16 Juni, 2013

Industrialisasi Perikanan Harus Atasi Dulu Masalah Mendasar

Peta konektifitas populasi ikan. Ilustrasi: Angiola Harry
Tajuk.co, BOGOR — Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan (KAPI) Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membuat pemetaan karakteristik habitat, dimana penetapan daerah penangkapan ikan (fishing ground) harus dibedakan dari daerah aktivitas ikan lainnya.
Aktivitas yang dimaksud yakni spawning ground (tempat beranak), nursery ground (daerah pengasuhan), feeding ground (daerah mencari pakan). Namun para peneliti kerap menemukan aktivitas penangkapan ikan yang tak kenal aturan.

Ada kawasan laut yang menjadi aktivitas ikan untuk beranak, mengasuh, dan mencari makan. Di kawasan itulah eksploitasi (yang seharusnya terlarang karena mengancam keberlangsungan hidup ikan) dilakukan. Dan kemungkinan, itu pula yang menyebabkan adanya titik-titik overfishing di perairan nusantara.
Marc Kochzius, peneliti biologi kelautan dari Vrije Universiteit Brussel, Jerman, dalam pemaparan risetnya yang berjudul ‘Connectivity of Coral Reef Population‘ di International Conference on Marine Science 2013 bertajuk ‘Marine Biodiversity and Connectivity for Sustainable Fisheries‘ menekankan agar perlu adanya verboden atau pembatasan penangkapan ikan ke dalam area spawning ground ikan.

Marc menyebut daerah tempat spawning ground, nursery ground, dan feeding ground tersebut sebagai daerah konektifitas. “Konektifitas populasi adalah kunci untuk mengetahui sejauh mana toleransi ikan bertahan hidup. Kemampuan ekosistem mereka menerima guncangan dan kembali normal juga bergantung pada konektifitas populasi,” ungkap Marc, Selasa (4/6).

Itu baru penelaahan konektifitas populasi dari segi kegiatan manusia. Belum lagi dari segi daya dukung lingkungan. Misalnya ketiadaan terumbu karang sebagai tempat anak-anak ikan mencari makan serta area pengasuhan. Bahkan Marc juga menyinggung soal polusi perairan yang mengancam keberlangsungan konektifitas tersebut. “Segala hal yang mendukung konektifitas populasi ikan ini sangat krusial bagi manajemen perlindungan kawasan laut,” tukasnya.

Pemaparan Marc tersebut diapresiasi penuh oleh Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Indra Jaya. Perlindungan kawasan laut saat ini sudah bukan hanya di bibir saja atau sebuah tajuk rencana besar dalam pembangunan kelautan. “Tapi sudah mendesak dilakukan. Kenapa? Kita semua tahu, masyarakat semakin menyadari manfaat memakan ikan, sehingga permintaan ikan kini meningkat tajam dari waktu ke waktu,” pungkas Indra.

Itulah sebabnya Indonesia memang perlu mendukung industrialisasi perikanan ke arah yang lebih besar, guna mendukung ketersediaan ikan konsumsi. Hanya saja, lanjut Indra, para stake holder dan praktisi perikanan harus mengetahui terlebih dulu kondisi riil soal ekosistem ikan itu sendiri.
“Maka apalah gunanya industrialisasi perikanan bila tak ada konektifitas populasi? Ikan tak bisa memijah, ikan tak bisa mengasuh anaknya, ikan tak bisa mencari makan, maka sama saja tak ada ikan untuk industrialisasi,” tukasnya.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto bersalaman dengan Michael Rottmann. Foto: Tajuk
Rektor IPB Herry Suhardiyanto bersalaman dengan Michael Rottmann. Foto: Tajuk / Angiola Harry

Sementara Direktur The German Academic Exchange Service (DAAD) Irene Jansen mengatakan riset mengenai perikanan dan kelautan di Indonesia sudah saatnya di-internasionalisasikan. “Internasionalisasi riset guna memudahkan kita mencari solusi atas masalah perikanan di dunia. Dan Indonesia, dengan biodiversity (keanekaragaman hayati, red) yang luar biasa, sangat membantu menghasilkan solusi aplikatif,” ujarnya.
Namun Irene mengaku sepakat dengan keluhan pihak Kedutaan Besar Jerman Michael Rottmann, yang juga ikut dalam seminar tersebut. Rottmann mengungkapkan bahwa masih ada kendala riset di Indonesia yang harus diatasi segera.

Rottmann mengeluhkan soal benturan birokrasi bagi peneliti asing untuk melakukan riset Indonesia. “Kami harap janganlah mempersulit kegiatan yang bertujuan untuk memudahkan sesuatu,” tukas Rottmann. Rottmann mencontohkan salah satunya adalah masalah visa bagi peneliti. (ANG)

http://tajuk.co/2013/06/industrialisasi-perikanan-harus-atasi-dulu-masalah-mendasar/ 

Tidak ada komentar: