26 Juli, 2014

Siasat Budaya Menjaga Toba

Oleh: : Ahmad Arif

KOMPAS/AHMAD ARIF

Penambangan batuan karst di kaki Gunung Pusuk Buhit, Kecamatan
Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Senin (19/5). Penetapan
Toba sebagai Geopark Nasional, dan rencana untuk mengusulkannya sebagai
Taman Bumi atau Geopark Global, seharusnya diikuti dengan pengembangan
ekonomi yang ramah lingkungan.

TAMAN bumi merupakan pengakuan UNESCO atas bentang alam terpilih. Danau
Toba di Sumatera Utara, kini dalam daftar yang akan diusulkan, setelah
Kaldera Batur di Bali diakui dunia. Namun, taman bumi sebenarnya proses.
Tujuan akhirnya menjaga mutu alam Toba dan kemakmuran masyarakatnya.

Setelah Kaldera Batur ditetapkan sebagai anggota Jaringan Taman Bumi
Global (Global Geopark Network) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 20
September 2012, Pemerintah Indonesia seperti demam taman bumi atau geopark.

Menurut situs resmi UNESCO, sejak 1999 hingga Maret 2014, taman bumi di
dunia terdapat di 100 lokasi di 32 negara. Indonesia baru memiliki satu
taman bumi yang diakui UNESCO sejak 2012, yaitu Batur Global Geopark
(BGG), taman bumi kedua di Asia Tenggara setelah Langkawi di Malaysia.

Taman bumi merupakan konsep konservasi kawasan yang digagas UNESCO di
bawah koordinasi The International Network of Geoparks (INoG). Kawasan
dikonservasi untuk alasan geologi, nilai arkeologi, ekologi, ataupun
budayanya.

Kini, sejumlah kawasan di Indonesia diusulkan mendapat pengakuan serupa.
Tahun ini yang diusulkan adalah hutan fosil Merangin (Jambi), Gunung
Sewu (Jawa Timur) dan tahun berikut diusulkan Danau Toba. Sebelumnya,
Toba ditetapkan sebagai Taman Bumi Nasional oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, beberapa bulan lalu.

Tak seorang pun bisa mengingkari, Nusantara diberkahi sederet bentang
alam menawan. Para penjelajah dan penjajah dari Barat telah lama
mengakui keelokan alam Nusantara itu dengan menyematkan berbagai istilah
seperti ”mooi indie” hingga zamrud khatulistiwa. Selain pemandangannya,
bentang alam itu punya riwayat menarik dan kaya dengan keragaman budaya.

Namun, belajar dari Geopark Batur, penetapan oleh UNESCO tak membawa
dampak berarti. Bahkan penambangan batuan lava dan pasir, yang merupakan
kekhasan Kaldera Batur, sulit diatasi.

”Kita sering salah memahami geopark sebagai tujuan akhir, sehingga
begitu suatu kawasan ditetapkan sebagai geopark, mengira otomatis akan
dapat untung banyak. Tak ada dana yang digelontorkan UNESCO terhadap
geopark. Mereka hanya memasukkan bentang alam kita dalam jaringan
global,” kata Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi-Bandung.

Taman bumi, menurut Indyo, merupakan proses agar kita lebih menjaga
alam. ”Perusakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai Geopark Global
justru bisa jadi kampanye negatif. ”Bayangkan, jika ada turis datang
dari negara lain karena mendapat informasi dari UNESCO soal keindahan
Kaldera Batur, lalu saat di sana dia menemukan bentang alam yang
dirusak,” kata dia.

Karena itu, rencana mengusulkan Kaldera Toba sebagai Geopark Global,
harus diikuti penyiapan masyarakat. Hal terpenting dari taman bumi
adalah, membangun kesiapan rakyat untuk terlibat aktif menggali kekayaan
budaya, menjaga alam, dan mempromosikan Kaldera Toba. ”Kalau dari segi
keunikan bentang alam geologinya, Toba tak perlu diragukan lagi. Namun,
bagaimana dengan manusianya?” kata Indyo.

Alam dan budaya

Dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer, Toba merupakan
danau vulkanik terluas di dunia. Danau itu terbentuk dari letusan
raksasa (supervolcano) sekitar 74.000 tahun lampau. Dampak letusan
gunung api terkuat dalam 2 juta tahun terakhir ini disebut banyak ahli
nyaris menamatkan umat manusia, salah satunya oleh antropolog Stanley H
Ambrose dari University of Illinois.

Letusan hebat itu juga mengosongkan dapur magma di perut Toba. Kubah
gunung itu runtuh, menciptakan lubang dalam. Batuan lalu menutup lubang
itu di dasar dan tebing pejal mengelilinginya, menjebak air hujan. Danau
Toba pun terbentuk.

Namun, magma yang tersisa di bawah Danau Toba mendesak naik perlahan,
mendorong bebatuan padat yang menyumbat jalan ke atas. Melalui proses
ribuan tahun, penyumbat itu terdorong ke atas. Penyumbat itulah Pulau
Samosir.

Bukti-bukti pengangkatan Pulau Samosir itu tercetak pada fosil ganggang
(diatomae) yang bisa ditemui nyaris di seluruh pulau itu. Bebatuan di
tepi Danau Sidihoni, danau di atas danau di ketinggian 1.314 mdpl atau
919 meter dari ketinggian permukaan Danau Toba, juga mengandung lapisan
endapan yang menguatkan dugaan Samosir pernah ada di dasar kaldera.

”Riwayat geologi Toba yang ajaib dan keindahan bentang alam luar biasa
itu tak ada artinya kalau warga sekitar tak paham dan merusaknya,” kata
Indyo. Setelah ditetapkan sebagai taman bumi nasional, pengembangan
ekonomi kawasan itu harus lebih ramah lingkungan.

Sebagai bentang alam kaya sumber daya, Toba lama dipadati penduduk.
Sebagaimana juga dialami bentang alam lain di Nusantara, tantangan
terbesar Toba adalah dominannya pendekatan pembangunan ekstraktif.
”Penurunan mutu lingkungan Toba jadi masalah utama danau ini,” kata
Mangaliat Simarmata, Ketua Earth Society for Danau Toba.

Pembabatan hutan terus dilakukan. Sisa vegetasi sekitar Toba, menurut
Badan Lingkungan Hidup Sumut, tinggal 12 persen. Kerusakan ekologi
sekitar Toba terjadi seiring penurunan mutu air danau. Bahkan, air Danau
Toba tak layak konsumsi karena pencemaran limbah domestik, perikanan
berupa keramba jaring apung dan limbah peternakan.

Upaya menjadikan Toba sebagai Taman Bumi Global harus jadi titik balik
memahami danau itu. Jika warga memahami Toba lebih baik, kesadaran
menjaga lingkungan akan menguat. ”Kedahsyatan Toba sudah dikenal para
geolog atau vulkanolog luar negeri, tetapi belum banyak dimengerti
masyarakat kita. Tantangan kini adalah menarasikan Toba agar dimengerti
masyarakat,” kata Irwansyah Harahap, antropolog dari Universitas
Sumatera Utara, yang turut aktif berkampanye konservasi alam dan budaya
Toba.

Keberadaan taman bumi juga bisa menjadi titik balik untuk lebih memahami
dan menghargai kebudayaan yang ribuan tahun berkembang di Toba. Jadi,
taman bumi bisa menjadi strategi kebudayaan demi menghidupkan lagi
kesadaran masyarakat Toba agar menjaga kekayaan alam dan budaya yang
terabaikan.

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007411020

Tidak ada komentar: