07 Februari, 2014

EMPAT TANDA TANYA MENTERI KELAUTAN

Oleh Abdul Halim
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Klaim Menteri Kelautan dan Perikanan atas keberhasilannya mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 bak kacang lupa kulitnya. Penilaian ini setidaknya bertolak dari 4 tolak ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana diuraikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
 
Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Dengan 70% lautan dan kandungan sumber daya perikanan di dalamnya, bukan mustahil bagi bangsa Indonesia untuk menjadi produsen perikanan utama dunia. Apalagi didukung dengan anggaran yang terus membesar dan regulasi yang berlandasan prinsip survival of the fittest.
 
Sudah sejak tahun 2010, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengalami peningkatan sebesar 140% (lihat Tabel 1): dari Rp3,139,5 Triliun (2010) menjadi Rp7.077,4 (2013). Bahkan pada tahun 2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan. Tak mengherankan, peningkatan produksi perikanan, baik dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya, terus dipacu: 11.662.342 ton (2010); 13.643.234 ton (2011); 15.504.747 ton (2012); dan 19,56 juta ton (2013).
 
Tabel 1. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2013
Tahun Anggaran
Jumlah
2010
Rp3.139,5
2011
Rp5.176,0
2012
Rp6.014,1
2013
Rp7.077,4
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2013), diolah dari Data Pokok APBN 2007-2013, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia
 
Kenaikan produksi perikanan bukanlah prestasi, melainkan kelumrahan laiknya negara kelautan. Sebaliknya, sejumlah fakta tidak terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara laten bagi masyarakat nelayan. Jika demikian, adakah manfaat sumber daya perikanan yang dirasakan oleh pelaku perikanan skala kecil?
 
Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Tatkala kenaikan produksi perikanan justru kian memperlebar jurang kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara pemilik kapal/lahan bak majikan berkubang dana program pemerintah (KIARA, Desember 2013), sulit untuk menyebut ada keberhasilan di balik pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
 
Temuan KIARA (Oktober 2013) menyebutkan: (i)  penerima proyek demfarm tahun 2012 di Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak dengan kepemilikan lahan berkisar 20-40 hektar; (ii) format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok, melainkan buruh-majikan; (iii) sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni sebesar Rp. 700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2012 senilai Rp. 994.864; dan (iv) para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya, seperti jaminan perlindungan jiwa dan kesehatan, serta standar keselamatan kerja di tambak. Jika situasinya seperti ini, benarkah manfaat pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sudah merata dirasakan oleh masyarakat nelayan tradisional?
 
Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Sudah sejak tahun 2010, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim mengalami peningkatan (lihat Tabel 2).
 
Tabel 2. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut 2010-2012
No
Tahun
Jumlah Nelayan
1
2010
86
2
2011
149
3
2012
186
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)
 
Tak hanya itu, ancaman bencana (gempa, banjir bandang, banjir rob, gelombang tinggi, dan angin kencang) yang berakibat pada tidak bisa melautnya masyarakat nelayan tradisional terus mengancam.
 
Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2013) menerima laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten/kota di Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana. Sayangnya, kedua fakta ini tidak dianggap sebagai hal penting oleh Negara.
 
Mengingat kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana produksi nelayan, dan luasnya wilayah yang terkena dampak cuaca ekstrem memberi dampak terhadap aktivitas ekonomi sosial nelayan tradisional dan mengacu pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi prakiraan cuaca sebelumnya.
 
Ironisnya, informasi yang disediakan oleh BMKG tidak dijadikan sebagai panduan KKP untuk melindungi nelayan. Akibatnya, sepanjang tahun 2013, sebanyak 225 nelayan mengalami kecelakaan, hilang dan meninggal dunia di laut tanpa jaminan perlindungan jiwa (lihat Tabel 3).
 
Tabel 3. Jumlah Nelayan Mengalami Kecelakaan, Hilang dan Wafat di Laut 2013
No
Bulan
Jumlah Kecelakaan
Jumlah Nelayan Wafat
1
Januari
8 kasus
49 orang
2
Februari
1 kasus
1 orang
3
Maret
1 kasus
1 orang
4
April
3 kasus
60 orang
5
Mei
2 kasus
11 orang
6
Juni
3 kasus
14 orang
7
Juli
5 kasus
16 orang
8
Agustus
9 kasus
10 orang
9
September
9 kasus
18 orang
10
Oktober
5 kasus
6 orang
11
November
5 kasus
15 orang
12
Desember
6 kasus
24 orang
 
Jumlah total
57 Kasus
225 orang
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember  2013)
 
Dalam kasus Inka Mina tahun 2012 di Kalimantan Timur, ditemui fakta bahwa: (1) Proses pembuatan kapal amburadul. Dengan perkataan lain, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main; (2) Sejak diterima, Kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun; (3) Mata jaring pukat terlalu kecil (hanya 1 inch). Mestinya mata jaring pukat 2-2,5 inch sehingga dapat dipakai untuk menangkap ikan besar, seperti tongkol, bukan ikan-ikan kecil; dan (4) Kedua kapal, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.
 
Berdasarkan temuan-temuan di atas, kelompok penerima kapal mengusulkan: (1) Kapal
harus dilengkapi dengan alat pendingin; (2) Sejak awal, nelayan harus dilibatkan dalam
pengadaan kapal sehingga bisa dipergunakan sesuai tujuan program; dan (3) Pengadaan alat tangkap harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah tangkap. Dalam bahasa nakhoda Kapal Inka Mina 198, desain kapal harus memperhatikan arus air di Laut Sulawesi yang bertingkat mulai dari bagian permukaan, tengah, hingga dasar laut. Tanpa kesungguhan memperbaiki, program pemberian kapal Inka Mina di Provinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2014 hanya akan mengulangi kekeliruan yang pernah dilakukan.
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi diartikan sebagai “turut berperan-serta di dalam suatu kegiatan”. Berkaca pada ketiga fakta di atas, dapatkah nelayan tradisional berpartisipasi dalam mengelola sumber daya perikanan?
 
Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam bagi rakyat. Tiga tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal-pasal HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan, KIARA menemukan sedikitnya 50 Kepala Daerah, terdiri dari: (i) 4 Gubernur; (ii) 36 Bupati; dan (iii) 10 Walikota yang memberlakukan kebijakan tidak  ramah terhadap nelayan, di antaranya memberikan izin tambang pasir laut/besi di wilayah pesisir; alih konversi mangrove; reklamasi pantai; dan alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU  (lihat Tabel 4). Terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan membolehkan asing ikut serta memanfaatkan pulau strategis dan perairan sekitarnya sembari mendiskriminasi masyarakat nelayan dan pembudidaya. Benarkah ada penghormatan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional?
 
Tabel 4. Daftar Kepala Daerah Tidak Ramah Nelayan
No
Kepala Daerah
Bentuk Kebijakan Tidak Ramah Nelayan
 
Gubernur
 
1
Jawa Timur
Perizinan Tambang Pasir Laut
2
Sumatera Utara
Alih konversi mangrove
3
DKI Jakarta
Reklamasi Pantai
4
Bali
Reklamasi Pantai
 
Bupati
 
5
Batang
Alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU
6
Serang
Perizinan Tambang Pasir Laut
7
Jepara
Perizinan Tambang Pasir Besi
8
Pandeglang
Perizinan Tambang Pasir
9
Bangka
Perizinan Tambang Timah
10
Belitung
Perizinan Tambang Timah
11
Langkat
Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
12
Asahan
Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
13
Tangerang
Reklamasi Pantai
14
Minahasa Utara
Reklamasi Pantai
15
Bolaang Mongondow Timur
Perizinan Tambang Pasir Besi
16
Bolaang Mongondow Utara
Perizinan Tambang Pasir Besi
17
Kepulauan Sangihe
Perizinan Tambang Pasir Besi
18
Gresik
Reklamasi Pantai
19
Mamuju
Reklamasi Pantai
20
Donggala
Reklamasi Pantai
21
Pangandaran
Perizinan Tambang Pasir Besi
22
Tasikmalaya
Perizinan Tambang Pasir Besi
23
Bandung Barat
Perizinan Tambang Pasir Besi
24
Minahasa Selatan
Perizinan Tambang Pasir Besi
25
Minahasa Tenggara
Perizinan Tambang Pasir Besi
26
Morowali
Reklamasi Pantai
27
Aceh Besar
Perizinan Tambang Pasir Laut
28
Seluma, Bengkulu
Perizinan Tambang Pasir Besi
29
Belitung
Perizinan Tambang Pasir Laut
30
Bangka
Perizinan Tambang Timah
31
Garut
Perizinan Tambang Pasir Besi
32
Kulon Progo
Perizinan Tambang Pasir Besi
33
Kebumen
Perizinan Tambang Pasir Besi
34
Cilacap
Perizinan Tambang Pasir Besi
35
Tulungagung
Perizinan Tambang Pasir Besi
36
Lumajang
Perizinan Tambang Pasir Besi
37
Jember
Perizinan Tambang Pasir Laut
38
Blitar
Perizinan Tambang Pasir Laut
39
Ende
Perizinan Tambang Pasir Besi
40
Konawe
Perizinan Tambang Pasir Besi
 
Walikota
 
41
Balikpapan
Perizinan Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai
42
Manado
Reklamasi Pantai
43
Palu
Reklamasi Pantai
44
Makasar
Reklamasi Pantai
45
Lampung
Reklamasi Pantai
46
Padang
Reklamasi Pantai
47
Semarang
Reklamasi Pantai
48
Surabaya
Reklamasi Pantai
49
Kupang
Reklamasi Pantai
50
Bau-bau
Reklamasi Pantai
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)
 
Empat tanda tanya di atas adalah ruang introspeksi bangsa Indonesia, terlebih bagi Menteri Kelautan dan Perikanan. Bung Hatta mengingatkan, “Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama, kolektivitas. Maka jelaslah bahwa persekutuan asli di Indonesia memakai asas kolektivisme. Bukan kolektivisme yang berdasar(kan) sentralisasi, melainkan desentralisasi. Apalagi mendasarkannya pada ideologi individualiasme, paham yang mendahulukan orang-seorang, bukan masyarakat”.
 
Seyogianya Menteri Kelautan dan Perikanan di sisa waktu pengabdiannya meneladani syair Rene de Clerq yang disitir oleh Bung Hatta dalam pelayanannya kepada masyarakat: “Hanya satu tanah yang bernama tanah airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Dengan jalan inilah, ia akan dikenang tanpa tanda tanya!
 
Sumber: Majalah Samudra Edisi 130 Tahun XII, Februari 2014), Halaman 32-33

Tidak ada komentar: