Pandai saja tak cukup. Butuh kebijaksanaan di dalam kepintaran yang kita miliki, agar kita menjadi manusia yang seutuhnya.
Pesan saya, pertama
, saat kita berilmu, sebaiknya tidak menganggap remeh orang lain. Sebab,
bisa jadi, orang lain malah memiliki kelebihan yang tak kita punyai.
Ingat, bahwa kita hidup saling melengkapi. Satu sama lain saling
membutuhkan.
Kedua, jadikan ilmu sebagai bagian dari praktik kehidupan. Jangan sampai, kita belajar hanya sekadar mengajar status atau ijazah. Namun, jadilah manusia cerdas yang mampu menjadikan semua ilmu bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Simak cerita motivasi penuh wisdom dan inspirasi http://tinyurl.com/PandaiBijak
Salam Sukses Luar Biasa!!
Cerita ini sudah sering disebarkan, tapi menurut saya masih relevan untuk membuat kita sadar, bahwa kepintaran seharusnya bisa membuat seseorang lebih berarti.
Alkisah, ada seorang profesor pintar yang hendak pergi ke negeri seberang. Untuk itu, ia ikut sebuah kapal dengan layar besar. Sebagai orang yang terpandang karena kepintarannya, profesor ini mendapat tempat yang nyaman di dalam salah satu kamar terbaik di kapal tersebut. Selama ini, ia memang cukup disegani karena memiliki kepintaran di berbagai bidang ilmu. Baginya, tiada hari tanpa belajar dalam hidupnya.
Di tengah perjalanan yang cukup panjang, selepas makan malam, ia berkeliling di geladak kapal. Ia ingin tahu, ilmu apa yang dipakai para pekerja di kapal, sehingga selama ini mampu menjelajah ke banyak negeri.
Dengan niat tersebut, maka dicarinyalah orang yang dianggap senior di kapal tersebut. Ia lantas bertemu dengan seorang kelasi yang cukup berumur sedang istirahat.
“Wahai kelasi kapal, sudah berapa lama kamu bekerja di kapal ini?” tanya profesor menyapa ramah.
“Wah, seingat saya, sudah lebih dari 25 tahun saya mengabdi di kapal ini,” jawabnya.
“Berarti, kamu paham betul dengan segala seluk beluk di kapal ini ya? Tahukah kamu, kalau di bawah sana, di dasar laut, tersimpan berjuta kekayaan? Pasti kamu juga tahu, bahwa di bawah sana juga ada mineral laut dan minyak yang berguna untuk kehidupan?”
Si kelasi mengernyitkan dahi. “Ah… saya hanya kelasi kapal biasa. Yang saya tahu, di bawah itu hanya air dan ikan. Itu cukup bagi saya,” jawab kelasi sekenanya.
Profesor tak puas dengan jawaban tersebut. Maka, ia pun segera berlalu karena merasa tak mendapat ilmu yang dicarinya.
Hari berikutnya, ia berjalan di buritan kapal. Ia bertemu kembali dengan kelasi yang sama. Kali ini, ia bertanya hal yang lain lagi. “Hai kelasi. Kamu sudah sangat lama bekerja di sini. Pasti tahu soal perbintangan ya? Kamu pasti tahu ke mana arah kapal ini dari rasi-rasi bintang di atas sana?”
Sang kelasi kembali menjawab dengan sekenanya. “Prof, saya hanya kelasi biasa. Yang saya tahu, di atas sana memang banyak bintang. Tapi, kalau soal arah ke mana kapal ini, sudah ada kapten kapal yang jauh lebih paham daripada saya.”
Mendengar jawaban tersebut, profesor sangat kecewa. “Huh, aku di sini ikut berlayar ingin mencari ilmu baru. Tapi, ternyata, kelasi yang sudah lama pun tak punya ilmu apa-apa. Lantas, 25 tahun lebih masamu bekerja di sini untuk apa saja? Sungguh hidup yang sia-sia!” ketus sang profesor sembari meninggalkan kelasi yang keheranan atas sikap profesor.
Malam berikutnya, badai mengamuk hebat. Kapal bergoncang-goncang dahsyat. Ombak besar berkali-kali menghantam kapal sehingga akhirnya kapal itu oleng. Sang profesor ketakutan. Dalam keadaan darurat itu, ia kembali bertemu dengan si kelasi. “Prof, mengapa Anda sangat ketakutan? Ini hal yang biasa terjadi. Tenang saja!”
“Aku tak bisa berenang!” kalut si profesor.
“Wah… puluhan tahun Anda belajar, mengapa Anda tak tahu ilmu dasar di atas kapal? Anda belajar banyak, ilmu sangat kaya, tapi kalau di atas kapal, ilmu dasar seperti berenang itulah yang harusnya Anda miliki. Sungguh sia-sia semua ilmu yang Anda miliki saat ini!”
Pembaca yang Bijaksana,
Kisah tersebut setidaknya menggambarkan dua hal penting. Pertama, saat kita berilmu, jangan menjadi sombong. Jangan menganggap remeh orang lain. Sebab, bisa jadi, orang lain malah memiliki kelebihan yang tak kita punyai. Ingat, bahwa kita hidup saling melengkapi. Satu sama lain saling membutuhkan. Karena itu, jangan sampai kepintaran menjadi tak bermanfaat karena tertutupi kesombongan.
Kedua, jadikan ilmu sebagai bagian dari praktik kehidupan. Jangan sampai, kita belajar hanya sekadar mengajar status atau ijazah. Namun, jadilah manusia cerdas yang mampu menjadikan semua ilmu bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Mari, jangan sampai hidup kita sia-sia karena memiliki “kepandaian yang tidak berarti”. Jangan jadikan ilmu yang kita peroleh hanya berujung pada pengetahuan semata. Namun, maksimalkan ilmu dengan membuat banyak karya dengan tindakan nyata, agar kepandaian bisa membawa kebaikan dan keberkahan untuk sesama.
Salam sukses, luar biasa!!
http://m.andriewongso.com/articles/details/12260/Kepandaian-yang-Sia-sia
Cerita ini sudah sering disebarkan, tapi menurut saya masih relevan untuk membuat kita sadar, bahwa kepintaran seharusnya bisa membuat seseorang lebih berarti.
Alkisah, ada seorang profesor pintar yang hendak pergi ke negeri seberang. Untuk itu, ia ikut sebuah kapal dengan layar besar. Sebagai orang yang terpandang karena kepintarannya, profesor ini mendapat tempat yang nyaman di dalam salah satu kamar terbaik di kapal tersebut. Selama ini, ia memang cukup disegani karena memiliki kepintaran di berbagai bidang ilmu. Baginya, tiada hari tanpa belajar dalam hidupnya.
Di tengah perjalanan yang cukup panjang, selepas makan malam, ia berkeliling di geladak kapal. Ia ingin tahu, ilmu apa yang dipakai para pekerja di kapal, sehingga selama ini mampu menjelajah ke banyak negeri.
Dengan niat tersebut, maka dicarinyalah orang yang dianggap senior di kapal tersebut. Ia lantas bertemu dengan seorang kelasi yang cukup berumur sedang istirahat.
“Wahai kelasi kapal, sudah berapa lama kamu bekerja di kapal ini?” tanya profesor menyapa ramah.
“Wah, seingat saya, sudah lebih dari 25 tahun saya mengabdi di kapal ini,” jawabnya.
“Berarti, kamu paham betul dengan segala seluk beluk di kapal ini ya? Tahukah kamu, kalau di bawah sana, di dasar laut, tersimpan berjuta kekayaan? Pasti kamu juga tahu, bahwa di bawah sana juga ada mineral laut dan minyak yang berguna untuk kehidupan?”
Si kelasi mengernyitkan dahi. “Ah… saya hanya kelasi kapal biasa. Yang saya tahu, di bawah itu hanya air dan ikan. Itu cukup bagi saya,” jawab kelasi sekenanya.
Profesor tak puas dengan jawaban tersebut. Maka, ia pun segera berlalu karena merasa tak mendapat ilmu yang dicarinya.
Hari berikutnya, ia berjalan di buritan kapal. Ia bertemu kembali dengan kelasi yang sama. Kali ini, ia bertanya hal yang lain lagi. “Hai kelasi. Kamu sudah sangat lama bekerja di sini. Pasti tahu soal perbintangan ya? Kamu pasti tahu ke mana arah kapal ini dari rasi-rasi bintang di atas sana?”
Sang kelasi kembali menjawab dengan sekenanya. “Prof, saya hanya kelasi biasa. Yang saya tahu, di atas sana memang banyak bintang. Tapi, kalau soal arah ke mana kapal ini, sudah ada kapten kapal yang jauh lebih paham daripada saya.”
Mendengar jawaban tersebut, profesor sangat kecewa. “Huh, aku di sini ikut berlayar ingin mencari ilmu baru. Tapi, ternyata, kelasi yang sudah lama pun tak punya ilmu apa-apa. Lantas, 25 tahun lebih masamu bekerja di sini untuk apa saja? Sungguh hidup yang sia-sia!” ketus sang profesor sembari meninggalkan kelasi yang keheranan atas sikap profesor.
Malam berikutnya, badai mengamuk hebat. Kapal bergoncang-goncang dahsyat. Ombak besar berkali-kali menghantam kapal sehingga akhirnya kapal itu oleng. Sang profesor ketakutan. Dalam keadaan darurat itu, ia kembali bertemu dengan si kelasi. “Prof, mengapa Anda sangat ketakutan? Ini hal yang biasa terjadi. Tenang saja!”
“Aku tak bisa berenang!” kalut si profesor.
“Wah… puluhan tahun Anda belajar, mengapa Anda tak tahu ilmu dasar di atas kapal? Anda belajar banyak, ilmu sangat kaya, tapi kalau di atas kapal, ilmu dasar seperti berenang itulah yang harusnya Anda miliki. Sungguh sia-sia semua ilmu yang Anda miliki saat ini!”
Pembaca yang Bijaksana,
Kisah tersebut setidaknya menggambarkan dua hal penting. Pertama, saat kita berilmu, jangan menjadi sombong. Jangan menganggap remeh orang lain. Sebab, bisa jadi, orang lain malah memiliki kelebihan yang tak kita punyai. Ingat, bahwa kita hidup saling melengkapi. Satu sama lain saling membutuhkan. Karena itu, jangan sampai kepintaran menjadi tak bermanfaat karena tertutupi kesombongan.
Kedua, jadikan ilmu sebagai bagian dari praktik kehidupan. Jangan sampai, kita belajar hanya sekadar mengajar status atau ijazah. Namun, jadilah manusia cerdas yang mampu menjadikan semua ilmu bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Mari, jangan sampai hidup kita sia-sia karena memiliki “kepandaian yang tidak berarti”. Jangan jadikan ilmu yang kita peroleh hanya berujung pada pengetahuan semata. Namun, maksimalkan ilmu dengan membuat banyak karya dengan tindakan nyata, agar kepandaian bisa membawa kebaikan dan keberkahan untuk sesama.
Salam sukses, luar biasa!!
http://m.andriewongso.com/articles/details/12260/Kepandaian-yang-Sia-sia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar