komunitas.

Sangat dimungkinkan terdapat komunitas-komunitas lainnya atau orang yang tidak bergabung dengan grup tetapi juga memelihara spesies ikan predator ini. Sehingga, kemungkinan terdapat ratusan ribu bahkan jutaan ekor ikan berbahaya yang dipelihara.
Ikan predator Arapaima (Ist)
Demi Sensasi dan Keunikan
Alasan memelihara atau mengoleksi spesies ikan tersebut adalah hanya sensasi tingkah laku ikan saat memangsa dan kekhasan yang berbeda dengan spesies ikan hias lainnya. Sehingga jika spesies-spesies tersebut dilarang untuk dipelihara atau dijual, para penghobi ikan predator kemungkinan menolak dan skeptis terhadap pelarangan tersebut, meskipun hobi mereka dapat mengancam stok ikan asli Indonesia.

Pelarangan spesies berbahaya ini diyakini tidak akan berdampak signifikan pada perekonomian pembudidaya atau pedagang ikan hias. Spesies-spesies berbahaya ini berkontribusi hanya sebagian kecil dari jumlah rumah tangga pembudidaya ikan hias.

Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2013, empat komoditas utama tertinggi yang dibudidayakan oleh rumah tangga pembudidaya adalah berturut-turut ikan  Koi (26,29%), Arwana Super Red (14,66%), ikan cupang (15,54%) dan ikan Mas (13,28%). Selain itu, spesies ikan predator tidak termasuk dalam komoditas utama yang diperdagangkan oleh toko ikan hias. Mereke biasanya menjual spesies-spesies tersebut hanya sebagai komoditas sampingan,.

Sehingga, pelarangan spesies ikan berbahaya ini tidak akan berdampak secara signifikan pada perdagangan ikan hias.

Faktor utama pelarangan perdagangan spesies ikan predator dari luar negeri ini adalah kemungkinan punahnya spesies ikan asli Indonesia. Mereka menggantikan spesies endemik melalui pemangsaan, kompetisi, perubahan habitat dan pengrusakan rantai makanan.

Kebanyakan insiden terjadi secara global jika spesies ikan predator dari luar diintroduksikan di perairan terbuka. Di Indonesia sendiri, sebagian besar spesies asli Indonesia punah setelah ikan predator dari luar wilayah NRI menguasai habitat lokal. Contohnya, ikan Red Devil yang memangsa ikan mas, tawes dan nila di waduk Sermo, Cirata dan Kedungombo.

Selain itu, ada insiden lepasnya beberapa ekor ikan alligator yang dibudidayakan di waduk Jatiluhur di tahun 2013. Spesies ini mengancam populasi dan budidaya ikan lokal, bahkan menyerang masyarakat. Contoh lain adalah invasi ikan Tilapia yang menurunkan stok spesies endemic ikan Cichlidae di Brazil, dan Astyanax fasciatus yang menekan spesies lokal Cyprinodon secara drastis di Yucatan, Mexico. Jadi dapat disimpulkan bahwa spesies ikan predator dapat mengganggu atau merusak populasi spesies ikan lokal.

Beberapa toko atau kolektor ikan hias mungkin sudah mengetahui kemungkinan dampak spesies ikan predator pada populasi spesies lokal. Mereka akan berargumen jika mereka hanya menjual dan memelihara spesies-spesies berbahaya tersebut dan tidak akan membuangnya di perairan terbuka.

Namun demikian, siapa yang dapat menjamin bahwa spesies-spesies ikan predator tersebut tidak akan dilepas di memasuki perairan terbuka baik sengaja atau tidak disengaja? Terdapat kemungkinan jika para penghobi atau kolektor ikan predator akan membuang ikan yang dikoleksinya jika mereka telah bosan.

Sehingga, sangat mendesak untuk mencegah kemungkinan terburuk bencana ekosistem perairan punahnya populasi ikan asli Indonesia daripada membiarkan masalah ini terjadi hanya untuk kepentingan hobi atau kesenangan dan kepentingan ekonomi.

Butuh Ketegasan
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan pelarangan penjualan dan pemeliharaan spesies ikan predator harus diambil oleh pemerintah. Toko ikan hias dan kolektor dapat menyerahkan spesies-spesies ikan predator yang dimiliki pada instansi penelitian ikan hias milik pemerintah untuk memastikan ikan-ikan tersebut ditangani secara profesional dan tidak lepas ke perairan terbuka.

Pada waktu bersamaan, pembudidaya ikan predator harus menghentikan kegiatan pembudidayaan spesies-spesies berbahaya tersebut karene membudidayakan spesies ikan yang berbahaya adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 86 ayat (2) jo Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun dan denda Rp 1,5 miliar.

http://majalahsamudra.com/koleksi-ikan-predator-hobi-atau-bencana/