17 April, 2013

60 JENIS MASALAH DAN SOLUSI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP INDONESIA

Foto: 60 JENIS MASALAH DAN SOLUSI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP INDONESIA

(“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.  QS. Ar Rum/30 : 41).


1. PENDAPAT PARA AHLI PERIKANAN:  JIKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT TETAP SEPERTI INI MAKA TAHUN 2050 KITA KEHILANGAN SUMBERDAYA IKAN. DINAS PERIKANAN DAN KKP MENJELANG 2050 HARUS DITUTUP KARENA TIDAK ADA IKAN MAKA TIDAK ADA LAGI YANG DIKERJAKAN.

2. Pembentukan kelembagaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sumberdaya Ikan  di 11 WPPNRI yang memajukan perikanan Indonesia dengan mengedepankan dan melayani Nelayan Indonesia sebagai pelaku utamanya.

3. Meningkatan kepatuhan selektifitas penangkapan ikan ramah lingkungan, penggunaan mata jaring dan alat tangkap lainnya sesuai dengan type alat tangkap, sebagaimana diatur dalam Permen 02/2011.

4. Kesetaraan akses secara rasional dan memberi ruang peluang kesempatan setiap strata nelayan pada tiap jalur penangkapan ikan untuk mendapatkan kesejahteraan secara berkeadilan.  Perlindungan kepastian hukum kesetaraan akses nelayan mendapatkan kehidupan sesuai profesinya.

5. Pengaturan jumlah hari/trip penangkapan efektif di seluruh WPPNRI. Hal ini berkaitan erat dengan pengendalian tekanan berlebih terhadap sumberdaya ikan, pembinaan efisiensi usaha, pengendalian penggunaan BBM bersubsidi.

6. Stop/hentikan impor kapal perikanan sesuai INPRES nomor 5 tahun 2005. Membatasi umur kapal ex-pengadaan impor yang sudah ada hanya maksimal 20 tahun tidak dapat diberikan perpanjangan izin penangkapan ikan. Hal ini agar diberikan alokasi kesempatan kepada struktur armada perikanan local nasional yang terkena dampak kebijakan Permen 02/2011 termasuk 1000 kapal Inkamina eksis menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

7. Tidak memberi izin penangkapan ikan untuk kapal yang telah digunakan IUU fishing atau masuk IUU List.

8. Pengaturan pembatasan penggunaan alat bantu pengumpul/pemikat ikan  berupa Lampu Pengumpul Ikan, Rumpon permukaan dan pertengahan.

9. Rehabilitasi terumbu karang  dan mangrove.

10. Bersih Laut dan Bersih Sungai dari limbah sampah bahan plastic yang tidak terurai dengan cepat. Stop membuang sampah atau limbah ke sungai atau laut.

11. Penyediaan database kapal perikanan nasional secara time series melalui pendaftaran ulang terhadap kapal yang aktif setiap tahun, agar termonitor terkendali terawasi terevaluasi secara transparan sebaran struktur armada perikanan yang melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di 11 WPPNRI.

12. Pengembangan Marine Protected Area (fish sanctuary) untuk mendukung keberlangsungan keanekakaragaman biodiversity dan stok sumberdaya ikan.

13. Pembatasan daerah operasi penangkapan hanya di satu WPP dan sesuai dengan koordinatnya.

14. Penerapan moratorium penangkapan ikan dengan sistem buka tutup daerah penangkapan (open close system) per spesies/ kelompok jenis ikan pada daerah yang mengalami tangkap lebih (over fishing).

15. Pendataan pemanfaatan dan reduksi ikan tangkapan yang dibuang kelaut kembali bycatch diatas kapal. Guna mengontrol mencegah ambang batas mutu ekologi perairan dari pencemaran ikan mati yang dibuang kelaut.

16. Penerapan Program Fishing Logbook Online System berbasis data server dan petugas Observer/Pemantau di atas kapal.

17. Penerapan Fishing Capacity berdasarkan jumlah ikan yang boleh ditangkap (JTB) per kelompok  jenis ikan dari Laporan Kegiatan Usaha. Sebagai implementasi kendali jumlah produksi penangkapan ikan sesuai Kepmen KP nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Jumlah Sumberdaya Ikan di WPPNRI.

18. Implementasi hasil Forum Komunikasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS)  regional dan nasional dalam pengelolaan perikanan berbasis WPP.

19. Peningkatan  pengelolaan perikanan berbasis ko-manajemen dan kearifan lokal.

20. Pemberian alokasi Usaha Penangkapan Ikan secara selektif bedasarkan ketersedian SDI dan kesiapan kapal yang ada.

21. Pengendalian izin dengan tidak menambah izin baru  kecuali mengganti yang sudah mati dan sesuai fishing capacity jumlah sumberdaya ikan yang boleh ditangkap (JTB).

22. Kajian/evaluasi izin dan realisasi pemanfaatan sumberdaya ikan ditiap WPP.

23. Pengembangan bentuk dan format serta penomoran  perizinan Usaha Penangkapan Ikan Pusat (Nasional) di Daerah.

24. Road map perizinan usaha penangkapan ikan di tiap WPP.

25. Pelayanan prima dan ketertiban usaha  perikanan tangkap sesuai ketersedian SDI di setiap  WPP secara akuntabel dan tepat waktu.

26. Menyusun target dan meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan, termasuk pendapatan nelayan di tiap WPP. 

27. Konservasi pemulihan sumberdaya ikan dengan pembuatan apartemen ikan, rumpon dasar, transplantasi pengembangbiakan terumbu karang.

28. Pemulihan stok dan penebaran benih ikan di zona inti konsevasi alamiah dan buatan, terutama didaerah yang mengalami over fishing. 

29. Moratorium pemulihan sumberdaya ikan secara bertahap perkawasan persatuan waktu tertentu, sehingga nelayan masih tetap dapat beraktivitas secara berkesinambungan.

30. Efisiensi usaha penangkapan ikan dengan pembuatan rumah ikan, pengembangan transplantasi terumbu karang alami.

31. Penghentian izin baru Pukat ikan dan pukat udang di Arafura, Pukat Ikan di Selat Malaka, Purse Seine di Laut Jawa, Pukat Ikan di LCS di Pusat dan Daerah.

32. Transmigrasi Nelayan ke daerah potensi ikan yg subur. Rencana Ditjen Perikanan sejak tahun 1980-an memindahkan sebagian kegiatan kapal perikanan nelayan dari wilayah Indonesia Barat (Selat Malaka dan Laut Jawa) ke Indonesia Timur hingga kini belum terlaksana. Beberapa Pemerintah Daerah Kab/Kota di Pantura saat ini sedang mengkaji/menjajaki alternative Transmigrasi Nelayan.

33. Musim paceklik penangkapan ikan nelayan akibat dari ekosistem ruaya kembara ikan pelagis. Membuat nelayan harus melakukan andon. Efektivitas dan efisiensi andon kian menurun karena adanya kemajuan teknologi ditiap daerah dan alokasi fishing capacity-nya semakin terbatas buat nelayan andon.

34. Stop penambangan pasir laut dan  pasir besi di laut. Pada daerah dasar berpasir pantai banyak jenis ikan dan crustacea meletakkan telurnya untuk berkembang biak. Jika habitat ini rusak sudah tentu memutus ekosistem perkembang biakan ikan.

35. Stop Pencemaran limbah kimia industri. Kebanyakan ikan jenis konsumsi memiliki sifat rentan terhadap limbah kimia bersifat racun dan memabukkan.

36. Stop Pencemaran tumpahan penambangan minyak lepas pantai. Jenis kelompok ikan pelagis dan ikan pantai akan tidak bisa hidup dilingkungan yang tercemar minyak mentah yang didalamnya mengandung posfor bersifat racun mematikan.

37. Stop Pembangunan perluasan kawasan lahan perkotaan yang menimbun atau mengeruk laut.

38. Stop Pengambilan karang di alam sebagai bahan bangunan atau cenderamata. Jika rumah tempat ikan berlindung punah maka tingkat survival-nya tidak ada dan berakibat beberapa spesies punah dan menjadi mata rantai kepunahan sepesies lainnya.

39. Stop Penguasaan pulau atau perairan oleh warga Negara asing yang arogansi melarang secara sepihak (inkonstitusional) nelayan menangkap ikan di sekitar perairan pulau tersebut.

40. Stop Penggunaan alat tangkap pukat hela dasar dua kapal (pair trawl) dan pukat hela dasar (bottom trawl = pukat harimau) yang mengeruk seluruh sumberdaya ikan di dasar perairan tanpa selektif (tanpa dilengkapi dengan alat pemisah ikan=TED/JTED).

41. Stop Penggunaan alat tangkap ikan dengan metode merusak karang (muro ami).

42. Stop Penggunaan bahan beracun/kimia/tuba yang mematikan sumberdaya ikan dan polip karang.

43. Stop Penggunaan tenaga listrik yang mematikan sumberdaya ikan. Anak ikan, larva, telur ikan mati terkena stroom aliran listrik.

44. Stop Penggunaan bahan peledak bom ikan yang merusak karang dan sumberdaya ikan.

45. Stop Penggunaan kompresor udara untuk alat bantu menyelam meracun atau menyetrum atau mengoperasikan alat tangkap dengan cara merusak lingkungan perairan karang.

46. Stop Tekanan tangkapan ikan berlebih dari daya dukung sumberdaya ikan. Jumlah kapal/perahu dan produktuvitas penangkapan yang melebihi daya dukung potensi sumberdaya ikan menyebabkan produksi pertrip per unit tangkap semakin sedikit. Nelayan masih saja tetap melaut karena butuh mata pencaharian untuk makan tidak ingin kelaparan. Manusia yang lapar akan semakin nekat terus menangkap ikan untuk sesuap nasi halal dari jerih payah keringat dan rezeki dilaut yang disediakan Tuhan. Pemerintah seharusnya jeli dan antisipasi jauh hari melakukan tindakan penyelamatan terhadap kehidupan mata pencaharian nelayan yang kian sedikit hasilnya dicarikan solusi jalan keluar terbaik dan Pemerintah punya tugas mulia mengelola perairan melakukan pemulihan sumberdaya ikan untuk rakyatnya.

47. Beberapa jenis alat tangkap tidak dapat menghindari jenis ikan yang tertangkap terdiri dari beraneka macam jenis dan ukuran, diantaranya terdapat campuran ikan yang masih berukuran kecil (juvenile) dan belum pernah berpijah.

48. Menanggulangi kedaan sosial nelayan pada kondisi cuaca iklim laut dan gelombang tinggi pada musim angin barat dan musim angina timur serta cuaca extreme yang seporadis akibat pengaruh cuaca iklim global berakibat nelayan tidak dapat melaut.

49. Stop kriminalisasi akses harga pasar ikan nelayan. Terbatasnya akses nelayan terhadap pasar yang berkeadilan dari hasil produksi tangkapan ikan nelayan. Di beberapa daerah nelayan masih menghadapi mafia agen pemasaran/pelelangan ikan.

50. Minimnya penguatan kapasitas nelayan dalam kegiatan pengolahan pangan atau penanganan ikan dengan system rantai dingin yang bernilai tambah (value added).

51. Minimnya perlindungan bagi nelayan tradisional khususnya perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional. Profesi nelayan belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian aparatur sebagai bagian dari program ketahanan pangan daerah dan nasional. Kriminalisasi terhadap nelayan masih sering terjadi terutama di provinsi Sumatera Utara pada kasus Pukat Hela Dua Kapal (pair trawl) dengan nama local Pukat Gerandong .

52. Pelaksanaan desentralisasi perikanan tangkap di daerah yang kental dipengaruhi oleh suasana politis di daerah. Penempatan SDM aparatur yang tidak kapabel dengan bidang keahlian tugasnya berdampak berantai terhadap kebijakan dan implementasi substansi yang rasional terukur dan teruji dengan bukti di lapangan.

53. Belum semua daerah memiliki tata ruang pemanfaatan kelautan dan perikanan yang sinergi dan produktif sekaligus antisipatif terhadap gejolak social terhadap penggunaan ruang laut daerah yang menjadi kewenangannya.

54. ALOKASI PENANGKAPAN IKAN DAN LINGKARAN SETAN IUU FISHING OLEH KAPAL DAN BANGSA ASING. Pencurian ikan di WPPNRI yang dilakukan oleh kapal dan bangsa asing sudah berjalan lama. Luasnya perairan dan terbatasnya sarana kapal patrol pengawas menjadi alasan kolosal keterbatasan. 

55. Masyarakat melihat adanya dualism pengelolaan perikanan tangkap (skala kecil/tradisional dan skala industry) belum terlaksananya sinergitas kesetaraan akses antar skala usaha perikanan tangkap dalam regulasi maupan dalam praktek yang perlu dibenahi secara bijak cerdas. DUALISME PENGELOLAAN PERIKANAN KITA. ZEEI 200 mil laut dari pantai sejak 1982 & sesuai pasal 33 UUD 1945 bumi air dikuasai negara sepenuhnya utk kesejahteraan rakyat. Tapi apa prakteknya? Modal asing merajalela di ZEEI dg teknologi canggih produktivitas tinggi menjadi kaya raya. Sedangkan Nelayan kita berjejal didaerah padat tangkap di perairan pantai dengen produktivitas rendah dan miskin 47 tahun hingga kini. Kontradiksi yg tak berujung pangkal dan tak terjawab oleh bangsa ini.

56. Masih adanya ABK Asing diatas kapal perikanan berbendera Indonesia yang bertentangan dengan UU 45/2009 tentang Perikanan Pasal 35A ayat (1) Kapal perikanan BERBENDERA INDONESIA yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan Nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.

57. BAGI HASIL PERIKANAN NELAYAN umumnya diterapkan oleh pengusaha perikanan local. Sedangkan perikanan sekala industry tidak menerapkan UU Bagi Hasil Perikanan, hal ini merugikan nelayan/ABK yang mengakibatkan nelayan tetap miskin dengan gaji relative kecil jauh dibawah UMR kerja didarat, sebaiknya dilakukan seragam dengan penerapan UU Bagi Hasil Perikanan pada seluruh kapal penangkapan ikan tanpa kecuali. UU 16/1964 ttg Bagi Hasil Perikanan lebih tepat karena mengandung sistem modern yg jelas tegas, fair play, proporsional dan profesional. Dalam kegiatan penangkapan ikan, sistem gaji sudah tidak tepat dan ketinggalan jaman, karena itu praktek kapitalisme imperialisme yg bertentangan dg Pancasila dan agama apapun.

58. Masih adanya praktek ijon (patronclientship) Tuan-Hamba dalam usaha perikanan sebagai warisan budaya masyarakat pantai yang sedang dikikis diperangi oleh Negara dengan menerapkan Program Nasional PNPM Kelautan Perikanan Mandiri yang bersifat penguatan usaha nelayan dan usaha keluarga nelayan.

59. Segudang masalah diberbagai daerah dengan regulasi berubah-ubah telat urus dan salah urus, ditambah tekanan kepentingan sector lain serta pembiaran praktek alat tangkap destruktif berakibat merugikan dan mematikan sumber kehidupan nelayan kecil/tradisional. Hal ini menimbulkan geliat kesadaran solidaritas masyarakat yang peduli terhadap penderitaan nelayan dalam bentuk ormas LSM Perikanan/Nelayan. Tumbuh menjamur luar biasa banyak nama dan bentuknya ormas LSM perikanan baik LSM daerah, Nasional ataupun sponsor asing. Hal ini diantaranya disebakan oleh masalah keadilan akses kesetaraan nelayan yang tidak jelas dalam praktek dilapangan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi nelayan yang tidak pernah tuntas selama zaman reformasi membuat nelayan makin terorganisir melalui ormas LSM nelayan yang baru yang lebih aspiratif memperjuangkan nasib nelayan.

60. Menyelesaikan batas wilayah laut ZEEI dengan negara tetangga, meliputi perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur), Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang pengelolaan wilayah laut, belum ada lembaga yang memiliki otorita mengatur batas wilayah dengan negara tetangga dan lemahnya kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional.

(“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.  QS. Al A’raf/7 :96).

(“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. QS. Ar Rum/30 : 41).


1. PENDAPAT PARA AHLI PERIKANAN: JIKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT TETAP SEPERTI INI MAKA TAHUN 2050 KITA KEHILANGAN SUMBERDAYA IKAN. DINAS PERIKANAN DAN KKP MENJELANG 2050 HARUS DITUTUP KARENA TIDAK ADA IKAN MAKA TIDAK ADA LAGI YANG DIKERJAKAN.
2. Pembentukan kelembagaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sumberdaya Ikan di 11 WPPNRI yang memajukan perikanan Indonesia dengan mengedepankan dan melayani Nelayan Indonesia sebagai pelaku utamanya.

3. Meningkatan kepatuhan selektifitas penangkapan ikan ramah lingkungan, penggunaan mata jaring dan alat tangkap lainnya sesuai dengan type alat tangkap, sebagaimana diatur dalam Permen 02/2011.

4. Kesetaraan akses secara rasional dan memberi ruang peluang kesempatan setiap strata nelayan pada tiap jalur penangkapan ikan untuk mendapatkan kesejahteraan secara berkeadilan. Perlindungan kepastian hukum kesetaraan akses nelayan mendapatkan kehidupan sesuai profesinya.
5. Pengaturan jumlah hari/trip penangkapan efektif di seluruh WPPNRI. Hal ini berkaitan erat dengan pengendalian tekanan berlebih terhadap sumberdaya ikan, pembinaan efisiensi usaha, pengendalian penggunaan BBM bersubsidi.
6. Stop/hentikan impor kapal perikanan sesuai INPRES nomor 5 tahun 2005. Membatasi umur kapal ex-pengadaan impor yang sudah ada hanya maksimal 20 tahun tidak dapat diberikan perpanjangan izin penangkapan ikan. Hal ini agar diberikan alokasi kesempatan kepada struktur armada perikanan local nasional yang terkena dampak kebijakan Permen 02/2011 termasuk 1000 kapal Inkamina eksis menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
7. Tidak memberi izin penangkapan ikan untuk kapal yang telah digunakan IUU fishing atau masuk IUU List.
8. Pengaturan pembatasan penggunaan alat bantu pengumpul/pemikat ikan berupa Lampu Pengumpul Ikan, Rumpon permukaan dan pertengahan.
9. Rehabilitasi terumbu karang dan mangrove.
10. Bersih Laut dan Bersih Sungai dari limbah sampah bahan plastic yang tidak terurai dengan cepat. Stop membuang sampah atau limbah ke sungai atau laut.
11. Penyediaan database kapal perikanan nasional secara time series melalui pendaftaran ulang terhadap kapal yang aktif setiap tahun, agar termonitor terkendali terawasi terevaluasi secara transparan sebaran struktur armada perikanan yang melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di 11 WPPNRI.
12. Pengembangan Marine Protected Area (fish sanctuary) untuk mendukung keberlangsungan keanekakaragaman biodiversity dan stok sumberdaya ikan.
13. Pembatasan daerah operasi penangkapan hanya di satu WPP dan sesuai dengan koordinatnya.
14. Penerapan moratorium penangkapan ikan dengan sistem buka tutup daerah penangkapan (open close system) per spesies/ kelompok jenis ikan pada daerah yang mengalami tangkap lebih (over fishing).
15. Pendataan pemanfaatan dan reduksi ikan tangkapan yang dibuang kelaut kembali bycatch diatas kapal. Guna mengontrol mencegah ambang batas mutu ekologi perairan dari pencemaran ikan mati yang dibuang kelaut.
16. Penerapan Program Fishing Logbook Online System berbasis data server dan petugas Observer/Pemantau di atas kapal.
17. Penerapan Fishing Capacity berdasarkan jumlah ikan yang boleh ditangkap (JTB) per kelompok jenis ikan dari Laporan Kegiatan Usaha. Sebagai implementasi kendali jumlah produksi penangkapan ikan sesuai Kepmen KP nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Jumlah Sumberdaya Ikan di WPPNRI.
18. Implementasi hasil Forum Komunikasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) regional dan nasional dalam pengelolaan perikanan berbasis WPP.
19. Peningkatan pengelolaan perikanan berbasis ko-manajemen dan kearifan lokal.
20. Pemberian alokasi Usaha Penangkapan Ikan secara selektif bedasarkan ketersedian SDI dan kesiapan kapal yang ada.
21. Pengendalian izin dengan tidak menambah izin baru kecuali mengganti yang sudah mati dan sesuai fishing capacity jumlah sumberdaya ikan yang boleh ditangkap (JTB).
22. Kajian/evaluasi izin dan realisasi pemanfaatan sumberdaya ikan ditiap WPP.
23. Pengembangan bentuk dan format serta penomoran perizinan Usaha Penangkapan Ikan Pusat (Nasional) di Daerah.
24. Road map perizinan usaha penangkapan ikan di tiap WPP.
25. Pelayanan prima dan ketertiban usaha perikanan tangkap sesuai ketersedian SDI di setiap WPP secara akuntabel dan tepat waktu.
26. Menyusun target dan meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan, termasuk pendapatan nelayan di tiap WPP.
27. Konservasi pemulihan sumberdaya ikan dengan pembuatan apartemen ikan, rumpon dasar, transplantasi pengembangbiakan terumbu karang.
28. Pemulihan stok dan penebaran benih ikan di zona inti konsevasi alamiah dan buatan, terutama didaerah yang mengalami over fishing.
29. Moratorium pemulihan sumberdaya ikan secara bertahap perkawasan persatuan waktu tertentu, sehingga nelayan masih tetap dapat beraktivitas secara berkesinambungan.
30. Efisiensi usaha penangkapan ikan dengan pembuatan rumah ikan, pengembangan transplantasi terumbu karang alami.
31. Penghentian izin baru Pukat ikan dan pukat udang di Arafura, Pukat Ikan di Selat Malaka, Purse Seine di Laut Jawa, Pukat Ikan di LCS di Pusat dan Daerah.
32. Transmigrasi Nelayan ke daerah potensi ikan yg subur. Rencana Ditjen Perikanan sejak tahun 1980-an memindahkan sebagian kegiatan kapal perikanan nelayan dari wilayah Indonesia Barat (Selat Malaka dan Laut Jawa) ke Indonesia Timur hingga kini belum terlaksana. Beberapa Pemerintah Daerah Kab/Kota di Pantura saat ini sedang mengkaji/menjajaki alternative Transmigrasi Nelayan.
33. Musim paceklik penangkapan ikan nelayan akibat dari ekosistem ruaya kembara ikan pelagis. Membuat nelayan harus melakukan andon. Efektivitas dan efisiensi andon kian menurun karena adanya kemajuan teknologi ditiap daerah dan alokasi fishing capacity-nya semakin terbatas buat nelayan andon.
34. Stop penambangan pasir laut dan pasir besi di laut. Pada daerah dasar berpasir pantai banyak jenis ikan dan crustacea meletakkan telurnya untuk berkembang biak. Jika habitat ini rusak sudah tentu memutus ekosistem perkembang biakan ikan.
35. Stop Pencemaran limbah kimia industri. Kebanyakan ikan jenis konsumsi memiliki sifat rentan terhadap limbah kimia bersifat racun dan memabukkan.
36. Stop Pencemaran tumpahan penambangan minyak lepas pantai. Jenis kelompok ikan pelagis dan ikan pantai akan tidak bisa hidup dilingkungan yang tercemar minyak mentah yang didalamnya mengandung posfor bersifat racun mematikan.
37. Stop Pembangunan perluasan kawasan lahan perkotaan yang menimbun atau mengeruk laut.
38. Stop Pengambilan karang di alam sebagai bahan bangunan atau cenderamata. Jika rumah tempat ikan berlindung punah maka tingkat survival-nya tidak ada dan berakibat beberapa spesies punah dan menjadi mata rantai kepunahan sepesies lainnya.
39. Stop Penguasaan pulau atau perairan oleh warga Negara asing yang arogansi melarang secara sepihak (inkonstitusional) nelayan menangkap ikan di sekitar perairan pulau tersebut.
40. Stop Penggunaan alat tangkap pukat hela dasar dua kapal (pair trawl) dan pukat hela dasar (bottom trawl = pukat harimau) yang mengeruk seluruh sumberdaya ikan di dasar perairan tanpa selektif (tanpa dilengkapi dengan alat pemisah ikan=TED/JTED).
41. Stop Penggunaan alat tangkap ikan dengan metode merusak karang (muro ami).
42. Stop Penggunaan bahan beracun/kimia/tuba yang mematikan sumberdaya ikan dan polip karang.
43. Stop Penggunaan tenaga listrik yang mematikan sumberdaya ikan. Anak ikan, larva, telur ikan mati terkena stroom aliran listrik.
44. Stop Penggunaan bahan peledak bom ikan yang merusak karang dan sumberdaya ikan.
45. Stop Penggunaan kompresor udara untuk alat bantu menyelam meracun atau menyetrum atau mengoperasikan alat tangkap dengan cara merusak lingkungan perairan karang.
46. Stop Tekanan tangkapan ikan berlebih dari daya dukung sumberdaya ikan. Jumlah kapal/perahu dan produktuvitas penangkapan yang melebihi daya dukung potensi sumberdaya ikan menyebabkan produksi pertrip per unit tangkap semakin sedikit. Nelayan masih saja tetap melaut karena butuh mata pencaharian untuk makan tidak ingin kelaparan. Manusia yang lapar akan semakin nekat terus menangkap ikan untuk sesuap nasi halal dari jerih payah keringat dan rezeki dilaut yang disediakan Tuhan. Pemerintah seharusnya jeli dan antisipasi jauh hari melakukan tindakan penyelamatan terhadap kehidupan mata pencaharian nelayan yang kian sedikit hasilnya dicarikan solusi jalan keluar terbaik dan Pemerintah punya tugas mulia mengelola perairan melakukan pemulihan sumberdaya ikan untuk rakyatnya.
47. Beberapa jenis alat tangkap tidak dapat menghindari jenis ikan yang tertangkap terdiri dari beraneka macam jenis dan ukuran, diantaranya terdapat campuran ikan yang masih berukuran kecil (juvenile) dan belum pernah berpijah.
48. Menanggulangi kedaan sosial nelayan pada kondisi cuaca iklim laut dan gelombang tinggi pada musim angin barat dan musim angina timur serta cuaca extreme yang seporadis akibat pengaruh cuaca iklim global berakibat nelayan tidak dapat melaut.
49. Stop kriminalisasi akses harga pasar ikan nelayan. Terbatasnya akses nelayan terhadap pasar yang berkeadilan dari hasil produksi tangkapan ikan nelayan. Di beberapa daerah nelayan masih menghadapi mafia agen pemasaran/pelelangan ikan.
50. Minimnya penguatan kapasitas nelayan dalam kegiatan pengolahan pangan atau penanganan ikan dengan system rantai dingin yang bernilai tambah (value added).
51. Minimnya perlindungan bagi nelayan tradisional khususnya perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional. Profesi nelayan belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian aparatur sebagai bagian dari program ketahanan pangan daerah dan nasional. Kriminalisasi terhadap nelayan masih sering terjadi terutama di provinsi Sumatera Utara pada kasus Pukat Hela Dua Kapal (pair trawl) dengan nama local Pukat Gerandong .
52. Pelaksanaan desentralisasi perikanan tangkap di daerah yang kental dipengaruhi oleh suasana politis di daerah. Penempatan SDM aparatur yang tidak kapabel dengan bidang keahlian tugasnya berdampak berantai terhadap kebijakan dan implementasi substansi yang rasional terukur dan teruji dengan bukti di lapangan.
53. Belum semua daerah memiliki tata ruang pemanfaatan kelautan dan perikanan yang sinergi dan produktif sekaligus antisipatif terhadap gejolak social terhadap penggunaan ruang laut daerah yang menjadi kewenangannya.
54. ALOKASI PENANGKAPAN IKAN DAN LINGKARAN SETAN IUU FISHING OLEH KAPAL DAN BANGSA ASING. Pencurian ikan di WPPNRI yang dilakukan oleh kapal dan bangsa asing sudah berjalan lama. Luasnya perairan dan terbatasnya sarana kapal patrol pengawas menjadi alasan kolosal keterbatasan.
55. Masyarakat melihat adanya dualism pengelolaan perikanan tangkap (skala kecil/tradisional dan skala industry) belum terlaksananya sinergitas kesetaraan akses antar skala usaha perikanan tangkap dalam regulasi maupan dalam praktek yang perlu dibenahi secara bijak cerdas. DUALISME PENGELOLAAN PERIKANAN KITA. ZEEI 200 mil laut dari pantai sejak 1982 & sesuai pasal 33 UUD 1945 bumi air dikuasai negara sepenuhnya utk kesejahteraan rakyat. Tapi apa prakteknya? Modal asing merajalela di ZEEI dg teknologi canggih produktivitas tinggi menjadi kaya raya. Sedangkan Nelayan kita berjejal didaerah padat tangkap di perairan pantai dengen produktivitas rendah dan miskin 47 tahun hingga kini. Kontradiksi yg tak berujung pangkal dan tak terjawab oleh bangsa ini.
56. Masih adanya ABK Asing diatas kapal perikanan berbendera Indonesia yang bertentangan dengan UU 45/2009 tentang Perikanan Pasal 35A ayat (1) Kapal perikanan BERBENDERA INDONESIA yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan Nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.
57. BAGI HASIL PERIKANAN NELAYAN umumnya diterapkan oleh pengusaha perikanan local. Sedangkan perikanan sekala industry tidak menerapkan UU Bagi Hasil Perikanan, hal ini merugikan nelayan/ABK yang mengakibatkan nelayan tetap miskin dengan gaji relative kecil jauh dibawah UMR kerja didarat, sebaiknya dilakukan seragam dengan penerapan UU Bagi Hasil Perikanan pada seluruh kapal penangkapan ikan tanpa kecuali. UU 16/1964 ttg Bagi Hasil Perikanan lebih tepat karena mengandung sistem modern yg jelas tegas, fair play, proporsional dan profesional. Dalam kegiatan penangkapan ikan, sistem gaji sudah tidak tepat dan ketinggalan jaman, karena itu praktek kapitalisme imperialisme yg bertentangan dg Pancasila dan agama apapun.
58. Masih adanya praktek ijon (patronclientship) Tuan-Hamba dalam usaha perikanan sebagai warisan budaya masyarakat pantai yang sedang dikikis diperangi oleh Negara dengan menerapkan Program Nasional PNPM Kelautan Perikanan Mandiri yang bersifat penguatan usaha nelayan dan usaha keluarga nelayan.
59. Segudang masalah diberbagai daerah dengan regulasi berubah-ubah telat urus dan salah urus, ditambah tekanan kepentingan sector lain serta pembiaran praktek alat tangkap destruktif berakibat merugikan dan mematikan sumber kehidupan nelayan kecil/tradisional. Hal ini menimbulkan geliat kesadaran solidaritas masyarakat yang peduli terhadap penderitaan nelayan dalam bentuk ormas LSM Perikanan/Nelayan. Tumbuh menjamur luar biasa banyak nama dan bentuknya ormas LSM perikanan baik LSM daerah, Nasional ataupun sponsor asing. Hal ini diantaranya disebakan oleh masalah keadilan akses kesetaraan nelayan yang tidak jelas dalam praktek dilapangan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi nelayan yang tidak pernah tuntas selama zaman reformasi membuat nelayan makin terorganisir melalui ormas LSM nelayan yang baru yang lebih aspiratif memperjuangkan nasib nelayan.
60. Menyelesaikan batas wilayah laut ZEEI dengan negara tetangga, meliputi perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur), Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang pengelolaan wilayah laut, belum ada lembaga yang memiliki otorita mengatur batas wilayah dengan negara tetangga dan lemahnya kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional.
(“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. QS. Al A’raf/7 :96).

Tidak ada komentar: