BALI
(27/4) – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta para
pengusaha perikanan tangkap mendukung kebijakan pemerintah dengan
mematuhi aturan larangan penggunaan cantrang. Dukungan ini menurutnya
diperlukan pemerintah untuk mendorong tercapainya misi menjadikan laut
masa depan bangsa dengan mewujudkan pilar keberlanjutan.
Ia menyayangkan, masih banyak pengusaha yang berbuat curang dengan
mencoba mengadu domba berbagai pihak dan membuat fitnah dan pernyataan
bohong demi keuntungan pribadi. “Pada para pengusaha besar tolong stop
untuk mengadu domba, lobi kanan kiri. Sudah, Anda semua sudah cukup
berpesta jaman tidak ada aturan di laut ini. Sekarang kita mau atur
karena laut tidak mau kita punggungi lagi. Kita ingin laut bisa memberi
PDB (Produk Domestik Bruto) yang baik bagi negara. Supaya bisa menunjang
program kesejahteraan,” ungkap Menteri Susi di depan awak media selepas
acara konferensi _internasional Fishery Transparency Initiative (FiTI)_
di Bali, Kamis (27/4).
Menteri Susi menyayangkan, banyaknya mafia yang menjadikan masyarakat
sebagai alasan dan tameng untuk melawan kebijakan pemerintah demi
keuntungan pribadi. Menurut Menteri Susi, laut masa depan bangsa berarti
bangsa Indonesia dari generasi ke generasi harus dapat hidup dari
lautan. Caranya dengan menjaga sumber daya perikanan tetap ada dan tetap
banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Kalau diangkat terus dan
habis, ya laut masa depan bangsa akan habis. Tinggal slogan saja,”
tambah Menteri Susi. Menteri Susi menjelaskan, penggunaan alat tangkap
cantrang dilarang karena pengoperasian cantrang menyentuh dasar
perairan. Pengoperasian ini berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem
substrat tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi
makanan ikan, sehingga menyebabkan produktivitas dasar perairan
berkurang. Selain itu, cantrang juga dapat menjaring berbagai jenis ikan
dengan berbagai ukuran yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan
kelautan dan perikanan Indonesia.
“Kita menyetujui bahwa cantrang itu cara beroperasinya itu menggaruk
dasar laut. Itu merusak. Sebenarnya banyak yang sudah beralih. Cantrang
ini umumnya bukan dipakai nelayan (kecil) lagi, tetapi sudah saudagar
besar. Tapi banyak juga mereka (saudagar besar) yang memakai gillnet dan
purse seine. Jadi, pelarangan cantrang ini bukan akhir segalanya,”
jelas Menteri Susi. Selain itu, Menteri Susi juga mengutarakan alasan
kenapa kapal cantrang tidak boleh beroperasi lagi.
“Jaringnya cantrang Pantura yang 6 kilometer saja, sweepingnya itu
bisa mencapai 280 hektar”, tambahnya. Oleh karena itu, ketimbang mencari
cara untuk melegalkan sesuatu yang jelas-jelas merusak seperti
cantrang, Menteri Susi menyarankan agar nelayan mempersiapkan diri lebih
baik untuk peralihan ke alat tangkap yang tidak merusak.
Larangan
penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015. Beberapa
jenis alat tangkap yang dilarang di antaranya pukat hela (trawls) dan
pukat tarik (seine trawls), di mana cantrang termasuk dalam kategori
trawls.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan
Perikanan (Dirjen PT KKP) Sjarief Widjaja menjelaskan, larangan
penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan sebenarnya telah
dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soeharto lewat Kepres Nomor 39
tahun 1980. Namun belakangan, masyarakat mulai mencari alternatif
pengganti sehingga menciptakan cantrang yang dikenal saat ini. “Dulu
tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Maka kemudian mulai muncul
alternatif pengganti misalnya cantrang. Awalnya cantrang itu ramah
lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi. Cantang yang diizinkan
tidak menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan
manusia. Tidak seperti cantrang saat ini yang jaringnya puluhan hingga
ratusan kilo meter, menggunakan pemberat, ditarik mesin. Itu sudah tidak
ramah lingkungan,” papar Sjarief.
Selain itu, menurut Sjarief cantrang umumnya digunakan oleh
kapal-kapal besar di atas 30 GT. Ia juga mengungkapkan, sebagian kapal
cantrang juga melakukan mark down besar-besaran. “Banyak kita temui,
kapal cantrang katanya 20 GT, pas diukur ternyata 80 GT. Dibuat di bawah
30 GT untuk menghindari pajak,” ungkap Sjarief. Tahun 2015 tercatat ada
sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian KKP
melakukan pergantian sebanyak 1.529 unit dengan alat tangkap ramah
lingkungan dan proses tersebut masih terus berlanjut. Namun, Sjarief
menyayangkan kecurangan yang terus terjadi.
Di awal 2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi
14.357 unit. Menurut Sjarief, pemerintah tidak hanya melarang cantrang
tanpa solusi bagi nelayan. Menurutnya, pemerintah telah menyediakan
beberapa langkah penanganan. Untuk kapal di bawah 10 GT, penggantian
alat tangkap akan disediakan seluruhnya oleh pemerintah. Adapun kapal
10-30 GT, pemerintah membantu fasilitas permodalan dari bank. Untuk
kapal di atas 30 GT, pemerintah menyediakan WPP di Timur dan Barat yaitu
laut Arafura dan Natuna yang dulu umumnya dikuasai asing. “Ratusan
kapal yang sudah ke timur, itu untungnya luar biasa. Tangkapannya besar,
jenis ikannya mahal-mahal. Bukan ikan kuniran, mata goyang, dan rucah
yang harganya murah.
Tangkapannya kakap merah dan ikan besar-besar. Satu ekornya setara
dengan 10 kg rucah,” ungkap Sjarief. Hal ini juga ditegaskan Menteri
Susi. Menurutnya, dulu laut Aru, Arafura, Ambon, dan Maluku dikuasai
kapal asing. Sekarang pemerintah membuka lebar WPP tersebut bagi nelayan
Indonesia. “Kita buka lebar-lebar silakan, tetapi jangan rusak dengan
alat tangkap yang merusak lingkungan,” tutur Menteri Susi. Menteri Susi
tidak ingin over fishing terjadi di lautan Indonesia seperti yang telah
terjadi di Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Menurutnya, turunnya hasil
laut seperti udang, rajungan, dan berbagai jenis ikan di Pantura
terjadi akibat over fishing dengan cantrang. Menteri Susi menilai,
seharusnya nelayan Indonesia bersyukur karena Indonesia hanya
memberlakukan peralihan alat tangkap bukan moratorium penangkapan ikan
seperti yang dilakukan beberapa negara lain. “Orang lain moratorium
total, di Thailand, Cina, Vietnam, dilarang tangkap ikan. Kita cuma
pergantian alat tangkap. Tujuannya jangan sampai terjadi seperti Bagan
Siapi-api. Dulunya surga ikan, akibat ekspoitasi jadi mati,” kata
Menteri Susi.
Menteri Susi mengatakan, pemerintah juga telah memberikan tenggang
waktu peralihan alat tangkap selama dua tahun kepada nelayan. Menurutnya
seharusnya waktu tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. “Dulu
awalnya kan kita sudah sepakat sama Ombudsman sama Pak Presiden juga.
Saya maunya kasih waktu setahun. Tapi nelayan waktu itu lobinya 2 tahun.
Ya sudah kita setujui sampai Juli 2017 ini. Sekarang masih lagi minta
perpanjang-perpanjang terus. Kalau dikasih terus bisa-bisa sampai tiga
tahun ini. Keburu habis ikan kita,” tuturnya. Menteri Susi juga
menganggap, penggunaan cantrang telah menjadi penyebab konflik
antar-nelayan. “Cantrang ini yang menimbulkan konflik horizontal
antar-nelayan dari zaman dahulu. Banyak nelayan yang tidak suka dengan
kapal yang menggunakan cantrang. Jadi banyak yang menangkap itu bukan
aparat, tetapi nelayan langsung yang melaporkan, karena mereka tidak mau
cantrang masuk daerah mereka.
Cantrang ini menghabiskan ikan dan merusak,” terang Menteri Susi.
Menteri Susi berpesan, agar isu marine resources dan masa depan kelautan
Indonesia tidak dijadikan sasaran politik. Ia meminta agar tak ada
politisasi komoditi perikanan, masa depan, dan nasib nelayan Indonesia.
“Jangan hanya karena keserakahan, kerakusan untuk mengeruk
sebanyak-banyaknya laut, ikannya diambil semua,” tandas Menteri Susi.
http://kkp.go.id/2017/04/28/wujudkan-pilar-keberlanjutan-menteri-susi-minta-pengusaha-tinggalkan-cantrang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar