27 Februari, 2015

Menjual Mangrove Layak Konsumsi

Produk olahan dari buah dan daun tanaman mangrove yang diproduksi masyarakat pesisir di Indramayu, Jawa Barat. (Foto: Salma IR/ VARIA.id)VARIA.id, Jakarta – Selama ini hutan mangrove hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan para nelayan untuk mencari ikan sekaligus “penjaga” ekosistem dari bencana alam. Padahal, potensi mangrove sangat besar untuk dikonsumsi sebagai produk makanan ringan dan perawatan tubuh.

Seperti yang dilakukan masyarakat di Desa Pabean Udik, Indramayu, Jawa Barat. Sejak 2008, mereka mengolah tanaman di hutan tersebut menjadi usaha produktif yang mampu menggerakkan perekonomian kelompok nelayan perempuan di kawasan itu.

Daun dari beragam jenis mangrove diolah dan dikonsumsi menjadi ekstrak teh mangrove. Sedangkan buah nyirih (xylocarpus sp) dan daun bluntas (pluchea indica less) diolah menjadi produk perawatan tubuh, yaitu lulur dan masker wajah.

“Berawal dari coba-coba sampai akhirnya kami menemukan biji buah nyirih bisa dijadikan lulur dan masker wajah. Tidak ada efek samping karena kami juga tidak menggunakan pengawet atau zat pewarna,” ujar anggota Kelompok Jaka Kencana, Yayah, di Jakarta, Senin, 23 Februari 2015.

Selama ini, kata Yayah, Kelompok Jaka Kencana memproduksi sekitar 100 sachet masker dan lulur per hari. Yayah mampu menambah penghasilan keluarga rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Apalagi masyarakat sekitar banyak yang menggantungkan hidup sebagai nelayan yang rata-rata hanya berpenghasilan sebesar Rp 50 ribu- Rp 70 ribu per hari.

Sedangkan di pesisir Serdang Bedagai, Sumatera Utara, masyarakatnya mengolah mangrove jenis jeruju (Acanthus Illcifolius L) menjadi keripik yang renyah. Melalui kelompok usaha Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), perempuan di Dusun Tiga, Desa Sei Nagalawan membuat keripik dengan total produksi mencapai 5-10 kilogram atau 130 bungkus per hari.
“Saat ini, kami masih terkendala masalah pemasaran dan alat produksi yang masih menggunakan blender biasa, sehingga belum bisa meningkatkan produktivitas,” ujar Ketua Presidium PPNI, Jumiati.

Menurut Jumiati, dari kelompok usaha tersebut, mereka mampu menambah penghasilan keluarga. Dalam setahun, kelompok ini membagi hasil keuntungan penjualan keripik di kisaran Rp 20 juta dengan rata-rata Rp 700 ribu-Rp 1,5 juta per orang. Keuntungan ini juga dibagikan sesuai tingkat kehadiran dan produktivitas masing-masing anggota.

Kini, produk olahan mangrove itu sudah dijual bebas. Namun, masih terbatas di wilayah sekitar dan komunitas. Hal ini lantaran kemasannya masih sederhana dan industrinya masih skala rumah tangga. Apalagi kegiatan ini belum menjadi sumber penghasilan, masih sebatas usaha sampingan. Sebab, peralatan yang digunakan juga masih sederhana.

Di pasaran, kripik mangrove dibanderol seharga Rp 60 ribu per kilogram. Sedangkan teh mangrove dihargai Rp 15 ribu per bungkus, lulur Rp 10 ribu per sachet, dan masker wajah Rp 8.000 ribu per sachet.

mangroves
Indonesia memiliki 22% kawasan hutan bakau yang paling besar di seluruh dunia, Di wilayah Asia Tenggara kawasan hutan bakau Indonesia sebesar 60% dari seluruh hutan bakau yang ada. Sayangnya saat ini kawasan hutan bakau di Indonesia 23% dikategorikan sangat rusak dan 48% dikategorikan sedikit rusak. (Sumber:Enaca.org)


Revitalisasi
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengungkapkan, usaha yang dikembangkan PPNI berawal dari program revitalisasi kawasan pesisir oleh Kiara sekitar dua tahun lalu. Saat itu, luasan hutan mangrove yang rusak mencapai 7 hektare akibat pencemaran lingkungan dan tambak udang.

“Kita tidak serta-merta datang lalu mengusir para petambak udang yang sejak lama menggantungkan hidup dari hasil tambak. Kita melakukan sosialisasi dan pendekatan secara personal agar jumlah luasan tambak udang tidak meluas. Bahkan kalau bisa dibatasi jumlah tambaknya,” tutur Halim.

Selanjutnya, Kiara mengajak masyarakat untuk mengembalikan area hutan yang rusak sesuai fungsinya sekaligus memperluas areal hutan mangrove. Kebanyakan hutan tersebut rusak akibat sampah sehingga areal hutan menjadi kotor dan tercemar.

Tak hanya itu, Kiara juga menginisiasi dibentuknya kelompok perempuan melalui PPNI. Selama setahun, kelompok perempuan ini diberi pelatihan secara intensif dan difasilitasi. Mulai dari cara pengolahan, kemasan produk hingga strategi pemasaran. Akhirnya, mereka mampu memproduksi hasil hutan mangrove meski dalam skala kecil.

“Sampai saat ini kami masih terus mematangkan produk ini sampai siap diproduksi secara massal. Produk ini dibuat secara alami sehingga tidak ada efek samping dan aman digunakan oleh masyarakat. Apalagi kita juga melibatkan para peneliti dari kampus di daerah tersebut,” jelas Halim.*
 
Editor: Chairul Akhmad

Tidak ada komentar: