Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro (Brazil) tahun 1992 menghasilkan kesepakatan tentang perlunya
pembangunan berkelanjutan. Bermakna bahwa kebijakan pembangunan yang
dipilih harus memenuhi aspek kebutuhan masa kini dan generasi masa
depan.
KKT Rio itu menjadi alas lahirnya Tatalaksana Perikanan yang
Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries – CCRF)
oleh FAO pada 1995 dan menjadi acuan bersama dalam menyelenggarakan
pembangunan perikanan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia yang kita cintai sudah lama dikenal sebagai pemasok produk
perikanan terbesar dunia. Meski demikian, banyak pihak lupa bahwa meski
produksi melimpah namun dia diperoleh dari ‘jalan gelap pengelolaan’,
yang berlangsung karena maraknya praktik penangkapan ikan ilegal, tak
terlaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated/IUU
Fishing).
Sejak tahun 1970, industri perikanan memang berkembang namun sejarah
juga mencatat bahwa tak sedikit pula kebijakan antisipatif dikeluarkan
Pemerintah karena sudah membaca tren ancaman untuk generasi bangsa.
Indikasi berkurangnya jumlah populasi ikan di wilayah perairan
Indonesia terbaca, tak hanya itu konflik sosial dan disparitas ekonomi
juga terpapar nyata di pesisir dan pulau-pulau karena eksploitasi yang
berlebih.
Yang terjadi, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Armada
yang sarat modal dan teknologi semakin jauh ke laut lepas, merangsek ke
wilayah perikanan tradisional dan yang miskin, papa, hina dina tersudut
di lekuk pantai, nirdaya.
Kebijakan baru
Pilihan Jokowi – JK untuk kembali ke lautan setelah memunggunginya
terlalu lama ada pilihan tepat. Lantaran itu, salah satu yang
dicanangkannya adalah perang terhadap IUU Fishing seperti yang
disebutkan di atas.
Selama 4 tahun terakhir, Pemerintah sungguh telah amat tegas
memerangi illegal fishing. Praktik illegal fishing di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). Kapal
perikanan berbendera asing atau kapal eks asing berkapasitas di atas 30
GT dibuat tak berkutik.
Perlu diketahui bahwa jumlah mereka mencapai 20 persen dari jumlah
total kapal ikan di atas 30 GT yang beroperasi di WPP NRI atau sekitar
1.605 kapal eks asing (Buku Laut Masa Depan Bangsa, KKP 2017).
Kebijakan tersebut dapat mengurangi upaya eksploitasi ikan sebesar 35
persen dan akan meningkatkan tangkapan ikan dalam jangka panjang selama
upaya penangkapan dalam negeri dikelola dengan baik.
Jika kebijakan IUU dilaksanakan dengan pelaksanaan reformasi
perikanan yang konsisten maka akan meningkatkan produksi ikan sebesar 25
persen.
Peraturan Permen KP No 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia adalah bukti bahwa Pemerintah konsisten dengan arah pembangunan bangsa tersebut
Apa yang diperoleh dan menggembirakan sejauh ini adalah manifestasi
dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang
perikanan.
Bahwa pembangunan perikanan pada hakekatnya mempunyai tujuan ganda,
yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan
menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sisi lain.
Pembangunan perikanan memang harus memperhatikan aspek pemerataan dalam menikmati hasil pembangunan disamping aspek pertumbuhan.
Arah pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari telah menjadi amanat undang-undang.
Karenanya keberlanjutan ketersediaan sumber saya ikan Indonesia
merupakan bagian dari 3 pilar utama dan bagian rencana strategis
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Senapas dengan itu, Pemerintah yang membaca sejarah, praktik dan
dinamika pengoperasian alat tangkap yang kontradiktif dengan harapan
ideal Poros Maritim serta spirit pembangunan bangsa yang adil, berbasis
lingkungan dan jangka panjang memandang perlu untuk menyiapkan perangkat
aturan yang membatasi ruang gerak alat-alat perikanan destruktif.
Bukan hanya bom ikan atau bius, muroami, bubu tindis, tetapi fishing gear dengan daya rusak masif seperti trawl atau cantrang.
Peraturan Permen KP No 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia adalah bukti
bahwa Pemerintah konsisten dengan arah pembangunan bangsa tersebut.
De Javu cantrang
Tanggal 15 Januari 2018, ketika sebagian besar wilayah sudah
menegakkan aturan pelarangan cantrang sejak 1 Januari 2018, sebuah kabar
angin berhembus dari Tegal.
Kabar tersebut menyatakan bahwa Presiden menyilakan kapal cantrang
beroperasi meski kemudian diluruskan oleh Deputi Bidang Protokol Pers
dan Media, Sekretariat Presiden, Bey Machmuddin sebagaimana banyak
beredar di grup whatsapp.
Disebutkan bahwa dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi Jawa Tengah,
Presiden Joko Widodo bertatap muka dengan 16 nelayan yang merupakan
perwakilan nelayan Jawa Tengah yang berasal dari Tegal, Batang, Pati dan
Rembang.
Pertemuan tersebut dihelat di rumah makan Sate Batibul Bang Awi, Kabupaten Tegal, Senin siang 15 Januari 2018.
Presiden mengatakan bahwa pemerintah dan nelayan terus berupaya mencari solusi dari pelarangan penggunaan cantrang.
“Kita carikan solusi agar nelayan ini juga bisa melaut dengan baik.
Tapi juga dari sisi penggunaan alat-alat yang berdampak tidak baik bagi
lingkungan itu juga tidak (merusak),” kata Presiden.
Menanggapi hal ini, Presiden memahami apa yang disampaikan nelayan
dalam pertemuan tersebut serta sangat memperhatikan kesejahteraan para
nelayan.
Tuntutan para nelayan akan dibahas pada Rabu, 17 Januari 2018
mendatang dengan para wakil dari nelayan, bupati dan Menteri Kelautan
dan Perikanan di di Istana Kepresidenan Jakarta.
Sampai di sini, kita seperti tersedot ke masa silam lagi. Betapa
ekses kebijakan di dunia perikanan berpotensi menjadi ‘negotiable’.
Tahun 1980, setelah menimbang kisruh antar wilayah di pesisir
Nusantara karena konflik sosial beroperasinya trawl, Soeharto
mengeluarkan peraturan penghapusan jaring trawl melalui Keppres No 39
Tahun 1980.
Pola ini telah ditempuh Pemerintah sejak dua tahun terakhir dan terdengar seperti suasana ‘de javu’
Kepres itu menjelaskan bahwa penghapusan jaring trawl dilakukan
secara bertahap dengan mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl
terhitung mulai tanggal 1 juli 1980. Pola ini telah ditempuh Pemerintah
sejak dua tahun terakhir dan terdengar seperti suasana ‘de javu’.
Padahal upaya tersebut dilakukan substansinya untuk membatasi jumlah
kapal trawl yang beroperasi di perairan Indonesia. Secara bertahap pula
dilakukan penghapusan seluruh kapal trawl yang berasal dan beroperasi di
sekitar Jawa dan Bali.
Semua kegiatan yang menggunakan jaring trawl mulai dilarang pada
tanggal 1 Oktober 1980. Para pemilik kapal diberikan hak memilih untuk
mengganti alat tangkap selain jaring trawl.
Menimbang solusi
Jika menggunakan logika ekonomi, cantrang memang memberikan manfaat
berlipat. Dia menjadi helaan rezeki bagi pengusaha besar tetapi
bagaimana dengan nelayan tradisional?
Seperti disebutkan sebelumnya, di beberapa lokasi yang telah menjadi
lokasi operasi cantrang, jumlah tangkapan nelayan kian tipis, nelayan
cantrang semakin jauh beroperasi. Penggunaanya pu memicu huru-hara
sosial.
Eskalasinya yang masif mengancam lokasi tangkapan nelayan
tradisional. Akibatnya konflik sosial pecah di sejumlah tempat. Kapal
pukat harimau (trawl) dari Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan
di Kabupaten Ketapang awal tahun 2016.
Sementara 4 unit trawl dibakar di Sumatera Utara dan nelayan dari
Pantura dihadang di Kalimantan Selatan. demikian pula di Kalimantan
Timur, Bagan Asahan, Nagan Raya Aceh
Nun lampau, di tahun 1980, di Bagansiapi-api, nelayan purse-seine dan
pemancing telah mengganggu stabilitas negara saat itu hingga memaksa
Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 39/1980.
Pada masa diperbolehkan cantrang, banyak pelanggaran operasi jalur (4
mil-12 mil) dan wilayah penangkapan sehingga timbul konflik dengan
nelayan lainnya yang mayoritas tidak memakai cantrang.
Tahun 2006 terjadi konflik di Kalimantan Timur. Kapal Cantrang
nelayan Bendar dibakar di perairan Kalimantan Timur karena nelayan di
daerah itu menuduh pendaratan hasil tangkapan kapal tersebut di
pelabuhan perikanan setempat telah merusak harga pasaran ikan.
Akibatnya, pemilik kapal mengalami kerugian yang sangat besar,
mencapai hampir 1 miliar rupiah, termasuk nilai ikan hasil tangkapan
KKP melaporkan bahwa dengan pelarangan trawl membuat nelayan pengguna
trawl mengubah teknologi penangkapan menjadi kapal purse seine.
Nelayan pun, atas fasilitasi Pemerintah telah banyak melakukan
modifikasi pada alat penangkapan ikan guna memperlancar kegiatan
penangkapan ikan, sehingga banyak jaring-jaring penangkapan ikan dengan
nama lokal yang telah dimodifikasi agar tidak seperti trawl, namun
memiliki fungsi dan cara kerja yang tidak jauh berbeda.
“Di Pulau Podang-Podang Pangkep dan nelayan Takalar Sulawesi Selatan,
nelayan sudah beralih ke bubu, ke alat tangkap lain mereka patuh dan
mengikuti anjuran Pemerintah Pusat,” kata Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat dimintai pendapat
tentang efektivitas regulasi cantrang.
Disebut menyandarkan sekira 90% cantrang dari seluruh Indonesia,
menjadikan pantai Jawa sebagai ‘dermaga’ harapan bagi nelayan cantrang.
Mencermati perkembangan terbaru, ketika sebagian wilayah mulai
efektif menjaga laut dari operasi cantrang di luar Jawa, per 1 Januari
2018, Presiden Jokowi nampaknya tetap membuka ruang untuk solusi ‘jalan
tengah’.
Presiden Jokowi disebutkan akan bersua dengan perwakilan nelayan
cantrang untuk bertemu di tanggal 17 Januari 2018 di Istana Negara
bersama jajarannya.
Meski mengapresiasi gagasan silaturahmi Presiden, namun agenda
tersebut di luar perkiraan publik ketika sebelumnya, di tahun lalu,
Pemerintah dan perwakilan nelayan telah setuju untuk perpanjangan selama
setahun di 2017 bahwa tidak ada toleransi lagi saat pemberlakuan
larangan pada 1 Januari 2018.
Ini adalah sebuah setback yang bisa melemahkan semangat pembangunan yang berkeadian dan berkelanjutan.
Tak hanya itu, publik bisa saja menduga ketidakkonsistenan dan
‘lemahnya Negara’ dalam memperjuangkan semangat pelestarian sumber daya
alam, prinsip keadilan bagi nelayan kecil dan memastikan jaminan bagi
masa depan generasi.
Semakin jauhnya cantrag beroperasi, semakin masifnya mereka memasuki
wilayah-wilayah perairan provinis lain, potensi konfliknya akan semakin
besar dan terbuka. Regulasi harus terus ditegakkan, sebab dengan itu
itulah jargon ‘laut masa depan bangsa’ akan bisa terjaga.
Laut tentu tidak akan menjadi masa depan bangsa, ketika kapal-kapal
cantrang yang selama ini beroperasi di Laut Jawa dan telah menguras ikan
dasar di pesisir dan, laut pedalaman kini semakin jauh merangsek ke
pesisir Kalimantan, ke Masalembu, ke Asahan Sumatera, Nagan Raya Aceh,
ke Maluku hingga Papua.
Isyarat zaman bahwa ada penolakan di beberapa daerah tidak boleh diabaikan oleh rezim.
Logika pembangunan nasional yang telah menyasar perubahan-perubahan
terukur baik melalui rencana pembangunan pulau-pulau kecil terluar,
sentra kelautan dan perikanan, pengembangan perikanan tangkap, budidaya
hingga dukungan penguatan daya saing dan penerapan pengelolaan ruang
laut yang lestari dan menyejahterakan seharusnya membuat Pemerintah
tetap tegak lurus dan tak terganggu hal-hal kasuistik dan merepresentasi
visi jangka panjang Nawa Cita atau Poros Maritim.
Editor: MFM
https://maritimenews.id/de-javu-cantrang-belajarlah-dari-masa-lalu/
Cari Solusi Cantrang, Presiden Tetap Larang Alat yang Merusak
Dalam kunjungan kerjanya ke
Provinsi Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo bertatap muka dengan 16
nelayan yang merupakan perwakilan nelayan Jawa Tengah yang berasal dari
Tegal, Batang, Pati dan Rembang.
Pertemuan tersebut dihelat di rumah makan Sate Batibul Bang Awi, Kabupaten Tegal, Senin siang 15 Januari 2018.
Presiden mengatakan bahwa pemerintah dan nelayan terus berupaya mencari solusi dari pelarangan penggunaan cantrang.
“Kita carikan solusi agar nelayan ini
juga bisa melaut dengan baik. Tapi juga dari sisi penggunaan alat-alat
yang berdampak tidak baik bagi lingkungan itu juga tidak (merusak),”
kata Presiden usai meninjau program padat karya di Dukuh Lo, Kecamatan
Lebak Siu, Kabupaten Tegal dalam keterangan resmi.
Dalam pertemuan tersebut, para nelayan
juga mengusulkan agar pemerintah melakukan uji petik yang melibatkan
para ahli guna membuktikan apakah cantrang ini merusak lingkungan atau
tidak.
Menanggapi hal ini, Presiden memahami
apa yang disampaikan nelayan dalam pertemuan tersebut serta sangat
memperhatikan kesejahteraan para nelayan.
Tuntutan para nelayan akan dibahas pada
Rabu, 17 Januari 2018 mendatang dengan para wakil dari nelayan, bupati
dan Menteri Kelautan dan Perikanan di di Istana Kepresidenan Jakarta.
“Nanti hari Rabu (17/1), intinya tadi
kita sudah bertemu, sudah sama-sama ketemu solusinya. Hanya nanti lebih
didetailkan lagi di Jakarta,” tutur Presiden.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut,
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Bupati Tegal Enthus Susmono,
Wakil Walikota Tegal Nursholeh dan Bupati Pati Haryanto.
Penulis : Dwi Gema Kumara
https://maritimenews.id/presiden-akan-cari-solusi-soal-cantrang-tapi-tetap-larang-alat-tangkap-yang-merusak-lingkungan/Cantrang dan Serba-serbinya
Ramai isu penolakan yang mengatasnamakan nelayan terhadap
pelarangan alat tangkap cantrang. Pelarangan alat tangkap ikan (API)
cantrang tersebut berkaitan dengan keputusan berdasarkan Surat Edaran
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti Nomor 72/MEN-KP/II/2016
tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia (WPNRI).
Dibalik pro dan kontra yang terus bergulir, mari kita mengenal kembali apa itu sebenarnya cantrang.
Cantrang berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan 2 (dua) panel
dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Bentuk konstruksi
cantrang tidak memiliki medan jaring atas, sayap pendek dan tali
selambar panjang.
Rata-rata ukuran mata jaring cantrang yang digunakan adalah 1,5
inchi. Cantrang dioperasikan dengan cara menarik jaring di dasar laut
dengan menggunakan satu kapal. Pada saat penarikan kapal dapat ditambat
atau tanpa ditambat.
Cantrang merupakan pengembangan dari API Danish Seine yang menggunakan satu kapal dan tali selambar berat agar menyentuh
dasar laut (seabed).
dasar laut (seabed).
Pengoperasian cantrang berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem
dan tempat tumbuhnya biota laut semisal jasad renik yang menjadi makanan
ikan. Kondisi ini menyebabkan produktivitas dasar perairan berkurang.
Cantrang dikenal sebagai alat tangkap populer di kalangan nelayan
pantai utara Jawa (Pantura) sejak tahun 1960 dengan ukuran kapal sekitar
5 GT.
Pasca diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang
Penghapusan Jaring Trawl dan, banyak nelayan eks trawl yang beralih
menggunakan alat penangkap ikan cantrang.
Alat tangkap Gillnet
Ada alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu gillnet. Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim menyebutkan bahwa salah satu
alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan yakni gillnet
millennium
Gillnet millenium adalah jaring insang seperti pada umumnya,
merupakan jaring yang berbentuk persegi panjang, terdiri dari tali ris
atas, tali pelampung, badan jaring, tali ris bawah, dan tali pemberat.
Kondisi fisik yang membedakannya adalah bahan jaring yaitu berupa
benang nylon PA monofilament terdiri dari 6-10 serat yang tidak dipintal
(pintalan sangat lunak) berwarna putih atau perak.
Warna keperakan ini oleh masyarakat nelayan diidentifikasi dengan millennium, dalam istilah asing disebut Untwisted polyamide.
Sehingga sangat jelas perbedaan Antara cantrang yang tak ramah
lingkungan dengan gillnet. Saat ini KKP terus mensosialisasikan pada
nelayan untuk terus beralih menggunakan alat tangkap yang ramah
lingkungan dan tentu tetap produktif secara ekonomis
Penulis: Dwi Gema Kumara
Editor : MFM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar