VARIA.id, Jakarta – Selama ini hutan mangrove hanya
berfungsi sebagai sumber penghidupan para nelayan untuk mencari ikan
sekaligus “penjaga” ekosistem dari bencana alam. Padahal, potensi
mangrove sangat besar untuk dikonsumsi sebagai produk makanan ringan dan
perawatan tubuh.
Seperti yang dilakukan masyarakat di Desa Pabean Udik, Indramayu,
Jawa Barat. Sejak 2008, mereka mengolah tanaman di hutan tersebut
menjadi usaha produktif yang mampu menggerakkan perekonomian kelompok
nelayan perempuan di kawasan itu.
Daun dari beragam jenis mangrove diolah dan dikonsumsi menjadi ekstrak teh mangrove. Sedangkan buah nyirih (xylocarpus sp) dan daun bluntas (pluchea indica less) diolah menjadi produk perawatan tubuh, yaitu lulur dan masker wajah.
“Berawal dari coba-coba sampai akhirnya kami menemukan biji buah
nyirih bisa dijadikan lulur dan masker wajah. Tidak ada efek samping
karena kami juga tidak menggunakan pengawet atau zat pewarna,” ujar
anggota Kelompok Jaka Kencana, Yayah, di Jakarta, Senin, 23 Februari
2015.
Selama ini, kata Yayah, Kelompok Jaka Kencana memproduksi sekitar 100 sachet
masker dan lulur per hari. Yayah mampu menambah penghasilan keluarga
rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Apalagi masyarakat sekitar
banyak yang menggantungkan hidup sebagai nelayan yang rata-rata hanya
berpenghasilan sebesar Rp 50 ribu- Rp 70 ribu per hari.
Sedangkan di pesisir Serdang Bedagai, Sumatera Utara, masyarakatnya mengolah mangrove jenis jeruju (Acanthus Illcifolius L)
menjadi keripik yang renyah. Melalui kelompok usaha Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), perempuan di Dusun Tiga, Desa Sei
Nagalawan membuat keripik dengan total produksi mencapai 5-10 kilogram
atau 130 bungkus per hari.
“Saat ini, kami masih terkendala masalah pemasaran dan alat produksi
yang masih menggunakan blender biasa, sehingga belum bisa meningkatkan
produktivitas,” ujar Ketua Presidium PPNI, Jumiati.
Menurut Jumiati, dari kelompok usaha tersebut, mereka mampu menambah
penghasilan keluarga. Dalam setahun, kelompok ini membagi hasil
keuntungan penjualan keripik di kisaran Rp 20 juta dengan rata-rata Rp
700 ribu-Rp 1,5 juta per orang. Keuntungan ini juga dibagikan sesuai
tingkat kehadiran dan produktivitas masing-masing anggota.
Kini, produk olahan mangrove itu sudah dijual bebas. Namun, masih
terbatas di wilayah sekitar dan komunitas. Hal ini lantaran kemasannya
masih sederhana dan industrinya masih skala rumah tangga. Apalagi
kegiatan ini belum menjadi sumber penghasilan, masih sebatas usaha
sampingan. Sebab, peralatan yang digunakan juga masih sederhana.
Di pasaran, kripik mangrove dibanderol seharga Rp 60 ribu per
kilogram. Sedangkan teh mangrove dihargai Rp 15 ribu per bungkus, lulur
Rp 10 ribu per sachet, dan masker wajah Rp 8.000 ribu per sachet.
Revitalisasi
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
Abdul Halim mengungkapkan, usaha yang dikembangkan PPNI berawal dari
program revitalisasi kawasan pesisir oleh Kiara sekitar dua tahun lalu.
Saat itu, luasan hutan mangrove yang rusak mencapai 7 hektare akibat
pencemaran lingkungan dan tambak udang.
“Kita tidak serta-merta datang lalu mengusir para petambak udang yang
sejak lama menggantungkan hidup dari hasil tambak. Kita melakukan
sosialisasi dan pendekatan secara personal agar jumlah luasan tambak
udang tidak meluas. Bahkan kalau bisa dibatasi jumlah tambaknya,” tutur
Halim.
Selanjutnya, Kiara mengajak masyarakat untuk mengembalikan area hutan
yang rusak sesuai fungsinya sekaligus memperluas areal hutan mangrove.
Kebanyakan hutan tersebut rusak akibat sampah sehingga areal hutan
menjadi kotor dan tercemar.
Tak hanya itu, Kiara juga menginisiasi dibentuknya kelompok perempuan
melalui PPNI. Selama setahun, kelompok perempuan ini diberi pelatihan
secara intensif dan difasilitasi. Mulai dari cara pengolahan, kemasan
produk hingga strategi pemasaran. Akhirnya, mereka mampu memproduksi
hasil hutan mangrove meski dalam skala kecil.
“Sampai saat ini kami masih terus mematangkan produk ini sampai siap
diproduksi secara massal. Produk ini dibuat secara alami sehingga tidak
ada efek samping dan aman digunakan oleh masyarakat. Apalagi kita juga
melibatkan para peneliti dari kampus di daerah tersebut,” jelas Halim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar