Oleh Abdul Halim*
Asia
Tenggara memiliki jalur pelayaran penting bagi perdagangan dunia, di
antaranya Selat Malaka dan Singapura, Sunda, dan Lombok. Dari keempat
titik tersebut, Selat Malaka merupakan jalur tersibuk dan memiliki nilai
signifikan bagi negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dan
negara pengguna.
Selat terpendek yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan India dengan
Teluk Persia, serta menjadi pintu masuk antara pelabuhan-pelabuhan Eropa
via Terusan Suez dan Laut Merah dengan daratan Asia Timur ini menjadi
arena pertarungan kepentingan politik dan komersial berbagai negara.
Kontestasi
Sifat strategis Selat Malaka sebagai jalur
komunikasi laut utama ini telah menyebabkan banyak negara ingin
mengontrolnya, termasuk Amerika Serikat, China, Jepang dan India. Tak
hanya itu, Negara-negara dengan kekuatan laut di kawasan juga bersaing
untuk mendominasi jalur maritim di Asia ini.
Persaingan ini dipicu oleh kepentingan ekonomi pelbagai negara yang
terus membesar dari tahun ke tahun. Jepang, misalnya, hampir 80 persen
pasokan minyaknya diimpor dari Timur Tengah melalui Selat Malaka.
Ditambah lagi karakter geografisnya sebagai negara kepulauan, miskin
alokasi sumber daya, dan jauhnya jarak dengan pemasok energi, bahan baku
dan makanan menjadikan Jepang menaruh perhatian terhadap pentingnya
keamanan pelayaran di selat ini.
Tak jauh berbeda, India juga memberikan perhatian ekstra terhadap
keamanan jalur pelayaran ini dari ancaman pembajakan dan terorisme. Hal
ini didorong oleh karena lebih dari 50 persen produk-produk
perdagangannya diangkut melintasi Selat Malaka.
China, kekuatan besar baru di kawasan Asia Timur, juga sangat
tergantung pada Selat Malaka untuk perdagangan dan transportasi
energinya. Signifikansi kepentingan strategis China terus meningkat
setiap tahunnya. Saat ini, sekitar 60 persen minyak mentah yang diimpor
China berasal dari Timur Tengah, dan angka ini diprediksi meningkat
menjadi 75 persen di tahun 2015. Minyak dari Teluk Persia dan Afrika
dikirim ke China melalui Selat Malaka, Lombok atau Makassar.
Cleary dan Chuan (2000: 133-4) menyebutkan bahwa: (1) sekitar 200
kapal per hari dan 150 tanker tiap menitnya melewati perairan Selat
Malaka; (2) sekitar 72 persen kapal tanker melewati jalur ini dan hanya
28 persen lainnya melalui Selat Makasar dan Selat Lombok; dan (3)
Perputaran uang di selat ini berkisar antara US$84 miliar hingga US$250
miliar per tahunnya. Dilihat dari jumlah kapal, dalam hitungan tahun
terdapat lebih dari 60.000 kapal yang berlayar melintasi Selat Malaka
dengan membawa aneka macam kargo, dari minyak mentah hingga produk jadi
yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Angka ini hampir 3 kali lipat
dari jumlah kapal yang berlayar melalui Terusan Panama dan lebih dari 2
kali lipat dari Terusan Suez.
Kepentingan ekonomi pelbagai negara di Selat Malaka memicu
terjadinya peningkatan kekuatan militer. Seperti dicatat IHS Jane's
Defence (2013), jumlah anggaran pertahanan global diperkirakan akan
mencapai 1,65 triliun dollar AS pada tahun 2021. Pada tahun 2012,
Amerika Serikat menyumbang 656,21 miliar dollar AS; China 126,29 milliar
dollar AS, Jepang 65,67 dollar AS, dan India 44,55 dollar AS.
Paradoks
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam kenyataannya,
laut dipandang bukan sebagai yang “utama”, sehingga ada ungkapan “negara
kelautan tetapi orientasinya daratan”. Ini pula yang menjadi faktor
kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Padahal persoalan besar sebuah negeri dengan pantai terpanjang
kedua di dunia bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya
seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Potensi masalah pun muncul
di sana. Banyak masalah terjadi di laut: pencurian ikan oleh nelayan
asing yang belakangan difasilitasi melalui kebijakan Negara,
penyelundupan, pembajakan, dan pencemaran, menunjukkan betapa masih
rendahnya orientasi terhadap laut.
Berbeda dengan negara-negara tetangga, Indonesia justru tidak
bergantung pada perdagangan dan tidak memiliki perhatian ekstra terhadap
keselamatan maritim. Indonesia lebih fokus kepada persoalan dalam
negeri, seperti pembangunan ekonomi, reformasi politik, integritas
wilayah, dan Islam militan (Dela Pena, 2009: 4).
Meskipun Indonesia memiliki perjalanan sejarah ketangguhan pelayaran
yang panjang, berbagai persoalan mendasar justru masih dihadapi, di
antaranya (1) penguasaan teknologi baru yang memungkinkan pemerintah
mengawasi laut lemah; (2) pendapatan negara lebih banyak bersumber dari
aktivitas ekspor sumber daya alam sehingga mendorong maraknya kompetisi
internal untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya. Dalam pada itu
pengembangan teknologi kelautan jalan di tempat dan tidak mendapatkan
alokasi anggaran semestinya; dan (3) kesulitan mengoordinasikan
instansi-instansi pemerintah yang bertanggung jawab kepada persoalan
kelautan (Cribb dan Ford, 2009: 13-15).
Dalam pemanfaatan laut sebagai penghubung masyarakat kepulauan,
Indonesia juga dipandang belum efisien dalam mengembangkan kapal
penumpang dan kargo antarpulau. Selain itu, proses peningkatan
kapasitasnya juga sangat lemah. Bahkan pada tahun 1981, kapal penumpang
Tampomas II tenggelam dan sebanyak 580 jiwa meninggal dunia.
Indonesia juga tertinggal dalam mengelola fasilitas pelabuhannya. Di
mata masyarakat internasional, pelabuhan-pelabuhan Indonesia dikenal
karena lambat, kurang fasilitas, dan manajemennya yang buruk. Data
United Nations Conference on Trade and Development (2010) menunjukkan
bahwa dari 20 pelabuhan terminal kontainer terbaik di dunia pada 2009,
lima di antaranya adalah Singapura, Shanghai, Hong Kong, Shenzhen, dan
Busan. Perbedaan antara Singapura dan Shanghai menjadi lebih pendek pada
tahun 2009, yakni 864.400 TEUs (ten-foot equivalent units), dari 1,9
juta TEUs di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke
tahun, negara-negara di kawasan terus mengembangkan kapasitas ekonomi
kelautannya. Ironisnya, Indonesia belum melakukan banyak pembenahan
untuk memaksimalkan geostrateginya.
Momentum 2014
Indonesia—khususnya, Pulau Sumatera—dan
Semenanjung Malaysia di seberang Selat Malaka membentuk jantung maritim
Asia. Selat Malaka adalah Fulda Gap dunia multipolar abad ke-21, tempat
di mana seluruh jalur pelayaran antara Laut Merah dan Laut Jepang
bertemu di jantung rute pelayaran perdagangan dunia; tempat di mana
wilayah pengaruh angkatan laut China dan India bertemu; tempat di mana
Samudera India terhubung dengan Pasifik Barat. Volume lalu lintas energi
kapal tanker akan tumbuh di Selat Malaka setidaknya 50 persen pada
tahun 2020, menunjukkan pentingnya selat tersebut (Kaplan, 2011: 261).
Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam mengelola Selat
Malaka: pertama, dengan memisahkan daratan Indonesia ke dalam bentuk
pulau-pulau, laut menciptakan tantangan di bidang komunikasi,
koordinasi, dan bahkan menyangkut identitas; dan kedua, laut yang
ditaburi oleh pulau-pulau di atasnya. Dalam konteks ini, laut
merepresentasikan kepentingan strategis suatu Negara. Ditambah lagi,
laut tersebut ditetapkan sebagai jalur komunikasi laut internasional.
Pemilu 2014 adalah momentum pembenahan dan kembali ke jati diri: Negara Kelautan.
*Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Sumber: Jurnal Maritim Edisi ke-5, September 2013, Hal. 58-9.
02 Oktober, 2013
Selat Malaka dalam Momentum 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar