05 September, 2015

Poros Maritim dan Nasib Nelayan

clip_image002
Poros maritim sejatinya adalah upaya sadar bangsa ini untuk menggerakan sektor maritim untuk menjadi daya dorong pembangunan nasional. Mengingat cakupan dan ruang lingkup sektor maritim yang begitu luas, maka memilih segmentasi dan prioritas program pembangunan yang merupakan hajat hidup orang banyak merupakan kriteria yang perlu dikedepankan. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah sektor perikanan dengan nelayan sebagai konstituen utama.
Paradoks data Dan Fakta
Menurut data yang ada, pelaksanaan pembangunan yang terfokus pada kelompok nelayan dalam kurun waktu 2010-2014 mulai memperlihatkan hasil yang nyata. Dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan nilai produksi perikanan sebesar 14,5%/tahun dari Rp. 64,54 triliun pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 108,53 triliun pada akhir 2014 lalu. Begitu juga halnya dengan volume produksi yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,6%/tahun dari 5,58 juta ton pada tahun 2010, meningkat menjadi 6,20 juta ton pada tahun 2014. Sementara itu,  pendapatan nelayan secara nasional meningkat dari Rp. 4,06 juta/rumah tangga perikanan tahun 2010 menjadi Rp4,87/ rumah tangga perikanan tahun 2014 (KKP. 2014). Melihat hal tersebut, harapan dan optimisme kemudian tidak salah kita munculkan sebab data diatas kertas menunjukan trend dan perkembangan yang positif terhadap sektor ini.
Namun demikian peningkatan produksi perikanan tangkap diatas kini dihadapkan pada kondisioverfishingdan eksploitasi penuh disebagian Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Tiga dari sebelas (WPP), diantaranya sudah mengalamioverfishing, melebihi tangkapan lestari (MSY) sebesar 6,52 juta ton per tahun yaitu di WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), 573 (Samudera Hindia B/Selatan Jawa-Laut Timor Barat), dan 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda). Sementara itu, dua WPP lainnya sudah mengalamifully exploitedyaitu pada WPP 572 (Samudera Hindia A/Barat Sumatera dan Selat Sunda) dan 712 (Laut Jawa).Pada sisi yang lain, dalam kurun waktu sepuluh tahun (2003-2013) terjadi penurunan jumlah rumah tangga penangkapan ikan  dari 1,6 juta rumah tangga pada tahun 2003, turun menjadi 864,5 ribu rumah tangga pada tahun 2013. Penurunan ini mengindikasikan makin sedikitnya rumah tangga yang memilih profesi atau mata pencaharian sebagai nelayan.     
Sementara itu, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi, kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan, dalam kurun lima tahun terakhir (2010-2014) sangat rendah. PNBP perikanan hanya menyumbang 0,02%  terhadap total penerimaan pajak nasional. Padahal nilai produksi perikanan laut di 2013, 2012, dan 2011 berturut-turut adalah sebanyak Rp 77 triliun, Rp 72 triliun, dan Rp 64,5 triliun. Namun, faktanya, PNBP sumber daya perikanan tidak sebesar nilai produksi ikan laut seperti terdata di atas. Pada 2013, 2012, dan 2011, PNBP sumber daya perikanan berturut-turut hanya sebesar 0,3 persen atau hanya Rp 229 miliar, 0,3 persen atau Rp 215 miliar, dan 0,29 persen atau Rp 183 miliar.Jika nelayan dan pemerintah tidak menikmati hasil perikannan, lantas, tingginya volume dan nilai produksi perikanan diatas sesungguhnya di nikmati oleh siapa
Dalam melakukan usaha perikanan tangkap, nelayan seringkali dihadapkan pada berbagai macam kendala yaitu : keterbatasan akses terhadap sumber permodalan, rendahnya manajemen usaha kelompok nelayan dan rendahnya penguasaan teknologi serta keterbatasan skala usaha yang dilakukan oleh nelayan. Masalah-masalah tersebut sangat membelenggu setiap inisiatif dan program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu diperlukan program terintegrasi (hulu ke hilir) yang bisa menjawab problematika sosial, ekonomi dan lingkungan nelayan. Melalui serangkaian program tersebut, ditargetkan dampak pembangunan perikanan akan mencapai sasaran yang lebih luas yaitu meningkatnya produksi, usaha dan investasi bidang perikanan tangkap, meningkatnya kesejahteraan masyarakat nelayan dan meningkatnya pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pembangunan dilaksanakan tidak hanya terfokus pada kegiatan ekonomi, melainkan juga memperhatikan masalah lingkungan dan sosial. SebagaimanaThe World Commision on Environment and Development (1987) yang lebih dikenal denganThe Brundtland Commisionmendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Menurut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, pemerintah menargetkan penurunan angka kemiskinan dari 11% pada September 2014, menjadi 7% pada tahun 2019. Ini berarti, dalam kurun waktu 5 tahun, diharapkan terjadi penurunan kemiskinan nasional sebesar 4%. Saat ini, terdapat 19 Kementerian dan Lembaga yang memiliki program pengentasan kemiskinan. Salah satu dari 19 tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan.Jika mandat program pengentasan kemiskinan dibebankan kepada KKP, berapa angka realistis yang bisa disumbangkan dan bagaimana cara mencapai angka tersebut?    

Mendorong kesejahteraan nelayan
Untuk menjawab 2 pertanyaan kunci diatas yaitu siapa penikmat tingginya produksi perikanan yang dibanggakan oleh pemerintah dan bagaimana mengurangi kemiskinan masyarakat (nelayan) beberapa analisis bisa diajukan.
Pertama, dalam pasar dimana persaingan terbuka terjadi, para pemain berkompetisi untuk memperebutkan pangsa pasar. Mereka yang mempunyai daya saing sedikit lebih tinggi akan mendapatkan pangsa pasar lebih besar. Demikian juga juga halnya dibisnis perikanan, jika menilik struktur armada perikanan dan kepemilikan kapal, sangat jelas penguasaan dilakukan oleh sekelompok orang, bukan oleh nelayan kecil.  Untuk itu, maka negara mesti hadir untuk memperbaiki tata kelola perikanan agar penguasaan pasar (termasuk modal dan teknologi) oleh sekelompok orang bisa diatur kembali. Upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan analisa dan evaluasi (anev) terhadap praktek dan bisnis perikanan tangkap mesti dilihat sebagai upaya awal untuk membenahi carut marutnya tata kelola perikanan tangkap. Mengembalikan kedaulatan pengelolaan perikanan tangkap nasional ke tangan nelayan merupakan keniscayaan yang perlu dilakukan.
Kedua, fokus pada program peningkatan kesejahteraan nelayan dalam kerangka pengurangan kemiskinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mesti mengambil peran yang proporsional pada upaya pengurangan kemiskinan nasional, paling tidak menyumbang 0,5% dari target 4%. Pasca berakhirnya program PNPM (termasuk PNPM sektor Kelautan dan Perikanan), sejauh ini kita belum melihat perencanaan atau cetak biru program pengentasan kemiskinan untuk nelayan. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif baru untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan melalui program terpadu yang dilakukan dari hulu ke hilir. Pengintegrasian kegiatan perikanan tangkap dilakukan dari tingkat kampung/desa, sentra perikanan dan pelabuhan ekspor untuk mendapatkan nilai tambah produk perikanan.
Ketiga,  mengingat kegiatan kenelayanan sangat terkait dengan dukungan sektor lain seperti infrastruktur (jalan, air bersih dan listrik), komunikasi dan informasi, koperasi, perdagangan, perbankan dan BUMN, maka upaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup nelayan mesti mendapat dukungan kerjasama dari sektor-sektor tersebut. Bahwa kegiatan nelayan kini makin berkembang, mengadaptasi teknologi informasi dan peluang pengembangan usaha yang makin cepat, sehingga perlu dijemput dengan penyiapan sarana dan prasarana yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sinergi dan dukungan lintas sektor perlu dibingkai secara strategis dengan menghilangkan sekat-sekat sektoral.
Poros maritim tentunya bukan hanya doktrin atau jargon kosong pemerintah pada rakyatnya. Disana termasuk nasib nelayan akan ikut dipertaruhkan. Apakah nasib nelayan akan berubah atau tetap menderita untuk bangsanya sendiri. Seperti Pram sudah mengingatkan kita ; ‘berbahagialah orang yang kuat menderita segala kesengsaraan untuk keperluan nusa dan bangsa’. Apakah takdir nelayan demikian adanya?Wallahu A’lam Bishawab

Moh Abdi Suhufan
Koordinator Nasional DFW-Indonesia

Tidak ada komentar: