20 September, 2013

Laut Meluap


Seiring memanasnya planet ini, muka laut pun meninggi.

Oleh Tim Folger
Foto oleh Stephen Wilkes
PADA SAAT MEMBELOK KE arah pesisir timur laut Amerika Serikat pada 29 Oktober lalu, Badai Sandy telah melibas beberapa negara di Karibia dan menewaskan puluhan jiwa. Berhadapan dengan badai terbesar yang pernah terbentuk di Samudra Atlantik, New York, dan kota-kota lain memerintahkan evakuasi wajib dari wilayah dataran rendah.

Tidak semua orang me­matuhinya. Orang-orang yang memilih meng­hadapi Badai Sandy berkesempatan meng­intip masa depan, ketika dunia yang lebih panas niscaya akan menyebabkan laut naik. Brandon d’Leo, pematung dan peselancar berusia 43 tahun, tinggal di Semenanjung Rockaway, daratan sempit sepanjang 18 kilo­meter yang berpenduduk padat, mencuat dari Long Island. “Ketika kami diberi tahu bahwa air pasang dari badai ini akan lebih buruk, saya tidak takut,” katanya. Tetapi, dia akan segera berubah pikiran.

D’Leo tinggal di apartemen kontrakan lantai dua di rumah tiga lantai, di pesisir selatan se­menanjung itu. Pada sekitar pukul 15.30, dia keluar rumah. Ombak berdebur pada jalan papan sepanjang sembilan kilometer. “Air sudah mulai menerobos jalan papan itu,” katanya. “Saya pikir, Wah, puncak pasang masih empat setengah jam lagi. Sepuluh menit lagi, mungkin air sudah lebih dekat tiga meter ke jalan.”

Usai kembali ke apartemen, d’Leo dan te­tangganya, Davina Grincevicius, mengamati laut. Sementara itu, hujan yang tertiup angin menerpa pintu kaca geser. Induk semangnya, yang khawatir rumah itu kebanjiran, telah mematikan listrik. Saat hari gelap, Grincevicius melihat sesuatu yang menggelisahkan. “Seperti­nya jalan papan itu baru saja bergerak,” katanya. Beberapa menit kemudian, lonjakan air lain mengangkat jalan papan itu lagi. Jalan kayu itu mulai tercerai-berai.

Tiga bagian besar jalan papan itu menabrak dua pohon pinus di depan apartemen d’Leo. Jalanan telah menjadi sungai sedalam satu meter, sementara ombak demi ombak menumpah­kan air ke semenanjung. Mobil-mobil mulai mengapung dalam air yang menggelora, lolongan alarmnya menambah kegaduhan angin, air deras, dan kayu retak.

Di sebelah barat, langit diterangi sesuatu yang mirip kembang api—trafo listrik meledak-ledak di Breezy Point, lingkungan di dekat ujung semenanjung. Malam itu, lebih dari seratus rumah habis dilalap api. Pepohonan di halaman depan menyelamat­kan rumah d’Leo, dan mungkin nyawa semua orang di dalamnya—d’Leo, Grincevicius, dan dua nenek yang tinggal di apartemen di lantai bawah.

“Keluar rumah tidak mungkin,” kata d’Leo. Setelah tidur resah malam itu, d’Leo keluar rumah menjelang matahari terbit. Air telah surut, tetapi kolam sedalam paha masih bertebaran menggenangi sebagian jalan. “Segala sesuatu diliputi pasir,” katanya. “Pemandangannya seperti di planet lain.”

Planet yang berubah total, itulah yang sedang dibentuk oleh peradaban kita yang digerakkan oleh bahan bakar fosil. Planet yang kota-kota pesisirnya akan mengalami banjir berskala Sandy yang kian sering dan merusak. Dengan melepaskan karbon dioksida dan gas pemerangkap panas lain ke atmosfer, kita telah memanaskan Bumi lebih dari setengah derajat Celsius selama seabad terakhir, dan menaikkan permukaan laut sekitar 20 sentimeter.

Walaupun kita berhenti membakar bahan bakar fosil besok, gas rumah kaca yang ada akan terus memanaskan Bumi selama berabad-abad. Kita telah memaksa generasi masa depan menghadapi dunia yang lebih panas dan laut yang naik, tanpa dapat membalikkan proses ini.

http://nationalgeographic.co.id/feature/2013/09/laut-meluap

Tidak ada komentar: