Oleh
Abdul Halim
Sekretaris
Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Klaim Menteri Kelautan dan Perikanan atas keberhasilannya
mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2013 bak kacang lupa
kulitnya. Penilaian ini setidaknya bertolak dari 4 tolak ukur “sebesar-besar
kemakmuran rakyat” sebagaimana diuraikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Dengan 70%
lautan dan kandungan sumber daya perikanan di dalamnya, bukan mustahil bagi
bangsa Indonesia untuk menjadi produsen perikanan utama dunia. Apalagi didukung
dengan anggaran yang terus membesar dan regulasi yang berlandasan prinsip survival of the fittest.
Sudah sejak tahun 2010, anggaran Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) mengalami peningkatan sebesar 140% (lihat Tabel 1): dari
Rp3,139,5 Triliun (2010) menjadi Rp7.077,4 (2013). Bahkan pada tahun
2011, terdapat tambahan sebesar Rp1.137.763.437.000 dari APBN Perubahan. Tak
mengherankan, peningkatan produksi perikanan, baik dari sektor perikanan
tangkap maupun budidaya, terus dipacu: 11.662.342 ton (2010); 13.643.234
ton (2011); 15.504.747 ton (2012); dan 19,56 juta ton (2013).
Tabel 1. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun
2010-2013
Tahun Anggaran
|
Jumlah
|
2010
|
Rp3.139,5
|
2011
|
Rp5.176,0
|
2012
|
Rp6.014,1
|
2013
|
Rp7.077,4
|
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2013),
diolah dari Data Pokok APBN 2007-2013, Kementerian Keuangan, Republik Indonesia
Kenaikan produksi perikanan bukanlah prestasi, melainkan
kelumrahan laiknya negara kelautan. Sebaliknya, sejumlah fakta tidak
terhubungnya program pemerintah dengan upaya penyejahteraan nelayan di desa
pesisir/perkampungan nelayan, di antaranya nelayan masih dihadapkan pada
perkara terputusnya tata kelola hulu ke hilir; tiadanya jaminan perlindungan
jiwa dan sosial (termasuk pendidikan dan kesehatan) bagi nelayan dan
keluarganya; semakin sulitnya akses melaut akibat praktek pembangunan yang
tidak ramah nelayan; serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Lebih parah lagi, akses BBM bersubsidi masih menjadi perkara
laten bagi masyarakat nelayan. Jika demikian, adakah manfaat sumber daya
perikanan yang dirasakan oleh pelaku perikanan skala kecil?
Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi
rakyat. Tatkala kenaikan produksi perikanan justru kian memperlebar jurang
kemiskinan: nelayan dan pembudidaya kecil diposisikan sebagai buruh, sementara
pemilik kapal/lahan bak majikan berkubang dana program pemerintah (KIARA,
Desember 2013), sulit untuk menyebut ada keberhasilan di balik pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan.
Temuan KIARA (Oktober 2013) menyebutkan: (i) penerima proyek demfarm tahun 2012 di
Indramayu, Jawa Barat, pada umumnya adalah juragan tambak dengan kepemilikan
lahan berkisar 20-40 hektar; (ii) format pengerjaan proyek tidak berbasis kelompok,
melainkan buruh-majikan; (iii) sistem penggajian menyalahi standar UMR, yakni
sebesar Rp. 700.000/orang. Padahal, UMR Kabupaten Indramayu pada tahun 2012
senilai Rp. 994.864; dan (iv) para pekerja tidak diberikan hak-hak dasarnya,
seperti jaminan perlindungan jiwa dan kesehatan, serta standar keselamatan
kerja di tambak. Jika situasinya seperti ini, benarkah manfaat pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan sudah merata dirasakan oleh masyarakat
nelayan tradisional?
Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
sumber daya alam. Sudah sejak tahun 2010, jumlah nelayan yang hilang dan
meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim mengalami peningkatan
(lihat Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut
2010-2012
No
|
Tahun
|
Jumlah
Nelayan
|
1
|
2010
|
86
|
2
|
2011
|
149
|
3
|
2012
|
186
|
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)
Tak hanya itu, ancaman bencana (gempa, banjir bandang, banjir
rob, gelombang tinggi, dan angin kencang) yang berakibat pada tidak bisa
melautnya masyarakat nelayan tradisional terus mengancam.
Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2013) menerima
laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten/kota di
Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana. Sayangnya, kedua fakta ini
tidak dianggap sebagai hal penting oleh Negara.
Mengingat kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan
sarana produksi nelayan, dan luasnya wilayah yang terkena dampak cuaca ekstrem
memberi dampak terhadap aktivitas ekonomi sosial nelayan tradisional dan
mengacu pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem semestinya dikategorikan sebagai
bencana nasional. Apalagi Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
sudah memberikan informasi prakiraan cuaca sebelumnya.
Ironisnya, informasi yang disediakan oleh BMKG tidak
dijadikan sebagai panduan KKP untuk melindungi nelayan. Akibatnya, sepanjang
tahun 2013, sebanyak 225 nelayan mengalami kecelakaan, hilang dan meninggal dunia
di laut tanpa jaminan perlindungan jiwa (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Nelayan Mengalami Kecelakaan, Hilang dan Wafat di Laut 2013
No
|
Bulan
|
Jumlah Kecelakaan
|
Jumlah Nelayan
Wafat
|
1
|
Januari
|
8 kasus
|
49 orang
|
2
|
Februari
|
1 kasus
|
1 orang
|
3
|
Maret
|
1 kasus
|
1 orang
|
4
|
April
|
3 kasus
|
60 orang
|
5
|
Mei
|
2 kasus
|
11 orang
|
6
|
Juni
|
3 kasus
|
14 orang
|
7
|
Juli
|
5 kasus
|
16 orang
|
8
|
Agustus
|
9 kasus
|
10 orang
|
9
|
September
|
9 kasus
|
18 orang
|
10
|
Oktober
|
5 kasus
|
6 orang
|
11
|
November
|
5 kasus
|
15 orang
|
12
|
Desember
|
6 kasus
|
24 orang
|
|
Jumlah total
|
57 Kasus
|
225 orang
|
Sumber: Pusat Data
dan Informasi KIARA (Desember 2013)
Dalam kasus Inka Mina tahun 2012 di Kalimantan Timur, ditemui
fakta bahwa: (1) Proses pembuatan kapal amburadul. Dengan perkataan lain,
pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan
main-main; (2) Sejak diterima, Kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka
Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun;
(3) Mata jaring pukat terlalu kecil (hanya 1 inch). Mestinya mata jaring pukat
2-2,5 inch sehingga dapat dipakai untuk menangkap ikan besar, seperti tongkol,
bukan ikan-ikan kecil; dan (4) Kedua kapal, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198,
tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan
Timur bagian Utara.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, kelompok penerima kapal
mengusulkan: (1) Kapal
harus dilengkapi dengan alat pendingin; (2) Sejak awal,
nelayan harus dilibatkan dalam
pengadaan kapal sehingga bisa dipergunakan sesuai tujuan
program; dan (3) Pengadaan alat tangkap harus disesuaikan dengan karakteristik
wilayah tangkap. Dalam bahasa nakhoda Kapal Inka Mina 198, desain kapal harus
memperhatikan arus air di Laut Sulawesi yang bertingkat mulai dari bagian
permukaan, tengah, hingga dasar laut. Tanpa kesungguhan memperbaiki, program
pemberian kapal Inka Mina di Provinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2014 hanya
akan mengulangi kekeliruan yang pernah dilakukan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi diartikan
sebagai “turut berperan-serta di dalam suatu kegiatan”. Berkaca pada ketiga fakta
di atas, dapatkah nelayan tradisional berpartisipasi dalam mengelola sumber
daya perikanan?
Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara
turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam bagi rakyat. Tiga tahun pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal-pasal HP3 (Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menegaskan adanya 4 hak
konstitusional masyarakat nelayan, KIARA menemukan sedikitnya 50 Kepala Daerah,
terdiri dari: (i) 4 Gubernur; (ii) 36 Bupati; dan (iii) 10 Walikota yang
memberlakukan kebijakan tidak ramah
terhadap nelayan, di antaranya memberikan izin tambang pasir laut/besi di
wilayah pesisir; alih konversi mangrove; reklamasi pantai; dan alih fungsi
kawasan konservasi untuk PLTU (lihat
Tabel 4). Terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan membolehkan asing ikut serta
memanfaatkan pulau strategis dan perairan sekitarnya sembari mendiskriminasi
masyarakat nelayan dan pembudidaya. Benarkah ada penghormatan terhadap hak-hak
konstitusional masyarakat nelayan tradisional?
Tabel 4. Daftar Kepala Daerah Tidak Ramah Nelayan
No
|
Kepala
Daerah
|
Bentuk
Kebijakan Tidak Ramah Nelayan
|
|
Gubernur
|
|
1
|
Jawa Timur
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
2
|
Sumatera Utara
|
Alih konversi mangrove
|
3
|
DKI Jakarta
|
Reklamasi Pantai
|
4
|
Bali
|
Reklamasi Pantai
|
|
Bupati
|
|
5
|
Batang
|
Alih fungsi kawasan konservasi untuk PLTU
|
6
|
Serang
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
7
|
Jepara
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
8
|
Pandeglang
|
Perizinan Tambang Pasir
|
9
|
Bangka
|
Perizinan Tambang Timah
|
10
|
Belitung
|
Perizinan Tambang Timah
|
11
|
Langkat
|
Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
|
12
|
Asahan
|
Pembolehan/Pembiaran Pemakaian Trawl
|
13
|
Tangerang
|
Reklamasi Pantai
|
14
|
Minahasa Utara
|
Reklamasi Pantai
|
15
|
Bolaang Mongondow Timur
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
16
|
Bolaang Mongondow Utara
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
17
|
Kepulauan Sangihe
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
18
|
Gresik
|
Reklamasi Pantai
|
19
|
Mamuju
|
Reklamasi Pantai
|
20
|
Donggala
|
Reklamasi Pantai
|
21
|
Pangandaran
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
22
|
Tasikmalaya
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
23
|
Bandung Barat
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
24
|
Minahasa Selatan
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
25
|
Minahasa Tenggara
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
26
|
Morowali
|
Reklamasi Pantai
|
27
|
Aceh Besar
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
28
|
Seluma, Bengkulu
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
29
|
Belitung
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
30
|
Bangka
|
Perizinan Tambang Timah
|
31
|
Garut
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
32
|
Kulon Progo
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
33
|
Kebumen
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
34
|
Cilacap
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
35
|
Tulungagung
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
36
|
Lumajang
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
37
|
Jember
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
38
|
Blitar
|
Perizinan Tambang Pasir Laut
|
39
|
Ende
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
40
|
Konawe
|
Perizinan Tambang Pasir Besi
|
|
Walikota
|
|
41
|
Balikpapan
|
Perizinan Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai
|
42
|
Manado
|
Reklamasi Pantai
|
43
|
Palu
|
Reklamasi Pantai
|
44
|
Makasar
|
Reklamasi Pantai
|
45
|
Lampung
|
Reklamasi Pantai
|
46
|
Padang
|
Reklamasi Pantai
|
47
|
Semarang
|
Reklamasi Pantai
|
48
|
Surabaya
|
Reklamasi Pantai
|
49
|
Kupang
|
Reklamasi Pantai
|
50
|
Bau-bau
|
Reklamasi Pantai
|
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2013)
Empat tanda tanya di atas adalah ruang introspeksi bangsa
Indonesia, terlebih bagi Menteri Kelautan dan Perikanan. Bung Hatta
mengingatkan, “Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama,
kolektivitas. Maka jelaslah bahwa persekutuan asli di Indonesia memakai asas
kolektivisme. Bukan kolektivisme yang berdasar(kan) sentralisasi, melainkan
desentralisasi. Apalagi mendasarkannya pada ideologi individualiasme, paham
yang mendahulukan orang-seorang, bukan masyarakat”.
Seyogianya Menteri Kelautan dan Perikanan di sisa waktu
pengabdiannya meneladani syair Rene de Clerq yang disitir oleh Bung Hatta dalam
pelayanannya kepada masyarakat: “Hanya satu tanah yang bernama tanah airku. Ia
makmur karena usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Dengan jalan inilah, ia akan
dikenang tanpa tanda tanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar