27 Februari, 2015

Terdepan Dalam Keterbelakangan

Hasil gambar untuk Terdepan Dalam KeterbelakanganKomitmen Jokowi-JK untuk memberi prioritas pada pembangunan kelautan melalui doktrin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu mendapat apresiasi. Walaupun dalam 100 hari pemerintahan, fokus kebijakan maritim masih terbatas pada penanganan perikanan tangkap seperti moratorium izin kapal, pembatasan alat tangkap dan perang terhadap praktek illegal fishing, paling tidk langkah tersebut memberi harapan baru bagi masyarakat. Selanjutnya, salah satu agenda yang kemudian perlu didorong adalah perlunya meletakan dasar perencanaan dan strategi intervensi pembangunan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil terluar dan perbatasan. Nasib mereka yang tinggal di pulau kecil terluar tidaklah seberuntung mereka yang mendiami pulau besar dan daratan utama. Ditengah kehidupan yang serba terbatas, mereka juga adalah bagian yang tak terpisahkan dan pemilik sah republik ini. Pada prakteknya, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat  di pulau kecil terluar, masih sangat terbelakang. Beberapa masalah mendasar yang sering dihadapi adalah ketersediaan energi, pangan, ekonomi, dan infrastruktur yang terbatas. Harga BBM di pulau-pulau terluar Kabupaten Maluku Barat Daya bisa mencapai Rp12.000-Rp75.000,-/liter, sementara itu, sumber pangan yang terbatas menyebabkan penduduk di pulau Masela, sangat tergantung pada distribusi beras raskin dari pemerintah (DFW-Indonesia, 2014). Padahal, kita tahu bahwa tanggung jawab dan kehadiran negara sangat diperlukan, ketika masyarakat didera kesulitan sosial dan ekonomi.
Hasil gambar untuk Terdepan Dalam Keterbelakangan 
Kegagalan Kebijakan
Sesuai Peraturan Presiden No 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT), mandat pengelolaan PPKT dilakukan secara sinergis oleh 17 Kementerian dan Lembaga Pemerintah. Dalam Perpres tersebut, memuat strategi, mekanisme koordinasi dan fokus progam yang perlu dilakukan dalam pengelolaan PPKT. Pada kenyataanya, pembangunan PPKT masih jauh dari harapan. Perbedaan cara pandang dan pendekatan sektoral menjadi kendala utama implementasi program pembangunan. Ketiadaan sinergitas pembangunan bisa terlihat pada fase 10 tahun ini, dimana dalam periode 2005-2015, wajah PPKT belum banyak berubah. Seiring dengan perkembangan, lahirnya Undang-Undang No 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara semestinya memperkuat kehadiran negara dalam pengelolaan perbatasan darat dan laut. UU ini kemudian memberi mandat institusi kepada Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) untuk mengkoordinir pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan. UU 43/2008 menambah daftar panjang peraturan perundangan yang terkait pengembangan kawasan perbatasan menjadi sekitar 24 peraturan (DFW-Indonesia, 2014). Dari sisi penganggaran pembangunan, alokasi sebesar Rp 16 triliun untuk membangun perbatasan pada tahun 2014 lalu dianggap jauh dari mencukupi. Menjadi rahasia umum, bahwa keterbatasan infrastruktur dan keterisolasian menyebabkan biaya pembangunan perbatasan menjadi sangat mahal.
Wajah perbatasan termasuk PPKT sesungguhnya bisa mewakili potret pembangunan nasional. Ketimpangan dan disparitas wilayah, pendapatan masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan inefisiensi pengeolaan sumberdaya alam terjadi secara kasat mata. Bagaimana pun, pada wilayah yang sesungguhnya memiliki potensi untuk berkembang, kemudian tertinggal karena keterlambatan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dasar dan meningkatkan kapasitas masyarakat. Sebaran PPKT secara administrasi mencakup wilayah 10 provinsi, 20 kabupaten, 48 kecamatan dan 275 desa adalah kantong-kantong kemiskinan nasional. Kita tidak bisa melepaskan data kondisi provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku yang dalam peta merupakan sentra kemiskinan. Namun demikian, dibagian utara, keberadaan PPKT di provinsi Kalimatan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara sesungguhnya memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh dan berkembang. Peluang pengembangan perikanan tangkap, budidaya, wisata bahari, pertanian, pelayaran rakyat dan perdagangan antar pulau merupakan opsi yang bisa dikembangkan secara proporsional. Sementara itu, dengan total populasi penduduk di PPKT yang pada tahun 2011 mencapai 289.100 jiwa atau sekitar 71.290 kepala keluarga dan diperkirakan akan meningkat menjadi 300.838 jiwa atau 74.815 kepala keluarga pada tahun 2015 menunjukan bahwa, PPKT merupakan wilayah yang mempunyai daya tarik dan menjadi pilihan hidup bagi sebagian masyarakat kita (Ditjen KP3K, 2014).
Masalah utama lainnya di PPK adalah minimya akses komunikasi dan transportasi. Dari 31 PPKT berpenduduk saat ini, ada sekitar 8-9 pulau yang terisolasi karena pemerintah belum juga membangun sarana komunikasi di pulau tersebut. Selain itu, pada wilayah yang sudah terbangun BTS, sistim dan jaringan komunikasi kita selalu kalah oleh sistim telekomunikasi negara tentangga. Di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara warga disana selalu mengeluh karena biaya komunikasi seluler yang mahal karena kena roaming oleh Telkom Malaysia. Sementara itu, penduduk di PPKT Kabupaten Maluku Barat Daya, lebih banyak menggunakan kartu Telkom Timor Leste karena jaringan mereka cukup baik dan murah. Moda transportasi laut begitu vital untuk pelayanan dan pengakutan barang/jasa di PPKT. Sayangnya, kondisi kapal yang teralokasi di PPKT mungkin masuk kategori kelas 3 dengan ciri kapal yang sudah tua, perawatan kurang dan manajemen yang kurang baik. Disamping itu, mengingat jalur ini tidak terlalu ‘gemuk’ sehingga label jalur sosial selalu disematkan dengan segala konsekuensi yang mengikuti.
Pendekatan Baru
Janji Jokowi-JK melalui Nawacita mengisyaratkan perlunya kehadiran negara secara lebih nyata. Dalam konteks pembangunan PPKT, pemerintah perlu mereformulasi pendekatan dan strategi program agar bisa memberi manfaat bagi masyarakat. Pemerintah perlu lebih mendengar, memahami dan mengetahui akar masalah serta kebutuhan masyarakat di PPKT. Selama ini, tak terbilang sudah berapa program, kegiatan dan anggaran yang ‘terkirim’ dari Jakarta namun gagal terimpelementasi dan dimanfaatkan. Dalam hal penyediaan infrastruktur misalnya, kebutuhan air bersih masyarakat di PPKT belum bisa dijawab dengan hanya membangun sistim RO atau alat desalinasi. Sarana tersebut kadang kala tidak bertahan lama dan mengalami kerusakan akibat kemampuan masyarakat untuk mengelola alat sangat terbatas. Proyek pemerintah kemudian meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan. Tak jarang, sejumlah plesetan diberikan pada proyek yang gagal, seperti MCK yang dulu berarti ‘Mandi Cuci Kakus’ saat ini berganti menjadi ‘Menara Cipta Karya’. Sementara itu, guna menjawab masalah energi, terutama dalam penyediaan energi listrik maka terobosan untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya merupakan pilihan yang rasional. Hal ini mengingat energi matahari cukup tersedia dibandingkan energi lain di pulau kecil. Namun demikian, mengingat tanggungjawab program ini, berada di bawah koordinasi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral perlu standarisasi dan penyelarasan tentang kapasitas minimial yang harus disediakan pada suatu lokasi sesuai dengan jumlah pelanggan dan pemanfaatan energi untuk kegiatan ekonomi produktif masyarakat. Saat ini, pembangunan PLTS di PPKT dan perbatasan dilakukan secara tersebar bukan saja oleh Kementerian ESDM, tapi juga oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Rencana pemerintah untuk merampingkan dan lebih memfokuskan urusan perbatasan hanya pada 4 Kementerian yaitu pada Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu dikaji secara serius. Apakah masalah di perbatasan hanya soal infrastruktur dan kedaulatan? Atau ada masalah sosial dan ekonomi yang butuh intervensi pemerintah. Pengalaman selama ini menunjukan bahwa pembangunan fisik semata, ternyata menimbulkan lubang sosial ketika masyarakat ditinggalkan dan hanya diposisikan sebagai obyek pembangunan. Oleh karena itu, rencana pemerintah yang hanya mengedepankan pembangunan infrastruktur di perbatasan, perlu direvisi dengan memasukan pertimbangan sosial dan ekonomi serta kelembagaan masyarakat. Selain itu, diperlukan roadmap atau peta jalan untuk memberi arah pembangunan PPKT dalam kerangka waktu 5 atau 10 tahun mendatang. Perlu ada visi yang kuat untuk mengelola PPKT, bukan saja terjebak pada upaya penanganan masalah saat ini dan bersifat tahunan, tapi diperlukan kerangka kerja jangka panjang, terintegrasi dan memuat strategi untuk membawa PPKT menjadi mandiri. Memanfaatkan ruang fiskal pemerintah yang kini tersedia dalam jumlah yang cukup, untuk membangun PPKT dan perbatasan mesti diikuti dengan kerangka perencanaan program yang realistis dan menjawab kebutuhan pembangunan itu sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa mindset pembangunan sangat mempengaruhi pendekatan program yang selama ini dilaksanakan di PPKT. Hal ini terlihat dari nomenklatur Pulau Terluar yang membawa dampak psikologis yang jauh, akses yang sulit dan terbelakang. Mungkin saatnya untuk merubah segenap mindset dan pendekatan, termasuk peristilahan yang nampaknya sepele namun cukup ‘membebani’. Jika ada terluar, berarti ada terdalam, dan prioritas terdalam rupanya selalu jadi perhatian. Perlu ada perubahan dan kesepakatan baru bahwa pulau-pulau kecil di perbatasan merupakan etalase Indonesia dan merupakan halaman depan yang perlu di perbaiki. Jika hal ini dilakukan, tentunya akan sejalan dengan Nawacita Jokowi yaitu Membangun Indonesia dari Pinggiran. Membangun halaman yang selama ini terpinggirkan melalui upaya sistimatis yang berdampak langsung pada rakyat. Dengan cara demikian, mereka akan memiliki kebanggan berada di garis depan negara kesatuan Republik Indonesia, terdepan dalam arti yang sesungguhnya, bukan terdepan dalam keterbelakangan.
Moh Abdi Suhufan
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) – Indonesia

Tidak ada komentar: