02 Oktober, 2013

Selat Malaka dalam Momentum 2014

Oleh Abdul Halim*
Asia Tenggara memiliki jalur pelayaran penting bagi perdagangan dunia, di antaranya Selat Malaka dan Singapura, Sunda, dan Lombok. Dari keempat titik tersebut, Selat Malaka merupakan jalur tersibuk dan memiliki nilai signifikan bagi negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dan negara pengguna.
Selat terpendek yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan India dengan Teluk Persia, serta menjadi pintu masuk antara pelabuhan-pelabuhan Eropa via Terusan Suez dan Laut Merah dengan daratan Asia Timur ini menjadi arena pertarungan kepentingan politik dan komersial berbagai negara.
Kontestasi
Sifat strategis Selat Malaka sebagai jalur komunikasi laut utama ini telah menyebabkan banyak negara ingin mengontrolnya, termasuk Amerika Serikat, China, Jepang dan India. Tak hanya itu, Negara-negara dengan kekuatan laut di kawasan juga bersaing untuk mendominasi jalur maritim di Asia ini.
Persaingan ini dipicu oleh kepentingan ekonomi pelbagai negara yang terus membesar dari tahun ke tahun. Jepang, misalnya, hampir 80 persen pasokan minyaknya diimpor dari Timur Tengah melalui Selat Malaka. Ditambah lagi karakter geografisnya sebagai negara kepulauan, miskin alokasi sumber daya, dan jauhnya jarak dengan pemasok energi, bahan baku dan makanan menjadikan Jepang menaruh perhatian terhadap pentingnya keamanan pelayaran di selat ini.
Tak jauh berbeda, India juga memberikan perhatian ekstra terhadap keamanan jalur pelayaran ini dari ancaman pembajakan dan terorisme. Hal ini didorong oleh karena lebih dari 50 persen produk-produk perdagangannya diangkut melintasi Selat Malaka.
China, kekuatan besar baru di kawasan Asia Timur, juga sangat tergantung pada Selat Malaka untuk perdagangan dan transportasi energinya. Signifikansi kepentingan strategis China terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini, sekitar 60 persen minyak mentah yang diimpor China berasal dari Timur Tengah, dan angka ini diprediksi meningkat menjadi 75 persen di tahun 2015. Minyak dari Teluk Persia dan Afrika dikirim ke China melalui Selat Malaka, Lombok atau Makassar.
Cleary dan Chuan (2000: 133-4) menyebutkan bahwa: (1) sekitar 200 kapal per hari dan 150 tanker tiap menitnya melewati perairan Selat Malaka; (2) sekitar 72 persen kapal tanker melewati jalur ini dan hanya 28 persen lainnya melalui Selat Makasar dan Selat Lombok; dan (3) Perputaran uang di selat ini berkisar antara US$84 miliar hingga US$250 miliar per tahunnya. Dilihat dari jumlah kapal, dalam hitungan tahun terdapat lebih dari 60.000 kapal yang berlayar melintasi Selat Malaka dengan membawa aneka macam kargo, dari minyak mentah hingga produk jadi yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Angka ini hampir 3 kali lipat dari jumlah kapal yang berlayar melalui Terusan Panama dan lebih dari 2 kali lipat dari Terusan Suez.
Kepentingan ekonomi pelbagai negara di Selat Malaka memicu terjadinya peningkatan kekuatan militer. Seperti dicatat IHS Jane's Defence (2013), jumlah anggaran pertahanan global diperkirakan akan mencapai 1,65 triliun dollar AS pada tahun 2021. Pada tahun 2012, Amerika Serikat menyumbang 656,21 miliar dollar AS; China 126,29 milliar dollar AS, Jepang 65,67 dollar AS, dan India 44,55 dollar AS.
Paradoks
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam kenyataannya, laut dipandang bukan sebagai yang “utama”, sehingga ada ungkapan “negara kelautan tetapi orientasinya daratan”. Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal persoalan besar sebuah negeri dengan  pantai terpanjang kedua di dunia bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Potensi masalah pun muncul di sana. Banyak masalah terjadi di laut: pencurian ikan oleh nelayan asing yang belakangan difasilitasi melalui kebijakan Negara, penyelundupan, pembajakan, dan pencemaran, menunjukkan betapa masih rendahnya orientasi terhadap laut.
Berbeda dengan negara-negara tetangga, Indonesia justru tidak bergantung pada perdagangan dan tidak memiliki perhatian ekstra terhadap keselamatan maritim. Indonesia lebih fokus kepada persoalan dalam negeri, seperti pembangunan ekonomi, reformasi politik, integritas wilayah, dan Islam militan (Dela Pena, 2009: 4).
Meskipun Indonesia memiliki perjalanan sejarah ketangguhan pelayaran yang panjang, berbagai persoalan mendasar justru masih dihadapi, di antaranya (1) penguasaan teknologi baru yang memungkinkan pemerintah mengawasi laut lemah; (2) pendapatan negara lebih banyak bersumber dari aktivitas ekspor sumber daya alam sehingga mendorong maraknya kompetisi internal untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya. Dalam pada itu pengembangan teknologi kelautan jalan di tempat dan tidak mendapatkan alokasi anggaran semestinya; dan (3) kesulitan mengoordinasikan instansi-instansi pemerintah yang bertanggung jawab kepada persoalan kelautan (Cribb dan Ford, 2009: 13-15).
Dalam pemanfaatan laut sebagai penghubung masyarakat kepulauan, Indonesia juga dipandang belum efisien dalam mengembangkan kapal penumpang dan kargo antarpulau.  Selain itu, proses peningkatan kapasitasnya juga sangat lemah. Bahkan pada tahun 1981, kapal penumpang Tampomas II tenggelam dan sebanyak 580 jiwa meninggal dunia.
Indonesia juga tertinggal dalam mengelola fasilitas pelabuhannya. Di mata masyarakat internasional, pelabuhan-pelabuhan Indonesia dikenal karena lambat, kurang fasilitas, dan manajemennya yang buruk. Data United Nations Conference on Trade and Development (2010) menunjukkan bahwa dari 20 pelabuhan terminal kontainer terbaik di dunia pada 2009, lima di antaranya adalah Singapura, Shanghai, Hong Kong, Shenzhen, dan Busan. Perbedaan antara Singapura dan Shanghai menjadi lebih pendek pada tahun 2009, yakni 864.400 TEUs (ten-foot equivalent units), dari 1,9 juta TEUs di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, negara-negara di kawasan terus mengembangkan kapasitas ekonomi kelautannya. Ironisnya, Indonesia belum melakukan banyak pembenahan untuk memaksimalkan geostrateginya.
Momentum 2014
Indonesia—khususnya, Pulau Sumatera—dan Semenanjung Malaysia di seberang Selat Malaka membentuk jantung maritim Asia. Selat Malaka adalah Fulda Gap dunia multipolar abad ke-21, tempat di mana seluruh jalur pelayaran antara Laut Merah dan Laut Jepang bertemu di jantung rute pelayaran perdagangan dunia; tempat di mana wilayah pengaruh angkatan laut China dan India bertemu; tempat di mana Samudera India terhubung dengan Pasifik Barat. Volume lalu lintas energi kapal tanker akan tumbuh di Selat Malaka setidaknya 50 persen pada tahun 2020, menunjukkan pentingnya selat tersebut (Kaplan, 2011: 261).
Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam mengelola Selat Malaka: pertama, dengan memisahkan daratan Indonesia ke dalam bentuk pulau-pulau, laut menciptakan tantangan di bidang komunikasi, koordinasi, dan bahkan menyangkut identitas; dan kedua, laut yang ditaburi oleh pulau-pulau di atasnya. Dalam konteks ini, laut merepresentasikan kepentingan strategis suatu Negara. Ditambah lagi, laut tersebut ditetapkan sebagai jalur komunikasi laut internasional.
Pemilu 2014 adalah momentum pembenahan dan kembali ke jati diri: Negara Kelautan.

*Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Sumber: Jurnal Maritim Edisi ke-5, September 2013, Hal. 58-9.

Tidak ada komentar: