18 Juni, 2015

Larangan Menangkap Hiu Dilakukan Bertahap

Hasil gambar untuk hiu yang dilarang 
BANDA ACEH - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Ir Diauddin mengatakan, meski Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah menerbitkan larangan penangkapan ikan hiu melalui Permen Nomor 59 Tahun 2014, tapi untuk melarang nelayan menangkap ikan hiu di luat bebas, masih butuh waktu dan harus dilakukan bertahap.

“Permen Nomor 59 Tahun 2014 itu perlu kita sosialisasikan dulu kepada para nelayan penangkap ikan hiu yang dilarang pemerintah,” kata Diauddin kepada Serambi, Selasa (16/6) pagi menanggapi laporan eksklusif harian ini berjudul “Menguak Bisnis Sirip Hiu” yang dipublikasi Senin (15/6).
 Hasil gambar untuk hiu yang dilarang
Diauddin mengatakan, ada 73 jenis ikan hiu yang dilarang dunia untuk ditangkap karena populasinya di laut bebas sudah langka. Dari 73 jenis itu, dua di antaranya berada di perairan Indonesia, yakni ikan hiu martil dan koboi.
Tingginya minat nelayan memangkap ikan hiu di luat bebas, menurut Diauddin, karena permintaan daging dan sirip ikan hiu di pasaran dunia masih tinggi, terutama di Tiongkok dan Taiwan.
 Hasil gambar untuk hiu yang dilarang
Sirip dan daging ikan hiu jenis tertentu, kata Diauddin, harganya sangat mahal dan dijadikan makanan yang sangat disukai dan populer serta eksklusif di Tiongkok dan Taiwan. Misalnya, dijadikan bahan campuran sop bihun dan lainnya. Sirip ikan hiu itu dipercaya orang Tiongkok dan Taiwan, banyak khasiatnya. Antara lain, untuk awet muda, mempercepat regenerasi jaringan atau organ dalam tubuh yang rusak, menambah stamina dan gairah laki-laki, dan lainnya.

Diauddin menambahkan, belakangan ini permintaan terhadap sirip dan daging hiu tertentu bukan saja tinggi di pasaran Tiongkok dan Taiwan, tapi bahkan sudah meluas ke negara-negara Eropa, Arab, dan Rusia.
Di perairan Aceh, kata Diauddin, populasi hiu paling banyak ditemukan di perbatasan antara Samudera Indonesia dengan Samudera India. Tepatnya di wilayah sekitar Nikobar, India. Apalagi nelayan dan penduduk Nikobar tidak memakan hiu.
 Hasil gambar untuk hiu yang dilarang
“Makanya, kenapa nelayan kita dari Aceh banyak yang ditangkap di laut Nikobar, itu karena pada umumnya mereka memancing hiu jenis mahal sampai ke wilayah Nikobar, India,” kata Diauddin.
Jumlah nelayan pemburu hiu di Aceh, menurut Diauddin, sekitar 1.000 orang. Sudah termasuk yang berada di wilayah pantai timur utara, seperti Idi, Lampulo, Pulo Aceh, Simuelue, maupun wilayah barat dan selatan Aceh. Mereka umumnya mancing hiu sampai ke Lautan India menggunakan boat 5-10 Grosston (GT).

Durasi mereka memancing hiu di laut bebas, bisa sampai tujuh hari, baru kembali ke daratay. Bahkan, kalau sedang banyak hiu di Lautan India, bisa capai sepuluh hari lebih.

Menurut Diauddin, banyak nelayan Aceh yang sudah kaya raya karena berbisnis sirip hiu. Harganya cukup mahal, jutaan sampai puluhan juta rupiah per kilo.
“Karena jumlah nelayan yang berburu sirip hiu ini cukup banyak, maka kalau kita ingin menyetop atau melarangnya, tidak bisa dilakukan seketika, tapi haruslah bertahap. Sama seperti kita melarang nelayan boat ikan jangan gunakan lagi pukat harimau dan sejenisnya. Pelarangan itu dipatuhi setelah Polisi Air dan TNI AL melakukan razia intensif di laut bebas,” kata Diauddin.
Tapi saat ini, lanjut Diauddin, begitu Polisi Air dan TNI AL tidak rutin merazia penggunaan pukat harimau, maka di pantai timur dan utara Aceh, penggunaan pukat trawl kembali meningkat.

Padahal, kata Diauddin, tujuan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi, melarang penangkapa ikan menggunakan pukat trawl, adalah untuk pelestarian bibit ikan di wilayah perairan antara 0-12 mil. Akibat penggunaan pukat harimau itu, maka ikan-ikan kecil yang berada di luat 0-12 mil, jadi menyusut.

Pada saat Menteri Susi melarangnya Januari lalu, kata Diauddin, populasi ikan-ikan kecil di perairan 0-12 mil, kembali banyak. Ini bisa dibuktikan dengan meningkatnya hasil tangkapan nelayan nonpukat harimau di wilayah perairan 0-12 mil dari bibir pantai. Tapi kini, setelah nelayan boat pukat kembali menggunakan pukat trawl, populasi ikan kecil pada areal pantai 0-12 mil, kembali menyusut.

DKP Aceh, kata Diauddin, tidak punya sarana kapal patroli cepat untuk mengawasi penggunaan pukat trawl itu. Begitu juga anggarannya. “Mulai tahun depan, kita usulkan anggaran pengadaan kapal dan biaya pengawasan penggunaan pukat harimau dan penangkapan ikan hiu di luat bebas melalui sumber dana APBA maupun APBN,” kata Diauddin.
Pengawasannya, lanjut Diauddin, bisa dilakukan lewat udara, yakni dengan menyewa pesawat kecil, seperti pesawat MAF atau Susi Air, maupun boat berkecepatan tinggi. Misalnya, untuk dua jam penerbangan, sewanya Rp 20 juta, maka dalam satu tahun bisa dianggarkan 12 kali penerbangan, sehingga totalnya Rp 240 juta.
Ia juga merekomendasikan bahwa untuk melestarikan populasi hiu yang dilindungi atau langka, bisa dengan cara membuat areal konservasinya. Umpama, hiu martil dan koboi paling banyak ditemukan di laut terluar Pulo Rondo, Sabang, maka kawasan itu bisa ditetapkan menjadi kawasan konservasi hiu martil dan koboi. (her)


http://aceh.tribunnews.com/2015/06/17/dkp-larangan-menangkap-hiu-dilakukan-bertahap

Tidak ada komentar: