Oleh: M Riza Damanik
KOMPAS.com - Enam tahun lalu kapal Eka Sakti milik
Sahring—nelayan asal Nusa Tenggara Timur—dibakar dan ditenggelamkan oleh
Angkatan Laut Australia atas tuduhan melanggar Undang-Undang
Pengelolaan Perikanan Australia 1991.
Belakangan Pengadilan
Federal Australia, 1 April 2014, mengeluarkan keputusan membebaskan
Sahring dari sanksi dan mendapat ganti rugi 44.000 dollar Australia.
Sayangnya, tidak ada reaksi apa pun dari Pemerintah Indonesia terhadap
kasus ?Sahring versus Australia? yang sempat populer ini. Padahal, kasus
ini memberi pelajaran bahwa penenggelaman kapal asing yang melakukan
pencurian ikan di laut teritorial suatu negara bukanlah hal baru dalam
penegakan hukum di laut. Namun, tindakan semacam itu tetap harus
dilakukan dengan benar dan profesional.
Secara legal formal
pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia dapat
dikategorikan kejahatan luar biasa. Paling utama: pelanggaran
kedaulatan. Merujuk kepada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982,
masuknya kapal ikan asing secara ilegal di laut teritorial Indonesia
dapat dikategorikan membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan
nasional (Pasal 19). UU No 31/2004 yang diperbarui dengan UU No 45/2009
tentang Perikanan menyebutkan, aksi pencurian ikan tergolong tindak
pidana. Hukumannya tak hanya berlaku bagi operator di atas kapal, tetapi
juga dapat menjerat pemilik kapal dan pemilik perusahaan (Pasal 8).
Kapal asing pencuri ikan juga boleh dibakar dan ditenggelamkan (Pasal
69), bahkan membayar denda hingga Rp 20 miliar (Pasal 93).
Kejahatan yang berulang
Celakanya,
10 tahun sejak diundangkan, peraturan itu minus implementasi. Lemahnya
penegakan hukum di laut telah menyuburkan pencurian ikan. Saban tahun
sekitar 30 persen dari total 10 miliar-23 miliar dollar AS kerugian
dunia akibat pencurian ikan di perairan Indonesia.
Puncaknya,
proporsi konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal
dari ikan hanya 54 persen. Angka ini lebih rendah daripada Banglades
(56), Sri Lanka (57), Kamboja (65), dan Maladewa (71) (FAO, 2014).
Sebesar 40-50 persen dari total 3,6 juta ton kapasitas terpasang
industri perikanan Indonesia gagal berproduksi karena kekurangan bahan
baku. Akibatnya, sektor kelautan gagal membuka 10 juta lapangan
pekerjaan baru untuk penangkapan, pengolahan, dan pemasaran.
Penelitian
Walhi pada 2008, Menjala Ikan Terakhir, mengungkap bahwa dalam kurun 20
tahun terakhir telah terjadi kontinuitas kejahatan perikanan di laut
Indonesia. Asal pencuri ikan secara konsisten 10 negara. Enam merupakan
anggota ASEAN (Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar)
dan empat: Tiongkok, Korea, Taiwan, dan Panama. Aksi pencurian ikan
konsisten di 18 lokasi. Lima titik di laut bagian barat dan 13 lokasi di
timur Indonesia. Modusnya tak ada yang baru: penggandaan izin,
penggunaan bendera Indonesia, nama kapal berbahasa Indonesia,
mempekerjakan ABK asal Indonesia, dan bekerja sama dengan oknum aparat
hukum Indonesia.
Presiden Joko Widodo menyebut 5.400 kapal asing
bebas mencuri di laut Indonesia (Kompas, 19/11). Jumlah ini hampir sama
dengan total izin penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah hingga
akhir 2014. Instruksi Presiden Jokowi
menenggelamkan kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia, pertama,
harus disambut dengan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum
di laut. Tindakan tegas itu tak boleh bertentangan dengan konvensi
internasional, termasuk hak universal pelaku kejahatan pencurian ikan.
Pemerintah Indonesia juga wajib menyelenggarakan peradilan jujur, bebas
dari penyiksaan, dan menyegerakan pemberitahuan ke kedutaan besar negara
asal pemilik kapal bersangkutan.
Kedua, bobot diplomasi luar
negeri Indonesia harus dibenahi, setidaknya memastikan agar aksi
penenggelaman kapal ikan asing tak disalahartikan sebagai aksi
premanisme. Namun, semata-mata melindungi kepentingan nelayan dan
menjamin keberlanjutan pengelolaan ikan di dunia.
Terakhir,
pengoptimalan partisipasi masyarakat nelayan. Tingginya ongkos patroli
di laut, terbatasnya ketersediaan bahan bakar minyak dan armada patroli,
hanya dapat terselesaikan dengan mengoptimalkan peran aktif organisasi
nelayan melindungi wilayah perikanannya. Di sinilah Presiden Joko Widodo
dapat memprioritaskan lahirnya peraturan pemerintah tentang pengawasan
perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan,
seperti diamanatkan UU Perikanan.
Dengan begitu, perintah
menenggelamkan kapal ikan asing akan memberi efek jera, memulihkan
kedaulatan, sekaligus memperkuat eksistensi nelayan Indonesia di laut.
M Riza Damanik
Direktur Eksekutif IGJ; Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/12/14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing?utm_campaign=related&utm_medium=bp&utm_source=news&
25 Desember, 2014
Penenggelaman Kapal Asing
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar