Oleh: Rosyita Hasan
Kita sering kali mendengar tentang nasionalisme. Membela kedaulatan negera dengan menjaga wilayah perbatasan dari ancaman pihak asing, ataupun pengibaran bendera merah putih ketika tujuh belasan. Pertanyaannya, apakah ini yang dimaksud nasionalisme secara hakiki ketika banyak orang mengaitkannya dengan nasionalisme mempertahankan wilayah perbatasan.
Mungkin itu semua akan kita temukan jawaban ketika kita melirik kawasan perbatasan di bagian utara Indonesia, yakni Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Tahun 2012, satu dari tujuh pulau terluar Natuna, yakni Pulau Subi diketahui tidak lagi melakukan peringatan tujuh belasan atau HUT RI. Alasannya, wilayah itu berdekatan dengan tanggal merah lainnya, yakni Hari Raya Idul Fitri. Lebih arif kita melihat, bukan pada absennya pengibaran sang saka merah putih, namun lebih kepada muatan peristiwanya.
Kenapa masyarakat tidak ada yang protes alias adem ayem saja. Apakah ini pertanda rasa nasionalisme yang sudah mulai luntur? Terjerat dengan ketidakacuhan, karena sibuk melaut demi mencari kehidupan lebih baik. Namun, sayangnya nelayan pulau dengan peninggalan Belanda dan Jepang tersebut semakin hari kian terdesak oleh keberadaan nelayan asing dengan merek illegal fishing yang terus menjarah. Lalu, masihkah para nelayan di sana sempat memikirkan simbol nasionalisme? Mungkin yang mereka rasakan hanya nasionalisme perikanan.
Secara geografis, Kabupaten Natuna memiliki luas sekitar 141.901,2 kilometer persegi, luas daratan sekitar 3.235 kilometer per segi atau hanya 2,28 persen dari luas wilayah keseluruhannya dengan jumlah pulau sebanyak 272 baik kecil maupun besar. Natuna berbatasan dengan sejumlah negara tetangga, yaitu Vietnam dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia Timur di bagian timur dan Semenanjung Malaysia di sebelah barat.
Selain itu, Natuna juga berbatasan dengan Laut China Selatan yang beberapa pulau di perairan tersebut sedang dipersengketakan oleh sejumlah negara. Disini kita tidak akan membahas mengenai sengketa, namun lebih memfokuskan kepada permasalahan utama masyarakat di perbatasan jika dikaitkan dengan kesejahteraan. Masyarakat perbatasan yang identik dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Tak salah lagi, kasus illegal fishing!
Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Syahrin Abdurrahman saat mengunjungi Natuna beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa laut Natuna menjadi prioritas pengawasan karena dinilai rawan pencurian ikan.
"PSDKP konsen dengan Natuna, karena Natuna merupakan wilayah paling rawan illegal fishing," katanya sambil menambahkan bahwa laut Natuna merupakan salah satu dari tiga laut yang menjadi prioritas pengawasan selain Laut Utara Sulawesi dan Laut Arafuru.
Dikatakan, tahun 2010 terdapat 108 kasus pencurian ikan yang didominasi negara-negara dari utara. Sedangkan 2011 hanya terdapat delapan kasus yang semuanya dilakukan kapal ikan asing. Menurutnya, laut Natuna memiliki potensi ikan yang luar biasa sehingga tidak heran jika menjadi daya tarik bagi kapal ikan asing untuk melakukan illegal fishing. Kapal ikan asing tersebut berasal dari Vietnam, Thailand, Filipina, China dan Malaysia.
Mengutip dan menyimak kembali, tulisan yang pernah saya tulis di Kantor Berita Antara, Pulau Laut salah satu pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau, terkenal sangat kaya akan potensi sumber daya alamnya, terutama di sektor perikanan laut, namun nelayannya tetap saja "miskin", di tengah maraknya pencurian ikan oleh kapal modern dari negara tetangga.
Satu atau dua kali dalam satu bulan kapal-kapal nelayan asing tersebut akan berkumpul di tengah laut pada malam hari. Mereka seakan berpesta dengan lampu yang terang benderang, bak sebuah kota tengah malam di tengah laut, berlabuh di wilayah kedaulatan NKRI.
Demikian sekelumit kisah Pak Madji (50), nelayan dari Pulau Laut, sebuah kecamatan yang memiliki tiga pulau terluar yang berhadapan langsung dengan negara Vietnam, yakni Pulau Sekatung, Semiun dan Seketul di Kabupaten Natuna, Provinsi kepulauan Riau, Jumat (20/4) di Ranai.
Wartawan ANTARA sedikit tergagap. Ternyata pengetahuan nelayan satu ini tentang wilayah kedaulatan laut NKRI cukup baik. Pak Madji sambil menghisap rokok dan asapnya mengepul mengusir tiupan angin senja di pelataran rumah nelayan tepi pantai di pasar Ranai, satu-satunya pasar bagi masyarakat ibukota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Lelaki legam itu bertutur lincah, berkisah tentang nasib nelayan yang berada di ujung negeri perbatasan bernama tanah air Indonesia.Dia masih bersemangat untuk memperbaiki nasib nelayan ke depan, walaupun dalam kurun waktu 12 tahun kabupaten ini sudah terbentuk, namun tiada perubahan berarti.
"Saya berharap, anak cucu saya tidak lagi melihat pemandangan lampu kapal asing yang kerlap-kerlip di tengah lautan, yang seakan mengejek bangsa yang terkenal dengan semboyan nenek moyangku pelaut ini," katanya.
Asa yang sama juga dituturkan Pak Weh (47), seorang pelaut di Pelabuhan Rakyat Penagi. Dia tak mampu menelan kekecewaan terhadap kondisi yang menimpa nasib nelayan tradisional setempat yang kian hari kian menyedihkan."Hasil tangkapan kami semakin menurun dari waktu-waktu sebelumnya," katanya, sambil bercerita pula tentang Kampong Penagi yang tempo dulu pernah ramai dengan pelabuhan rakyatnya.
Lelaki ini yang kenal Kantor Berita Indonesia "ANTARA" dari hobi mengisi teka teki silang ini berbincang asyik tentang Pelabuhan Penagi, pelabuhan bongkar muat pertama di Pulau Bunguran Timur, Ranai ibukota Kabupaten Natuna. Namun, sekelebat, ia beralih topik kembali ke rekan-rekan senasibnya.
"Kami bak penonton, sementara orang-orang asing itu mengeruk hasil laut yang kaya akan hasil perikanan," ujarnya nanar, memandang hamparan laut nan biru seakan menerawang negeri yang semula terkenal dengan Pulau Tujuh ini.
Baginya, tak asing lagi kekayaan hasil laut Natuna dijaring oleh nelayan-nelayan asing dengan alat tangkap serta alat navigasi kapal yang serba canggih. Sementara dirinya dan nelayan-nelayan tradisional di kabupaten hasil pemekaran Provinsi Kepulauan Riau tahun 1999 ini hanya bisa gigit jari. "Hingga hari ini kenapa pemerintah seakan tidak peka dan membiarkan saja persoalan nelayan, negeri ini perlu pelabuhan yang memenuhi semua yang terkait dengan aktivitas nelayan," ujarnya.
Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Natuna tahun 2010, kasus illegal fishing mencapai 108 kasus yang didominasi kapal nelayan asing yang berasal dari negara-negara utara, seperti Vietnam, Thailand, China dan Malaysia.
"Terdata tahun 2010 penangkapan mencapai 108 kasus, yang didominasi kapal asing Vietnam, Thailand, Malaysia, China juga dari nelayan kita sendiri," kata Kepala Seksi Pengawasan DKP Natuna, Buyung Priady.
Diketahui, kerugian negara terhadap aktivitas illegal fishing pada 2010 mencapai Rp30 triliun dan tahun 2011 turun menjadi Rp18 triliun. "Sementara tahun 2011 hanya delapan kasus, semuanya kapal asing," tuturnya. Penurunan kasus ini terjadi bisa saja karena praktek illegal fishing yang kian tidak mampu terawasi.
Kondisi ini membuat Bupati Natuna, Ilyas Sabli berusaha mendatangkan Kapal Hiu Macan untuk mengawasi illegal fishing oleh kapal asing yang marak terjadi di perairan Natuna. "Sekitar Juni 2012 kita akan melakukan penandatanganan MoU dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pusat untuk pengoperasian Kapal Hiu Macan untuk mengawasi aktivitas di perairan Natuna," katanya.
Dikatakan, langkah ini tidak bisa ditunda lagi. Karena aktivitas illegal fishing sudah banyak dikeluhkan oleh masyarakat nelayan Natuna. "Kita tidak ingin dirugikan lagi. Kondisi ini sangat meresahkan," katanya.Dia mengakui, pengawasan aktivitas di perairan Natuna selama ini sangat kurang. "Karena itu, kita sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan DKP pusat untuk menggunakan Kapal Hiu Macan dengan sistem 'sharing' biaya operasional," ujarnya.
Kenyataan lain, terkait alat tangkap dikeluhkan pula salah satu nelayan dari Kecamatan Pulau Tiga, Atan (34), praktik pencurian ikan sudah sangat meresahkan bagi nelayan."Bahkan, mereka tidak segan-segan lagi masuk ke wilayah empat mil, merusak alat penangkapan ikan nelayan, yakni rawai," katanya.
Kapal yang kerap menggunakan bendera Indonesia itu memiliki perahu semut yang turun menggunakan alat tangkap petrol, menarik ikan-ikan yang berada di bawah empat mil, sehingga merusak alat tangkap rawai yang dipasang nelayan Natuna.
"Entah bagaimanalah nasib kami," ujarnya putus asa. Meski begitu, di Pulau Tiga rencananya akan segera dibangun pelabuhan terpadu yang didanai APBN. Satu lagi kenyataan lain, kembali Pak Weh bercerita, musim utara, mulai Oktober hingga awal Januari merupakan panen bagi nelayan-nelayan asing.
"Saat itu musim utara, di mana gelombang di laut Natuna bisa mencapai ketinggian delapan meter, manalah bisa kami nelayan tradisional mampu mengarungi lautan di musim utara itu. Ketika gelombang laut sangat tidak bersahabat dengan nelayan tradisional itulah kapal asing yang memiliki lampu kerlap-kerlip di malam hari dengan rakusnya mencuri ikan di perairan Natuna.
Pemandangan ini akan berdampak pada kerlap kerlip lampu nasionalisme semakin meredup. Seperti halnya rasa nasionalisme bendera kita, nasionalisme perikanan masih sulit untuk dijabarkan. Karena penguatan nasionalisme harus didukung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. (***)
Kita sering kali mendengar tentang nasionalisme. Membela kedaulatan negera dengan menjaga wilayah perbatasan dari ancaman pihak asing, ataupun pengibaran bendera merah putih ketika tujuh belasan. Pertanyaannya, apakah ini yang dimaksud nasionalisme secara hakiki ketika banyak orang mengaitkannya dengan nasionalisme mempertahankan wilayah perbatasan.
Mungkin itu semua akan kita temukan jawaban ketika kita melirik kawasan perbatasan di bagian utara Indonesia, yakni Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Tahun 2012, satu dari tujuh pulau terluar Natuna, yakni Pulau Subi diketahui tidak lagi melakukan peringatan tujuh belasan atau HUT RI. Alasannya, wilayah itu berdekatan dengan tanggal merah lainnya, yakni Hari Raya Idul Fitri. Lebih arif kita melihat, bukan pada absennya pengibaran sang saka merah putih, namun lebih kepada muatan peristiwanya.
Kenapa masyarakat tidak ada yang protes alias adem ayem saja. Apakah ini pertanda rasa nasionalisme yang sudah mulai luntur? Terjerat dengan ketidakacuhan, karena sibuk melaut demi mencari kehidupan lebih baik. Namun, sayangnya nelayan pulau dengan peninggalan Belanda dan Jepang tersebut semakin hari kian terdesak oleh keberadaan nelayan asing dengan merek illegal fishing yang terus menjarah. Lalu, masihkah para nelayan di sana sempat memikirkan simbol nasionalisme? Mungkin yang mereka rasakan hanya nasionalisme perikanan.
Secara geografis, Kabupaten Natuna memiliki luas sekitar 141.901,2 kilometer persegi, luas daratan sekitar 3.235 kilometer per segi atau hanya 2,28 persen dari luas wilayah keseluruhannya dengan jumlah pulau sebanyak 272 baik kecil maupun besar. Natuna berbatasan dengan sejumlah negara tetangga, yaitu Vietnam dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia Timur di bagian timur dan Semenanjung Malaysia di sebelah barat.
Selain itu, Natuna juga berbatasan dengan Laut China Selatan yang beberapa pulau di perairan tersebut sedang dipersengketakan oleh sejumlah negara. Disini kita tidak akan membahas mengenai sengketa, namun lebih memfokuskan kepada permasalahan utama masyarakat di perbatasan jika dikaitkan dengan kesejahteraan. Masyarakat perbatasan yang identik dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Tak salah lagi, kasus illegal fishing!
Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Syahrin Abdurrahman saat mengunjungi Natuna beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa laut Natuna menjadi prioritas pengawasan karena dinilai rawan pencurian ikan.
"PSDKP konsen dengan Natuna, karena Natuna merupakan wilayah paling rawan illegal fishing," katanya sambil menambahkan bahwa laut Natuna merupakan salah satu dari tiga laut yang menjadi prioritas pengawasan selain Laut Utara Sulawesi dan Laut Arafuru.
Dikatakan, tahun 2010 terdapat 108 kasus pencurian ikan yang didominasi negara-negara dari utara. Sedangkan 2011 hanya terdapat delapan kasus yang semuanya dilakukan kapal ikan asing. Menurutnya, laut Natuna memiliki potensi ikan yang luar biasa sehingga tidak heran jika menjadi daya tarik bagi kapal ikan asing untuk melakukan illegal fishing. Kapal ikan asing tersebut berasal dari Vietnam, Thailand, Filipina, China dan Malaysia.
Mengutip dan menyimak kembali, tulisan yang pernah saya tulis di Kantor Berita Antara, Pulau Laut salah satu pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau, terkenal sangat kaya akan potensi sumber daya alamnya, terutama di sektor perikanan laut, namun nelayannya tetap saja "miskin", di tengah maraknya pencurian ikan oleh kapal modern dari negara tetangga.
Satu atau dua kali dalam satu bulan kapal-kapal nelayan asing tersebut akan berkumpul di tengah laut pada malam hari. Mereka seakan berpesta dengan lampu yang terang benderang, bak sebuah kota tengah malam di tengah laut, berlabuh di wilayah kedaulatan NKRI.
Demikian sekelumit kisah Pak Madji (50), nelayan dari Pulau Laut, sebuah kecamatan yang memiliki tiga pulau terluar yang berhadapan langsung dengan negara Vietnam, yakni Pulau Sekatung, Semiun dan Seketul di Kabupaten Natuna, Provinsi kepulauan Riau, Jumat (20/4) di Ranai.
Wartawan ANTARA sedikit tergagap. Ternyata pengetahuan nelayan satu ini tentang wilayah kedaulatan laut NKRI cukup baik. Pak Madji sambil menghisap rokok dan asapnya mengepul mengusir tiupan angin senja di pelataran rumah nelayan tepi pantai di pasar Ranai, satu-satunya pasar bagi masyarakat ibukota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Lelaki legam itu bertutur lincah, berkisah tentang nasib nelayan yang berada di ujung negeri perbatasan bernama tanah air Indonesia.Dia masih bersemangat untuk memperbaiki nasib nelayan ke depan, walaupun dalam kurun waktu 12 tahun kabupaten ini sudah terbentuk, namun tiada perubahan berarti.
"Saya berharap, anak cucu saya tidak lagi melihat pemandangan lampu kapal asing yang kerlap-kerlip di tengah lautan, yang seakan mengejek bangsa yang terkenal dengan semboyan nenek moyangku pelaut ini," katanya.
Asa yang sama juga dituturkan Pak Weh (47), seorang pelaut di Pelabuhan Rakyat Penagi. Dia tak mampu menelan kekecewaan terhadap kondisi yang menimpa nasib nelayan tradisional setempat yang kian hari kian menyedihkan."Hasil tangkapan kami semakin menurun dari waktu-waktu sebelumnya," katanya, sambil bercerita pula tentang Kampong Penagi yang tempo dulu pernah ramai dengan pelabuhan rakyatnya.
Lelaki ini yang kenal Kantor Berita Indonesia "ANTARA" dari hobi mengisi teka teki silang ini berbincang asyik tentang Pelabuhan Penagi, pelabuhan bongkar muat pertama di Pulau Bunguran Timur, Ranai ibukota Kabupaten Natuna. Namun, sekelebat, ia beralih topik kembali ke rekan-rekan senasibnya.
"Kami bak penonton, sementara orang-orang asing itu mengeruk hasil laut yang kaya akan hasil perikanan," ujarnya nanar, memandang hamparan laut nan biru seakan menerawang negeri yang semula terkenal dengan Pulau Tujuh ini.
Baginya, tak asing lagi kekayaan hasil laut Natuna dijaring oleh nelayan-nelayan asing dengan alat tangkap serta alat navigasi kapal yang serba canggih. Sementara dirinya dan nelayan-nelayan tradisional di kabupaten hasil pemekaran Provinsi Kepulauan Riau tahun 1999 ini hanya bisa gigit jari. "Hingga hari ini kenapa pemerintah seakan tidak peka dan membiarkan saja persoalan nelayan, negeri ini perlu pelabuhan yang memenuhi semua yang terkait dengan aktivitas nelayan," ujarnya.
Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Natuna tahun 2010, kasus illegal fishing mencapai 108 kasus yang didominasi kapal nelayan asing yang berasal dari negara-negara utara, seperti Vietnam, Thailand, China dan Malaysia.
"Terdata tahun 2010 penangkapan mencapai 108 kasus, yang didominasi kapal asing Vietnam, Thailand, Malaysia, China juga dari nelayan kita sendiri," kata Kepala Seksi Pengawasan DKP Natuna, Buyung Priady.
Diketahui, kerugian negara terhadap aktivitas illegal fishing pada 2010 mencapai Rp30 triliun dan tahun 2011 turun menjadi Rp18 triliun. "Sementara tahun 2011 hanya delapan kasus, semuanya kapal asing," tuturnya. Penurunan kasus ini terjadi bisa saja karena praktek illegal fishing yang kian tidak mampu terawasi.
Kondisi ini membuat Bupati Natuna, Ilyas Sabli berusaha mendatangkan Kapal Hiu Macan untuk mengawasi illegal fishing oleh kapal asing yang marak terjadi di perairan Natuna. "Sekitar Juni 2012 kita akan melakukan penandatanganan MoU dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pusat untuk pengoperasian Kapal Hiu Macan untuk mengawasi aktivitas di perairan Natuna," katanya.
Dikatakan, langkah ini tidak bisa ditunda lagi. Karena aktivitas illegal fishing sudah banyak dikeluhkan oleh masyarakat nelayan Natuna. "Kita tidak ingin dirugikan lagi. Kondisi ini sangat meresahkan," katanya.Dia mengakui, pengawasan aktivitas di perairan Natuna selama ini sangat kurang. "Karena itu, kita sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan DKP pusat untuk menggunakan Kapal Hiu Macan dengan sistem 'sharing' biaya operasional," ujarnya.
Kenyataan lain, terkait alat tangkap dikeluhkan pula salah satu nelayan dari Kecamatan Pulau Tiga, Atan (34), praktik pencurian ikan sudah sangat meresahkan bagi nelayan."Bahkan, mereka tidak segan-segan lagi masuk ke wilayah empat mil, merusak alat penangkapan ikan nelayan, yakni rawai," katanya.
Kapal yang kerap menggunakan bendera Indonesia itu memiliki perahu semut yang turun menggunakan alat tangkap petrol, menarik ikan-ikan yang berada di bawah empat mil, sehingga merusak alat tangkap rawai yang dipasang nelayan Natuna.
"Entah bagaimanalah nasib kami," ujarnya putus asa. Meski begitu, di Pulau Tiga rencananya akan segera dibangun pelabuhan terpadu yang didanai APBN. Satu lagi kenyataan lain, kembali Pak Weh bercerita, musim utara, mulai Oktober hingga awal Januari merupakan panen bagi nelayan-nelayan asing.
"Saat itu musim utara, di mana gelombang di laut Natuna bisa mencapai ketinggian delapan meter, manalah bisa kami nelayan tradisional mampu mengarungi lautan di musim utara itu. Ketika gelombang laut sangat tidak bersahabat dengan nelayan tradisional itulah kapal asing yang memiliki lampu kerlap-kerlip di malam hari dengan rakusnya mencuri ikan di perairan Natuna.
Pemandangan ini akan berdampak pada kerlap kerlip lampu nasionalisme semakin meredup. Seperti halnya rasa nasionalisme bendera kita, nasionalisme perikanan masih sulit untuk dijabarkan. Karena penguatan nasionalisme harus didukung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. (***)
http://www.kabarperbatasan.com/patroli/patroli/510-antara-nasionalisme-bendera-dan-perikanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar