KKPNews, Jakarta – Pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang telah melalui berbagai penelitian dan kajian. Cantrang memang bukanlah pukat harimau atau trawl. Akan tetapi, selama puluhan tahun, cantrang telah mengalami modifikasi baik dari segi bentuk maupun metode operasi sehingga jenis pukat tarik ini berubah menjadi alat tangkap yang merusak lingkungan. Demikian disampaikan Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) Zulficar Mochtar dalam Rapat Dengan Pendapat dengan Komisi IV DPR, di Jakarta (16/01).
Menurut Zulficar, cantrang dioperasikan dengan perahu untuk menarik jaring yang dibantu dengan garda. Ukuran kapal, mesin penggerak, dan panjang tali selambar yang digunakan pun dimodifikasi semakin besar dari waktu ke waktu. “Tali selambarnya semakin panjang sampai 1.000 meter,” ungkap Zulficar.
Selain ukuran, target tangkapan pun juga berubah mengikuti modifikasi alat. Jika sebelum tahun 1970 target tangkapan cantrang merupakan ikan dasar (demersal) besar, memasuki tahun 1990-an berkembang menjadi ikan dasar besar dan kecil. Semakin parah ketika tahun 2010 mulai menyasar cumi.
“Sejalan dengan itu, tipologi armada bermetamorfosis dari kapal berukuran di bawah 5 gross ton (GT) pada era 1960-1970, menjadi kapal kurang dari 20 GT dan bergardan pada 1990. Tipologi armada berkembang lagi menjadi kapal di bawah 30 GT dan bergardan mulai 2000, bahkan berlemari pendingin (freezer) mulai 2010,” terang Zulficar.
Cantrang yang awealnya digerakkan menggunakan layar kemudian dimodifikasi dengan memakai motor tempel. Mesin juga berkembang dari ukuran 33-120 PK menjadi 33-200 PK.
Tak hanya itu, wilayah penangkapan yang semula konsisten di pantai utara Jawa di bawah 12 mil, berkembang menjadi di atas 12 mil. Belakangan, daerah penangkapan meluas ke kawasan lain, termasuk Lampung, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Timur.
Zulficar menambahkan, permintaan terhadap hasil tangkapan cantrang juga berkembang, dari sekadar untuk ikan segar dan ikan asin menjadi ikan dingin, ikan beku, fillet, dan tepung ikan.
Demikian pula dengan jumlah armada dari 1.370 kapal pada 1980 menjadi 13.300 kapal pada 2015.
Sejalan dengan lompatan jumlah kapal cantrang, proporsi daerah penangkapan bagi setiap unit kapal cantrang dan dogol di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712, termasuk Laut Jawa, kurang dari 5 km persegi setelah 1990-an. Rasio rerata luasan daerah penangkapan menurun dari 600 km persegi menjadi 45 km persegi per kapal per tahun.
Pada saat yang sama, terjadi penurunan signifikan catch per unit effort (CPUE) dalam 14 tahun di WPP 712, yakni dari 156 kg per setting dengan dominasi tangkapan ikan petek, kuniran, kurisi, dan gulamah, pada 2002, menjadi 60 kg per setting dengan dominasi tangkapan ikan petek, kurisi, kembung, dan tembang pada 2015.
“Hasil tangkapan cantrang didominasi ikan berukuran kecil. Ini menunjukkan indeks keragaman tidak sehat,” pungkas Zulficar. (AFN)
Menurut Zulficar, cantrang dioperasikan dengan perahu untuk menarik jaring yang dibantu dengan garda. Ukuran kapal, mesin penggerak, dan panjang tali selambar yang digunakan pun dimodifikasi semakin besar dari waktu ke waktu. “Tali selambarnya semakin panjang sampai 1.000 meter,” ungkap Zulficar.
Selain ukuran, target tangkapan pun juga berubah mengikuti modifikasi alat. Jika sebelum tahun 1970 target tangkapan cantrang merupakan ikan dasar (demersal) besar, memasuki tahun 1990-an berkembang menjadi ikan dasar besar dan kecil. Semakin parah ketika tahun 2010 mulai menyasar cumi.
“Sejalan dengan itu, tipologi armada bermetamorfosis dari kapal berukuran di bawah 5 gross ton (GT) pada era 1960-1970, menjadi kapal kurang dari 20 GT dan bergardan pada 1990. Tipologi armada berkembang lagi menjadi kapal di bawah 30 GT dan bergardan mulai 2000, bahkan berlemari pendingin (freezer) mulai 2010,” terang Zulficar.
Cantrang yang awealnya digerakkan menggunakan layar kemudian dimodifikasi dengan memakai motor tempel. Mesin juga berkembang dari ukuran 33-120 PK menjadi 33-200 PK.
Tak hanya itu, wilayah penangkapan yang semula konsisten di pantai utara Jawa di bawah 12 mil, berkembang menjadi di atas 12 mil. Belakangan, daerah penangkapan meluas ke kawasan lain, termasuk Lampung, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Timur.
Zulficar menambahkan, permintaan terhadap hasil tangkapan cantrang juga berkembang, dari sekadar untuk ikan segar dan ikan asin menjadi ikan dingin, ikan beku, fillet, dan tepung ikan.
Demikian pula dengan jumlah armada dari 1.370 kapal pada 1980 menjadi 13.300 kapal pada 2015.
Sejalan dengan lompatan jumlah kapal cantrang, proporsi daerah penangkapan bagi setiap unit kapal cantrang dan dogol di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712, termasuk Laut Jawa, kurang dari 5 km persegi setelah 1990-an. Rasio rerata luasan daerah penangkapan menurun dari 600 km persegi menjadi 45 km persegi per kapal per tahun.
Pada saat yang sama, terjadi penurunan signifikan catch per unit effort (CPUE) dalam 14 tahun di WPP 712, yakni dari 156 kg per setting dengan dominasi tangkapan ikan petek, kuniran, kurisi, dan gulamah, pada 2002, menjadi 60 kg per setting dengan dominasi tangkapan ikan petek, kurisi, kembung, dan tembang pada 2015.
“Hasil tangkapan cantrang didominasi ikan berukuran kecil. Ini menunjukkan indeks keragaman tidak sehat,” pungkas Zulficar. (AFN)
*diolah dari berbagai sumber
http://news.kkp.go.id/index.php/12320/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar